Pilgub Jawa Tengah 2018 akan sangat didominasi oleh PDIP, namun kemenangan belum tentu ada di tangan partai merah tersebut.
PinterPolitik.com
Oposisi PDIP, Gerindra akhirnya telah mengumumkan pencalonan mantan Menteri ESDM, Sudirman Said untuk maju dalam Pilgub Jawa Tengah menantang petahana Ganjar Pranowo dari PDIP. Diusungnya Sudirman ini cukup menimbulkan pertanyaan, melihat Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono memiliki elektabilitas sedikit lebih baik ketimbang Sudirman, menurut hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) awal Desember lalu.
Keputusan ini kemudian mengembangakan narasi oposisi berikutnya, di mana Gerindra mengambil mantan menteri Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini untuk bersaing dengan PDIP di daerah. Belum lagi, ada kemungkinan Sudirman ingin mengangkat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk menjadi juru kampanyenya.
Hal ini tentu menjadi bagian dari narasi Gerindra yang sukses di Jakarta dan ingin diulang di Jawa Tengah.
Krn bagus
— Novendra Putra (@NovendraPutra92) December 13, 2017
Jawa Tengah, sudah jelas adalah milik petahana selama 15 tahun, PDIP. Kongres pertama PDIP setelah berubah nama dari PDI, dilakukan di Semarang, Jawa Tengah pada tahun 2000. Bahkan, menurut Ferry Juliantono, banyak kalangan Soekarnois yang lahir dan tumbuh besar di Jawa Tengah, namun menjadi—apa yang disebutnya—Soekarno-Soekarno palsu belakangan ini.
Gerindra—khususnya melalui Ferry—memang menjadi oposisi yang banyak mengritik pemerintahan Ganjar Pranowo, setidaknya satu tahun terakhir. Bahkan Ferry meyakini, kesalahan-kesalahan Ganjar dan PDIP di Jateng dapat menjadi keuntungan bagi Gerindra untuk meraih kemenangan pada Pilkada tahun depan.
Di samping Gerindra, sejumlah partai dan golongan non-partai pun ikut-ikutan ingin melawan PDIP juga. Bagaikan rodeo, semua pihak nampak ingin unjuk kekuatan dan menguasai si Banteng dan kandang kekuasaannya.
Banteng yang Dilepas di Jawa Tengah
Sejauh ini, kekuatan PDIP di Jawa Tengah tidak pernah terbendung. PDIP selalu memenangkan pemilihan gubernur dan DPRD Jateng sejak 1998. Pada pemilihan 1998 dan 2003, PDIP masih berkoalisi bersama PKB, dengan mengusung Gubernur Mardiyanto, didampingi Wakil Gubernur Ali Muzif dari PKB. Tetapi, pada pemilihan berikutnya di tahun 2008, PDIP sukses memenangkan pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Jumlah kursi PDIP di DPRD Jawa Tengah pun selalu tinggi. Pada Pileg 2004, PDIP mendapatkan 31 kursi di Jateng, kemudian sempat turun menjadi 23 kursi pada 2009, dan kembali meningkat menjad 31 kursi pada 2014. Artinya, terdapat kekecewaan yang cukup tinggi kepada PDIP Jateng di tahun 2009, yang kemudian direstorasi pada 2014. Beberapa pengamat mengatakan, besarnya nama Jokowi di Jateng yang juga menjadi presiden terpilih pada 2014, turut mendongkrak PDIP di sana.
Tak hanya di level provinsi, sebagian besar kota/kabupaten di Jawa Tengah pun sukses dikuasai PDIP tanpa koalisi, sementara sebagian lainnya dikuasai PDIP bersama koalisi partai. Di Surakarta, misalnya, PDIP memenangkan F.X. Hadi Rudyatmo tanpa koalisi di tahun 2015. Di Magelang, PDIP berhasil memenangkan Zaenal Arifin, juga tanpa koalisi di tahun 2013.
Semarang, ibu kota provinsi, pun dikuasai oleh PDIP, namun dengan koalisi Nasdem dan Demokrat. Di samping tiga kota tersebut, PDIP juga merajai Boyolali, Demak, Grobogan, Klaten, Purbalingga, Pekalongan, Pemalang, Sukoharjo, Wonogiri, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Semarang.
Bongkar pasang calon pun dengan mudah selalu dilakukan PDIP di Jawa Tengah. Pada tahun 2013, PDIP menolak mengusung kembali petahana Bibit Waluyo, sekalipun memiliki elektabilitas yang cukup baik. PDIP justru mengambil tokoh nasional dan anggota DPR saat itu, Ganjar Pranowo. PDIP pun kembali menang besar, sekalipun mendatangkan ‘sakit hati’ Bibit Waluyo ketika itu.
Namun, pada Pilkada kota/kabupaten di sejumlah wilayah Jateng pada tahun 2017, PDIP harus mengakui keunggulan Golkar. Golkar menang di enam daerah atau 84 persen dari keseluruhan daerah yang mengadakan Pilkada serentak saat itu. Sementara PDIP hanya menang di tiga daerah. Ini berarti, basis massa Golkar turut menguat di Jateng. Dengan begitu, Golkar dapat dilihat sebagai kekuatan yang mengancam, atau di sisi lain menjadi kekuatan prospektif sebagai koalisi PDIP di tingkat provinsi.
Dengan kondisi kepemilikan 31 kursi di DPRD saat ini, bisakah PDIP memanfaatkannya, sekalipun mulai terasa adanya kekuatan politik lain yang tumbuh di Jateng?
Kolega dan Kompetitor si Banteng
Sejauh ini, PDIP telah mendapatkan dukungan yang hampir pasti dari Nasdem. Sesuai arahan Ketua Umum Surya Paloh, Nasdem yang belum memiliki kursi di DPRD hampir pasti mendukung PDIP, siapapun calon yang diusung. Ini menjadi bukti kedekatan PDIP dan Nasdem di tingkat nasional, yang tergambar juga di Jateng.
Sementara itu, PPP memasukkan PDIP ke dalam skenario 1, yakni mengusung cawagub untuk mendampingi cagub dari PDIP. Ketua Umum PPP Romahurmuzy mengatakan, kemungkinan lainnya adalah mengusung calon sendiri ataupun ikut gerbong koalisi lain. Namun, menurutnya, koalisi dengan PDIP adalah kemungkinan paling dekat.
Sementara itu, partai yang juga belum memiliki kursi di Jateng, yakni Hanura, nampaknya justru ingin berseberangan dengan PDIP, dengan melirik Budi Waseso (Buwas) untuk maju sebagai cagub. Secara kasat mata, sepertinya Hanura ingin menantang PDIP dengan mengusung Buwas sebagai cagub. Namun, indikasi kedekatan Buwas dengan Megawati membuka kemungkinan bahwa Hanura dan Buwas tidak akan jauh-jauh dari pihak si Banteng. Sekalipun tentu, popularitas dan kapabilitas Buwas masih harus dipertanyakan.
Pun demikian yang terlihat dari PKB, yang ingin mengusung mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Kabinet Kerja, Marwan Jafar. Pasca dicopot Jokowi, Marwan terlihat masih memiliki kedekatan dengan Jokowi. Akan tetapi, basis massa akar rumput menginginkan Marwan diusung menjadi cagub, yang—bila benar—maka akan berbenturan dengan ambisi PDIP. PKB bisa saja tetap menjadi oposisi di Jateng, mengikuti amanat akar rumputnya. Ini dapat terjadi sekalipun PKB adalah koalisi PDIP di tingkat nasional.
Sementara barisan oposisi nasional Gerindra dan PKS (plus PAN – partai pemerintah ‘setengah hati’) akhirnya mengusung Sudirman Said, nama yang sudah digadang-gadang beberapa bulan terakhir. Mantan Menteri ESDM Kabinet Kerja ini semakin menunjukkan sikap oposisi semenjak dicopot dari jabatan menteri. Ia terus berada di kubu Gerindra sejak Pilkada Jakarta hingga Pilkada Jateng kali ini. Berbeda dengan Marwan tentunya, jajaran di belakang Sudirman Said sudah jelas adalah oposisi biner yang ingin meruntuhkan dominasi PDIP di Jawa.
Terakhir, dan yang terlemah, kemungkinan adalah adanya ‘poros ketiga’ dari NU-Muhammadiyah (Numu). Koalisi independen ini juga disinyalir terjadi akibat konflik basis massa mereka dengan Gubernur Ganjar dalam beberapa kesempatan. Pun demikian, Numu sendiri tak dapat terlepas dari partai politik naungannya—PKB dan PAN—yang sudah memiliki strategi sendiri dalam menghadapi 2018. Mungkinkah strategi memecah suara kembali terjadi dengan memperbanyak calon? (Baca juga: NU-Muhammadiyah Independen di Jateng?)
Lalu, bagaimana dengan Golkar? ‘Juara umum’ Pilkada kota/kabupaten se-Jawa Tengah 2017 ini belum mengambil sikap. Nusron Wahid mengakui, proses konsolidasi Golkar di Jateng cenderung lambat. Bahkan, dirinya sendiri mengaku akan mengambil tiket dari Golkar, entah cagub atau cawagub, untuk maju di Jateng bila Golkar terus lambat.
Bagi PDIP yang terlihat mulai dikeroyok, Golkar bisa menjadi kekuatan tambahan yang besar. Terlebih, Golkar adalah partai pendukung pemerintah di pusat.
Atau, si Banteng mau kembali ke watak ‘politik sendiri’-nya di Jawa Tengah, seperti tahun-tahun sebelumnya? Terserah, sih.
Ganjar, e-KTP, dan Muka Banteng
“Bahwa Ganjar masih yang utama iya, tapi kan kita lihat seperti apa elektabilitas, popularitasnya, ramainya berita-berita e-KTP ini mengganggu apa enggak.”
-Trimedya Panjaitan, Ketua DPP PDIP-
Tersangkutnya nama Ganjar Pranowo di dalam kasus e-KTP bisa menjadi batu besar yang menghentikan keberlanjutan langkahnya di Jateng. PDIP, kemungkinan masih berusaha bermain aman dengan belum mengusung nama Ganjar di Jateng.
Pun, PDIP menolak disangkutpautkan dengan hilangnya nama Ganjar beserta dua politisi PDIP lainnya—Yasonna dan Olly—dalam dakwaan hakim Tipikor kepada Setya Novanto. PDIP mengaku tidak mencampuri KPK dan proses hukum di dalamnya. Tentu, kasus yang melibatkan PDIP ini masih menjadi bola panas dan tergantung kepada keterbukaan Novanto nantinya.
Belum lagi, kasus-kasus lingkungan yang beberapa kali menjadi sandungan dan wajib klarifikasi bagi Ganjar. Sebut saja kasus pembangunan PLTB Gunung Slamet dan pabrik semen Rembang yang menghasilkan bentrok dengan warga, mau tak mau juga menurunkan elektabilitas Ganjar. Direktur Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI), Arifin Nurcahyono menilai popularitas Ganjar memang meningkat, tapi elektabilitasnya turun akibat kasus ini.
Lebih jauh, Arifin menilai akan berat bagi PDIP untuk mendapatkan dukungan dari basis massanya yang telah ‘disakiti’ seperti sebagian kelompok petani tersebut. Belum lagi, bila Ganjar terbukti berbohong terkait dirinya yang bersih dari korupsi e-KTP, Arifin menilai tak hanya Ganjar, PDIP pun dapat terperosok. (Baca juga: PDIP, Omong Kosong Wong Cilik?)
Jika akhirnya Ganjar tersandung e-KTP atau kasus-kasus lainnya, PDIP sepertinya bisa bermain hati-hati dengan mengusung calon lain. Hal ini terbukti beberapa kali dalam sejarah PDIP di Jawa Tengah. Untuk 2018, kemungkinan nama Bupati Kudus Mustofa Wardoyono sebagai calon dengan elektabilitas kedua tertinggi—yang juga mendaftar cagub melalui PDIP—dapat menjadi opsi menarik jika Ganjar terjatuh.
Dengan sejarah Gubernur Mardiyanto yang pada 2008 meraih popularitas rendah karena sejumlah kasus, Ganjar bisa terkena hal yang serupa. Semua desas-desus negatif itu harus dibuktikan secara terbalik oleh Ganjar untuk mengamankan dirinya dan PDIP.
Tak hanya muka Ganjar, muka Banteng akan menjadi taruhan di Jateng. Tapi, semua kembali lagi kepada bagaimana PDIP mampu merawat basis massanya dan tingginya penerimaan masyarakat Jateng kepada PDIP. (R17)