Rocky Gerung menyebut adanya kemungkinan manuver kartel pada kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu yang harus disikapi serius oleh pemerintah. Benarkah demikian? Lalu, mengapa pula komoditas pangan seperti itu dapat menjadi semacam simbol politik yang menjadi indikator peran pemerintah?
Para penikmat tahu dan tempe maupun kudapan olahannya, belakangan mungkin cukup resah dengan kabar kelangkaan dan naiknya harga dua komoditas berbahan baku kedelai itu di awal warsa baru.
Mengingat persoalan semacam ini kerap bermuara cukup mengecewakan, terutama pada efisiensi tahu atau tempe yang bisa “se-tipis kartu ATM”, ketika membelinya dari para penjual makanan.
Padahal, tahu dan tempe merupakan makanan pendamping wajib maupun camilan populer bagi sebagian besar kalangan masyarakat untuk memenuhi asupan protein dengan harga terjangkau.
Keresahan itu musababnya ialah sempat terjadi kelangkaan tahu dan tempe di pasaran akibat harga kedelai yang naik. Muaranya, sejumlah perajin memutuskan untuk mogok produksi sebagai bentuk protes pada pekan lalu.
Para pelaku industri dua komoditas pangan itu cukup terbebani dengan kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir 50 persen pada awal tahun 2021 ini.
Persoalan ini pun seketika disoroti oleh wakil rakyat di parlemen. Salah satunya anggota Komisi VI DPR RI, Rafli, yang khawatir persoalan terkait komoditas pangan merakyat di Indonesia tersebut meluas ke berbagai daerah.
Oleh sebab itu, politisi dari Fraksi PKS itu juga mendesak agar hal ini harus disikapi serius oleh pemerintah dengan langkah yang cepat. Apalagi di tengah situasi masyarakat yang secara umum tengah kesulitan di tengah pandemi Covid-19.
Kabar buruknya bagi para pecinta tahu dan tempe, Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gapoktindo) Aip Syarifudin memprediksi harga kedelai di pasaran paling cepat baru akan kembali normal pada Februari atau Maret 2021.
Baca juga: Propaganda Tempe Ala Sandiaga
Pengamat politik Rocky Gerung pun angkat bicara melalui akun YouTube miliknya. Ia mempertanyakan upaya pemerintah atas langkanya dua komoditas pangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang itu. Rocky menganggap pemerintah pernah enggan berpikir tentang permasalahan rill seperti itu dan mempertanyakan apa yang disediakan negara bagi rakyatnya.
Rocky juga menyinggung adanya kemungkinan manuver kartel, yang pada intinya apapun itu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta harus segera menyelesaikan permasalahan dan memberitahukannya kepada rakyat.
Presiden Jokowi sendiri sempat melontarkan janji melakukan swasembada bahan baku tahu dan tempe, yakni kedelai, saat menjabat di periode pertamanya tahun 2014-2019. Ihwal yang kemudian membuat persoalan belakangan ini, dinilai sebagai déjà vu dan kegagalan misi serta janji tersebut untuk kesekian kalinya.
Lantas, mengapa konteks pangan seperti tahu dan tempe ini seolah dapat menjadi sebuah simbol politik yang kemudian menjadi indikator peran pemerintah dan negara? Selain itu, apakah praduga Rocky soal kartel itu benar-benar ada?
Tempe dan Konstruksi Sosial Politik
Pangan atau makanan selalu memiliki fungsi simbolis, itulah yang dikemukakan oleh Alison Perelman dalam disertasinya Political Appetites. Perelman berangkat dari teori strukturasi Anthony Giddens tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agen.
Pangan atau makanan, sebagai kebutuhan dasar, terkait dengan selera dan konsumsi yang mencerminkan identitas individu dan sosial. Pola konsumsi lantas memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas, serta struktur yang kemudian terbentuk dari interaksi identitas tersebut.
Dan di ranah masyarakat modern, pangan atau makanan disebut Perelman berkembang menjadi simbol komunikasi politik.
Framing komoditas pangan sebagai hal yang relevan secara politis dikarenakan, pangan atau makanan berakar kuat dalam konteks budaya tertentu dan merupakan simbol dari sebuah komunitas. Oleh karena itu pangan dapat disebarkan sebagai salah satu bentuk pesan strategis yang berperan dalam ranah politik.
Pada tatanan kontemporer di Asia Barat dan Afrika Utara misalnya, roti merupakan simbol tuntutan yang lebih luas bagi kondisi kehidupan yang memadai terhadap pemerintah, dan lebih jauh juga tentang partisipasi politik masyarakatnya.
Sampel spesifiknya, roti telah menjadi pusat stabilitas politik di Maroko selama berabad-abad. Monarki dan sekutu politiknya (Makhzen), telah memposisikan diri mereka sebagai penyedia keamanan pangan, di mana kekuatan politik mereka terletak pada mengelola ketersediaan bahan pangan mentah maupun jadi, untuk menghadapi kelangkaan pangan yang disebabkan oleh kekeringan atau hama.
Baca juga: Siasat Gerindra Incar Mentan
Dan tuntutan atas isu pangan seperti tepung dan roti, juga menjadi salah satu simbol mencolok dalam revolusi Arab Spring di beberapa negara seperti Tunisia dan Mesir pada awal dekade kedua abad 21 lalu.
Bahkan dalam skala global, komoditas pangan seperti kedelai pun menjadi simbol intrik geopolitik antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Saat trade war memanas beberapa waktu lalu, Tiongkok membuka impor alternatif kedelai selain AS, seperti Brasil dan Argentina.
Serupa tapi tak sama, di Indonesia kedelai dan tempe menjadi salah satu simbol dan komunikasi politik yang cukup “seksi” ketika komoditas pangan ini telah jadi objek yang mendominasi struktur konsumsi segala kelas masyarakat, utamanya kelas menengah ke bawah.
Misalnya ketika calon Wakil Presiden (cawapres) Sandiaga Uno pada kampanye Pilpres 2019 lalu, mengangkat narasi tempe se-tipis kartu ATM yang cukup menyita perhatian publik kala itu.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa konteks pangan, khususnya kedelai, tahu, dan tempe memang menjadi jadi salah satu variabel simbol dan komunikasi politik yang memiliki nilai tersendiri di tanah air.
Baca juga: Indonesia Dijajah Impor Pangan?
Namun sayangnya, di balik signifikansi tahu dan tempe sebagai komoditas pangan yang mendominasi struktur kelas masyarakat Indonesia saat ini, eksistensi kedelai kerap dimanfaatkan dengan tidak semestinya oleh segelintir pihak.
Apalagi ketika komoditas bahan bakunya, yakni kedelai, mayoritas masih harus diimpor. Praktik kartel yang menjadi benalu mekanisme perdagangan itu kemudian selalu menjadi probabilitas di balik kenaikan harga ataupun kelangkaan bahan pangan, tak terkecuali kedelai, tahu, dan tempe belakangan ini, yang juga disinggung oleh Rocky Gerung.
Namun, benarkah praktik kartel terjadi di balik kenaikan harga kedelai kekinian?
Persoalan Klasik?
Kasus kenaikan harga dan kelangkaan kedelai, termasuk produk turunannya seperti tahu dan tempe sendiri merupakan permasalahan tahunan yang kerap terjadi setiap dua atau tiga tahun sekali.
Kali ini, ada keanehan atau kebingungan tersendiri di kalangan perajin tahu dan tempe tentang mengapa ada kenaikan harga kedelai. Mengingat, penyebab umum kenaikan harga kedelai saat ini sedang tidak terjadi, seperti dolar AS yang sedang tidak naik signifikan.
Pemerintah sendiri melalui Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra mengatakan, kenaikan harga kedelai dikarenakan faktor global, di mana harga kedelai di tingkat global juga mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada harga kedelai impor ke Indonesia.
Namun, dalam Soybean and Food Politics in Indonesia, Iskandar Nuhung menjelaskan bahwa memang kemungkinan eksistensi kartel itu ada dalam pusaran kenaikan harga kedelai yang berdampak pada produk turunannya seperti tahu dan tempe di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang besar, eksistensi sekelompok orang yang melakukan kartel menjadi terbuka. Termasuk para invisible hand yang kemungkinan ingin memelihara Indonesia sebagai importir kedelai, yang korelasinya erat dengan kepentingan bisnis, politik perdagangan, dan politik pertanian.
Beberapa tahun lalu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pernah mengkaji bahwa salah satu pemicu praktik kartel adalah terkait dengan persoalan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan Kemendag.
Karena jika izin SPI terlambat dikeluarkan, maka importir dapat menahan pasokan kedelai. Terlebih 66 persen alokasi kuota impor kedelai di Indonesia kala itu dipegang oleh tiga perusahaan besar.
Persoalan kian pelik karena di saat yang sama, keterlambatan SPI dikatakan juga dikarenakan para importir yang kesulitan untuk menunjukkan bukti serap kedelai lokal.
Salah satu sampel intrik klasik semacam itulah yang menyingkap kemungkinan tendensi intrik kartel serupa namun tak sama pada persoalan kenaikan harga kedelai kekinian.
Itulah yang mungkin membuat Ketua Gapoktindo, Aip Syarifuddin dalam pertemuan 6 Januari esok dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, mengusulkan untuk mengundang pula para importir agar setiap dugaan menjadi jelas.
Bagaimanapun, meski swasembada kedelai di periode pertama meleset, politik pangan nasional Presiden Jokowi melalui food estate sudah merupakan langkah cukup positif jika dapat segera dieksekusi dengan baik.
Termasuk dalam memprioritaskan pula kedelai sebagai komoditas bahan baku pangan strategis nasional dengan signifikansinya dalam struktur masyarakat Indonesia seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya.
Tentunya hal tersebut masih sangat mungkin dilakukan untuk menghindari ekses negatif dari impor, kartel, kenaikan dan kelangkaan dan sebagainya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Jokowi Gagal Urus Pangan?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.