Site icon PinterPolitik.com

Rocky Gerung Tidak Selalu Benar?

Rocky Gerung Tidak Selalu Benar?

Pengamat politik Rocky Gerung (Foto: CNN Indonesia)

Akhir-akhir ini, perdebatan Rocky Gerung dengan Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiakto menjadi perhatian hangat warganet. Terkhusus Henry, pernyataannya jamak dikritik karena dinilai telah melakukan kekeliruan logis (fallacy). Menariknya, mengapa Rocky yang juga melakukan fallacy tidak disorot tajam?


PinterPolitik.com

All propotition of our colloquial language are actually, just as they are, logically completely in order” – Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus

Setelah mendapat perhatian luas publik dengan pernyataan “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa” pada Januari 2017 lalu, nama Rocky Gerung kemudian jamak dielu-elukan sebagai Presiden Akal Sehat. Pernyataan-pernyataannya memang kerap kali menohok, berkesan, dan mengundang kita berkata, “oh iya ya.”

Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, mengapa Rocky begitu mendapatkan tempat di tengah masyarakat? Apakah perkara intelektualitas? Jika demikian, mengapa banyak profesor yang justru tidak terkenal? Letak jawaban pertanyaan ini tampaknya terkait dengan kemampuan komunikasi Rocky yang begitu khas.

Mendengar Rocky, kita akan disuguhkan kekhasan aksentuasi dan permainan diksi yang memanjakan telinga. Ini tak ubahnya seperti mendengar kuliah yang disampaikan secara puitis. Brian Resnick dalam tulisannya The Scientific Mystery of Why Humans Love Music dapat membantu kita lebih memahami daya tarik Rocky.

Dalam tulisannya, Resnick menerangkan bahwa alasan manusia menyukai musik karena otak manusia sangat menyukai pola. Sama halnya ketika melakukan hubungan seksual dan makan, mendengarkan musik juga akan membuat otak memproduksi hormon dopamin yang akan membuat manusia merasa senang atau bahagia.

Merujuk pada gaya komunikasi Rocky, kekhasan aksentuasi dan diksinya, jelas membuat kita melihat terdapat pola yang terbangun di sana. Musik, tentu saja, tanpa adanya pola yang jelas, suara yang dihasilkan akan buruk, yang justru dapat menurunkan mood. Pun begitu dengan aksentuasi Rocky, karena polanya teratur dan memainkan tinggi rendahnya nada suara, otak kita menangkap efek seperti ketika mendengarkan musik.

Poin ini kemungkinan besar yang menjadi pembeda utama Rocky dengan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sekaligus Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiakto dalam sebuah tayangan televisi beberapa waktu yang lalu.

Getirnya, tidak hanya memiliki perbedaan aksentuasi yang mencolok, Henry juga jamak dinilai melakukan blunder karena mencoba menyerang Rocky secara personal. Beda halnya dengan Rocky yang disebut sebagai profesor “gadungan”, Henry menegaskan bahwa dirinya adalah profesor asli.

Blunder ini kemudian memicu rentetan kritik karena Henry dinilai tidak menunjukkan kapasitas argumentatif sekelas profesor. Akan tetapi, jika kita perhatikan saksama, Rocky juga sebenarnya menggunakan kesesatan logis (fallacy) dalam perdebatan tersebut. Lantas pertanyaannya, mengapa Rocky tidak disorot minor, melainkan dibela berbagai pihak?

Saling Lempar Sentimen

Diakui atau tidak, terminologi “berpikir logis” telah menjadi semacam standar kecerdasan. Sejak Aristoteles mengenalkan silogisme, keterampilan berpikir yang satu ini memang menjadi primadona tersendiri. Uniknya, tidak hanya digunakan untuk menguji suatu argumentasi, logika juga telah bertransformasi menjadi semacam metode pengujian intelektualitas.

Sebagaimana diketahui, mudah bagi publik untuk menyebutkan bahwa Henry telah melakukan kesesatan logis yang disebut dengan argumentum ad verecundiam atau appeal to authority karena mengacu pada otoritasnya sebagai seorang profesor.

Tidak hanya itu, pakar isu keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga melihat bahwa sosok yang pernah mengajarnya untuk mata kuliah Komunikasi Politik sewaktu masih menempuh studi di Unair ini, menilai Henry juga melakukan kesesatan logis yang disebut dengan appeal to novelty.

Ini adalah bentuk fallacy yang terjadi karena menilai sesuatu yang baru mestilah lebih baik dari yang telah lama. Fallacy ini dilakukan Henry ketika menyebutkan Rocky terkadang menggunakan teori lama yang sudah tidak berlaku di kampusnya.

Menurut Fahmi, seorang Guru Besar semestinya paham bahwa teori lama belum tentu salah, keliru, ataupun tidak relevan. Terlebih lagi, sebagai seorang sarjana hukum, pakar komunikasi, staf ahli bidang hukum Kemenkominfo, dan tokoh di balik UU ITE, Prof. Henry seharusnya paham risiko apa yang menantinya jika sampai terjerumus.

Akan tetapi, di luar fallacy yang dilakukan oleh Henry, publik agaknya berlaku timpang sebelah karena Rocky justru tidak diuji. Padahal, jika diperhatikan, Rocky juga melakukan fallacy dalam kesempatan tersebut. Misalnya, ketika menyahut serangan Henry, Rocky menyebut, “semoga otakmu juga besar.” Ini adalah majas innuendo, yakni majas yang digunakan untuk menyindir seseorang dengan cara mengecilkan suatu fakta.

Artinya, Rocky hendak mengecilkan atau mendiskreditkan fakta terkait status Henry sebagai seorang profesor dengan berharap otaknya juga besar.

Jika memperhatikan berbagai pernyataannya, Rocky sebenarnya lebih cocok disebut sebagai seorang retoris, alih-alih sebagai pakar logika atau logician. Kasus hangat seperti pernyataan “Kitab Suci Fiksi” di Indonesia Lawyers Club (ILC) misalnya, jelas sekali Rocky memperlihatkan kemampuannya sebagai retoris.

Ketika Rocky terdesak karena pernyataannya, Ia kemudian mengeluarkan pernyataan baru dengan menyebut Presiden Jokowi tidak cocok naik sepeda motor chopper. Peserta ILC lainnya kemudian beralih untuk menyerang pernyataan Rocky yang baru.

Rocky yang mengeluarkan pernyataan “chopper Jokowi” ini, telah melakukan fallacy yang disebut dengan red herring. Ini adalah bentuk fallacy ketika seseorang menghadirkan informasi baru yang tidak relevan untuk mengalihkan perhatian audiens dari topik utama yang tengah dibahas.

Di kasus tersebut, jelas terlihat Rocky tengah terpojok dengan pernyataan “Kitab Suci Fiksi”. Namun, alih-alih memperkuat argumentasinya, Ia justru mengeluarkan pernyataan “chopper Jokowi” untuk mengalihkan perhatian.

Menurut informasi yang didapatkan PinterPolitik dari kolega Rocky di Departemen Filsafat Universitas Indonesia (UI), Rocky yang  memang menguasai hukum-hukum logika kerap menggunakannya untuk memenangkan perdebatan. Dengan kata lain, alih-alih logika digunakan untuk menguji argumentasi, Rocky justru kerap menggunakannya sebagai metode untuk melakukan kontrol narasi.

Tidak Layak Diuji?

Di titik ini, setuju atau tidak, baik Rocky ataupun Henry memang sama-sama telah melakukan fallacy. Terkhusus Rocky, ini merupakan keahlian yang telah lama dipertontonkannya. Akan tetapi, di luar perdebatan yang ada, tampaknya tidak banyak yang mempertanyakan apakah perdebatan kedua pihak tersebut memang layak diuji menggunakan logika?

Mengacu pada salah satu filsuf terbesar logika, Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, logika bukanlah perkakas yang dapat digunakan untuk menguji sembarang proposisi, argumentasi, atau diskursus. Tegasnya, logika adalah metode yang digunakan untuk menguji diskursus agar ambiguitas tidak terjadi.

Artinya, logika bukanlah alat untuk menguji pernyataan-pernyataan liar. Ini adalah metode saintifik untuk menguji suatu pernyataan yang memang diperuntukkan untuk diuji.

Terkait perdebatan Rocky dengan Henry, ataupun tayangan-tayangan politik publik sehari-hari, pernyataan-pernyataan yang terlontar di sana sebenarnya tidak diperuntukkan untuk diuji menggunakan logika. Pasalnya, sedari awal pihak-pihak tersebut tidak meniatkan dirinya untuk membentuk suatu konsensus atau kesimpulan bersama.

Bagi pihak oposisi, mereka akan membawa posisi A, yang apapun pernyataan pihak pemerintah, posisi A tersebut tidak akan berubah. Begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, tayangan-tayangan tersebut pada dasarnya adalah ajang untuk menjatuhkan satu sama lain, atau memperlihatkan diri siapa yang paling benar.

Pasalnya, kendatipun diuji dengan logika, posisi narasi yang dibawa tidak akan berubah. Oleh karenanya, adalah suatu kesia-siaan untuk melakukannya. Walaupun demikian, bagi publik tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk tetap melakukan analisis logis atas pernyataan-pernyataan politisi di media massa. Setidaknya, ini memperlihatkan bahwa publik tidak merespons pasif narasi yang ada.

Kita lihat saja bagaimana kelanjutan narasi Rocky vs Henry ini bergulir di tengah publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version