Berdasarkan kontroversi pernyataannya, relevankah status intelektual publik disematkan pada Rocky Gerung?
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]ocky Gerung menjadi sosok yang naik daun belakangan ini. Pernyataan, komentar, serta responnya di layar kaca seputar peristiwa politik dalam negeri, membuatnya lekat dengan kontroversi. Dari sini, tak sedikit yang mempertanyakan status akademis dan kapasitas intelektualitasnya.
Rocky Gerung diketahui pernah menjadi staff pengajar di Jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia dua tahun silam. Ia juga mendirikan lembaga penelitian yang fokus pada isu kesetaraan dan HAM, SETARA Institute dan menjadi peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Saat lampu sorot sedang intens tertuju padanya, banyak pula yang mempertanyakan bagaimana dirinya bisa menyandang status ‘profesor’ jika dalam rekaman akademiknya, ‘hanya’ lulusan S1?
Seakan menanggapi pemberitaan yang ada, Thamrin Tomagola yang juga dosen sosiologi UI, menyatakan bahwa Gerung adalah pribadi dengan intelektualitas tinggi. Saking tingginya, walau hanya lulusan S1, Rocky mampu mengajar mahasiswa S3. Dalam status panjangnya, Tomagola juga menyebut bahwa Rocky Gerung menguasai ‘conceptual tools’ klasik.
RG memang sering mencederai kepantasan sosial-budaya. Seorg teman menyebut hal itu: kegenitan intelektusl RG. Sy pribadi tidak terganggu dgn kegenitan itu https://t.co/yeoBebgHWv
— tamrintomagola (@tamrintomagola) April 13, 2018
Pernyataan Guru Besar UI yang pernah mengalami insiden siraman teh di televisi swasta dan bermasalah dengan komunitas adat Suku Dayak tersebut, mau tak mau memberi nada dukungan kepada Rocky Gerung. Yakni dukungan dalam kasus kitab suci fiksi.
Argumen Rocky tersebut, membuat ‘gatal’ untuk membuka lagi pertanyaan mengenai intelektualisme. Apakah kemampuan akademis yang dimiliki Rocky Gerung, seperti yang diungkapkan oleh Thamrin Tomagola, bisa menempatkannya ke dalam status intelektual publik? Apakah semua pernyataan dan argumen kontroversialnya bisa ditelan dan dipercaya atau memang hanya bisingan wacana di tahun politik semata?
Independen dan Tak Berada dalam Sistem
Dalam bukunya berjudul Representation of the Intellectual, Edward Said, profesor literatur dari University of Colombia, menulis bahwa kaum intelektual adalah orang yang cakap (pintar) mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa dan ia bebas (independen, tak berada dalam sistem). Intelektual betul-betul menguasai seni bicara dan di lain pihak tidak langsung bergantung dari seorang atasan yang berhak menentukan apa yang boleh dikatakannya, ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak berani dinyatakan oleh para politisi.
Menarik dari apa yang disebutkan oleh Said, Rocky Gerung memang bisa masuk dalam deskripsinya. Ia jelas memiliki kemampuan dan seni bicara melalui pilihan diksi yang tidak familiar serta gestur yang lembut namun tajam seperti yang terlihat di layar kaca. Dirinya juga kerap mengeluarkan pernyataan bersifat oposisional kepada pemerintah, seperti pernyataan bahwa pemerintah adalah produsen hoax terbaik, hingga menyebut Presiden Jokowi absurd karena berkomentar soal kaos dan hastag dalam pidatonya.
Tetapi, bagaimana jika posisinya dihubungkan sebagai intelektual publik? Menurut Antonio Gramsci, seorang filsuf dari Italia, intelektual publik adalah mereka yang menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif. Tak hanya berada di balik meja, mereka bergerak di luar. Sementara itu, dalam tulisan ‘what does it mean to be a public intellectual’, Duncan Jackson berkata bahwa intelektual publik adalah mereka yang memiliki karya tulis atau kontribusi pada dunia sosial maupun budaya, serta dikenal tak hanya oleh kalangan akademisi tetapi juga masyarakat luas.
Jika bisa menerima pengertian intelektual publik seperti yang djelaskan oleh Gramsci, maka kita setuju bahwa seorang intelektual publik harus sanggup memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi perubahan. Perubahan itu bisa berupa pendampingan maupun perbaikan masyarakat. Nah apakah fungsi intelektual publik tersebut sudah dimiliki oleh Rocky Gerung?
Lalu, apakah ia benar-benar independen tak menghindari sistem? Bila Rocky Gerung memang disebut oleh sebagian besar pihak seorang intelektual atau akademisi, hal tersebut tidak otomatis menjadikannya sebagai intelektual publik. Pernyataan dan argumennya, juga tak bisa ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai hal yang tak bisa dibantah dan jauh dari kekeliruan. Inilah terjadi pada pernyataannya berbunyi, “kitab suci adalah fiksi.”
Dalam kamus elektronik Merriam-Webster, kata fiction punya arti sebagai, “something invented by the imagination or feigned; specififally; an invented story,” sesuatu yang diciptakan oleh imajinasi; cerita yang diciptakan.
Bila hendak mengambil contoh, kitab suci Alqur’an tidaklah menciptakan cerita, sebaliknya mengabarkan sebuah kisah bagi umat manusia agar menjadi sebuah pelajaran bagi mereka yang berpikir dan berakal. Ditilik dari segi wahyu pun, kitab suci Alqur’an adalah kitab yang nyata dan berkelindan dengan manusia.
Dengan demikian, mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, sama dengan menarasikan agama sebagai kebenaran yang didustakan atau dusta yang dijadikan kebenaran. Lantas ini berimbas pula pada sejarah panjang agama dan para nabi-rasul, yang mudah dimakzulkan karena dianggap sebagai fiksi.
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, “Tuhan tidak sedang bermain dadu,” yang secara tidak langsung meneguhkan bahwa premis kitab suci dan agama sebagai petunjuk bagi manusia.
Dengan begini, sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa Rocky Gerung bukanlah intelektual publik yang ideal, seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Thamrin Tomagola. Tetapi, apakah dirinya masih bisa disebut independen dan menjauhi sistem?
Hanya Sekedar Bising Politik
Gerung pernah berpesan agar selalu sinis dengan kekuasaan. Hal tersebut dapat dengan jelas terlihat dilakoninya dengan baik. Namun, selama ia sinis dengan pemerintah, dirinya juga menunjukkan ketidaksukaan saat salah satu moderator The Indonesian Institute, Mohammad Sobary, membuka acara dengan pernyataan-pernyataan yang memojokkan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa di tahun 2014. Rocky berkata bahwa moderator tidak ilmiah dan ia memilih walk out dari ruangan seminar.
Tak hanya itu, saat dirinya mendapat kecaman karena mengeluarkan pernyataan kitab suci fiksi, gelombang protes yang datang kepadanya juga tak seganas Sukmawati Soekarnoputri. Ia memang dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait ucapannya tersebut, tetapi ia juga banyak menerima pembelaan dari politisi dan aktivis, seperti Haji Lulung, Ratna Sarumpaet, hingga kelompok Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang dikenal kontroversial. Dari sini, sulit pula untuk tidak bertanya-tanya apakah sikap apologi dirinya terhadap pihak oposisi adalah caranya memasuki sistem? Mengapa kelompok ini mau ‘repot’ membelanya?
Jika menengok tokoh-tokoh intelektual publik tersohor, seperti George Junus Aditjondro hingga Pramoedya Ananta Toer, mereka memang adalah intelektual publik yang sejak awal sinis dengan kekuasaan. Mereka membuat pemerintah yang berkuasa saat itu juga tak nyaman. Namun, keduanya tak menunjukan apologi atau sikap permisif terhadap bentuk kekuasaan yang lain, seperti halnya Gerung yang terlihat condong kepada kelompok oposisi pemerintah saat ini.
Dengan demikian, menjadi intelektual publik yang ideal seperti gambaran Gramsci maupun Jackson, perlu pula mengingat kembali nasihat dari seorang filsuf lawas bernama Socrates, yang hidup ribuan tahun silam.
Saat seorang intelektual berkata, maka ada tiga hal yang harus diperhatikannya, yakni apakah ucapan itu mengandung kebenaran, bernuansa kebaikan, dan bisa berguna bagi diri sendiri.
Nah, apakah ketiga hal itu sudah terlihat pada pernyataan-pernyataan Gerung? Bila tidak, maka argumennya mungkin memang hanya sebagai bising politik semata. (A27)