Pengamat politik Rocky Gerung belakangan memantik perhatian karena bertemu dengan dua sosok yang kerap menjadi subjek kritiknya, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan dan Gibran Rakabuming Raka. Lalu, apakah itu merupakan sinyal bahwa Rocky akan merapat ke pemerintah?
Pekan lalu, secara berturut-turut pengamat politik Rocky Gerung bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Setelahnya, Rocky disebut akan “berbelok” dengan pro ke pemerintahan.
Itu dikarenakan publik tanah air begitu mengenal Rocky sebagai kritikus ulung kebijakan pemerintah, termasuk Luhut dan ayah Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pertemuan pertama dengan Luhut sendiri merupakan undangan khusus Rocky untuk mengisi konten di kanal YouTube pribadinya.
Menariknya, dalam agenda tersebut, Luhut memuji Rocky. Menurut Luhut, banyaknya kritik yang dilontarkan Rocky adalah bukti eksistensi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Bak gayung bersambut, Rocky menyebut Luhut adalah figur yang sukses di mata publik. Sebab, Rocky menilai banyak yang telah dikerjakan oleh Luhut sebagai seorang menteri selama ini.
Menjelaskan lebih lanjut pujian Rocky, Luhut menganggap apa yang telah dikerjakannya bukan benar-benar dia lakukan sendiri.
“Itu kerja teamwork,” jelas Luhut menyambut pernyataan Rocky.
Tak lama berselang atau tepatnya pada hari Jumat, 23 September lalu, Gibran menyambangi kediaman Rocky di di Sentul, Jawa Barat.
Awalnya, Rocky cukup terkejut karena dirinya merasa banyak kalangan di Istana Negara yang membenci sosoknya. Namun, dia tetap mengapresiasi keberanian Gibran bertandang ke rumahnya untuk berbincang-bincang.
Dalam pertemuan dan perbincangan itu, Rocky menilai Gibran merupakan sosok pria yang adil. Gibran, berdasarkan pengakuan Rocky, tidak terlalu terpengaruh dengan keadaan Istana.
Sekembalinya dari Sentul, Gibran membeberkan isi pertemuannya dengan Rocky. Kakak kandung Kaesang Pangarep itu menyebut banyak kritikan yang disampaikan oleh Rocky, baik yang terkait dirinya, Presiden Jokowi, bahkan pembahasan soal otak kosong dan kedunguan.
Perihal otak kosong dan dungu, Gibran sayangnya tidak menjelaskan lebih lanjut.
Namun, serupa dengan Luhut, Gibran juga memuji Rocky yang disebut sebagai seorang jenius dengan kritikan yang fair.
Lalu, di balik semua itu, benarkah Rocky sebenarnya berminat atau justru akan dirangkul ke pemerintahan?
Rocky Tiru Soeharto?
Merespons tudingan berbelok ke pemerintah, Rocky Gerung secara personal telah membantah. Dia pun telah membuat klarifikasi pada kanal YouTube-nya dan menyatakan bahwa tidak ada niatan sama sekali untuk mendekat ke Istana.
Menurut Rocky, bukan dirinya yang mendekat ke dalam kekuasaan, tetapi kekuasaan yang mendekat kepadanya.
Secara kontekstual, Rocky juga menjelaskan keadaan baru yang mencemaskan bangsa selama ini. Oleh karena itu, telaah kritis akan tetap disampaikannya kepada pemerintah serta mengajak masyarakat untuk terus membuka mata.
Meskipun berbentuk sebuah konten, “pertemuan empat mata” Rocky dengan Luhut dan Gibran agaknya mengingatkan kembali akan sebuah gaya diplomasi terkenal dari Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto.
Donald E. Weatherbee dalam buku berjudul International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy menjelaskan konsep four eye diplomacy yang selalu dilakukan sang Smiling General selama menjabat kepada pemimpin-pemimpin negara tetangga di Asia Tenggara.
Meskipun jamak dinilai tidak konvensional, model diplomasi empat mata Soeharto cukup dipuji atas efektivitasnya. Dengan pendekatan itu, dia disebut dapat mencampuri urusan dalam negeri negara lain tanpa terlihat ikut campur.
Salah satu buktinya adalah ketika kudeta terjadi di Kamboja pada tahun 1997. Wakil Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu, Anwar Ibrahim, memprakarsai konsep konstitutif keterlibatan dengan harapan menemukan solusi kolektif melalui kerja sama antara pihak-pihak yang bertikai.
Pada kasus lain, saat krisis demokrasi pecah di Myanmar pada awal 1990-an Menteri Luar Negeri (Menlu) Thailand saat itu Surin Pitsuwan menyarankan dan memprakarsai konsepsi keterlibatan yang fleksibel.
Dia meminta negara-negara anggota lainnya untuk mengesampingkan kebijakan dalam negeri yang dianggap merusak stabilitas dan keharmonisan kerja sama regional ASEAN.
Sayangnya, cara Ibrahim dan Pitsuwan dianggap sebagai pelanggaran karena mencampuri urusan dalam negeri negara anggota lainnya, yakni melanggar prinsip non-intervensi yang telah disepakati semua negara anggota.
Menyadari hal itu, praktik diplomasi empat mata Soeharto kemudian dianggap sebagai alternatif yang sangat dihargai dalam mempengaruhi kebijakan negara lain.
Menurut Weatherbee, Soeharto lantas berhasil menengahi konflik antar berbagai pihak selama masa pemerintahannya sebagai kepala negara melalui praktik diplomasi empat mata. Termasuk di tempat di mana Ibrahim dan Pitsuan gagal melakukannya.
Bahkan, kepiawaian Soeharto dengan diplomasi empat mata di Asia Tenggara tidak berhasil dijiplak oleh penerus kepemimpinan Malaysia, Najib Abdul Razak atau Thaksin Shinawatra dari Thailand.
Kesuksesan four eye diplomacy Soeharto mungkin saja juga diadopsi oleh Rocky dalam dimensi dan konteks yang berbeda. Bantahannya soal mendekat ke pemerintah serta akan terus memberikan kritik kepada kebijakan minor pemerintah kemungkinan bermuara pada konsep kritik baru yang diharapkan lebih efektif.
Nyatanya, kritik Rocky diterima dan justru diapresiasi, baik oleh Luhut maupun Gibran meskipun bernada cukup keras.
Selain itu, dengan kritik ala four eye diplomacy itu, Rocky kiranya juga menyiratkan idealisme yang benar-benar dipegangnya saat ini. Apakah itu?
Kematangan Rocky Diabaikan?
Secara teoretis, konsep idealisme dapat diidentifikasi menjadi dua jenis yaitu mature idealism atau idealisme matang dan naïve idealism atau idealisme naif.
Berbeda dengan idealisme naif yang bercirikan memiliki keyakinan yang sangat optimis, idealis, dan belum menerima keburukan sebagai fakta realitas yang tidak terbantahkan, idealisme matang telah memiliki penerimaan bahwa kejahatan dan delusi itu nyata adanya.
Oleh karenanya, penganut idealisme matang cenderung bersifat realistis dan mengedepankan rasionalitas karena telah mengetahui berbagai persoalan praktikal yang ada.
Akan tetapi, jenis perspektif itu memiliki satu persoalan, yakni kerap kali kurang memberi porsi perhatian pada persoalan moralitas.
Rocky sendiri kiranya menganut idealisme matang namun dalam dimensi yang berbeda. Paling tidak, itu dapat ditelusuri sejak dirinya mulai masuk ke ranah politik praktis di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Ya, dalam wawancara di program YouTube 20detik, Rocky mengakui pernah bergabung dengan tim yang dibangun untuk membangun ide calon gubernur (cagub) DKI Jakarta 2017 Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ketika itu, Rocky menyebut diminta oleh politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik untuk memperkuat tim tersebut.
Di wawancara itu, Rocky sepakat mengistilahkan peran dirinya ketika itu sebagai devil’s advocate. Itu adalah istilah klasik yang diadopsi dari frasa Romawi, yakni advocatus diaboli.
Dalam terjemahan umum, devil’s advocate adalah seseorang yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau validitas argumen tersebut.
Rocky menyiratkan bahwa kala itu, perannya adalah menguji logika dan gaya komunikasi politik AHY di depan khalayak.
Akan tetapi, kekalahan AHY, plus kepopuleran argumennya secara instan di Pilpres 2019 kemungkinan membangkitkan idealisme matang Rocky. Hingga kini, idealisme itu terpancar dari bagaimana dia selalu menjadi sosok non-partisan yang fleksibel mengkritik maupun berada di pihak entitas politik manapun.
Akan tetapi, kritik melalui four eye diplomacy Rocky kiranya memang harus diterjemahkan oleh subjek yang dikritik dalam hal ini pemerintah.
Meskipun secara terbuka Luhut telah menyebut pemerintah membuka kritik yang santun, akan tetapi hakikat komunikasi dua arah antara penguasa dan rakyat belum terpenuhi jika tidak ada perbaikan konkret.
Diharapkan, jangan sampai terjadi realitas semu di balik fenomena aksi-reaksi kritik Rocky dan tanggapan Luhut-Gibran, atau yang dalam terminologi filsuf dan sosiolog Prancis Jean Baudrillard disebut simulacra.
Akhir kata, manuver Rocky kiranya dapat dijadikan refleksi atas pentingnya keseimbangan dalam politik dan pemerintahan – terutama saat partai politik penyeimbang di parlemen belakangan ini tak terdengar kontribusi nyatanya. (J61)