Site icon PinterPolitik.com

Rocky Gerung dan Satire Agus Salim

Rocky Gerung singgung satire KH Agus Salim

“Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka,” – KH. Agus Salim


Pinterpolitik.com

[dropcap]R[/dropcap]ocky Gerung kembali ‘berulah’ dengan celotehannya. Pada 22 Februari 2019 lalu, mantan staf pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia itu mengisi diskusi dan kuliah umum di Yogyakarta dengan tema “Berpolitik dengan Akal dan Nalar”.

Di kuliah tersebut, Rocky menjawab pertanyaan salah satu audiens yang hadir dengan menggunakan contoh KH. Agus Salim, salah satu tokoh pendiri bangsa sekaligus pahlawan nasional.

Di awal ceritanya mengenai Agus Salim, Rocky mengatakan bahwa Agus Salim wajahnya seperti kambing karena jenggotnya. Karena terdapat potongan video yang menunjukkan Rocky mengatakan hal itu, ia dilaporkan oleh Forum Anak Nagari di Sumatera Barat pada 5 Maret 2019.

Selain itu, juga dikecam oleh Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan karena menganggap Rocky telah melakukan penghinaan terhadap pahlawan nasional asal Sumatera Barat tersebut.

Hasto yang tak terima Rocky menyebut Agus Salim seperti kambing, mengatakan bahwa yang dilakukan Rocky tidak pantas dan ia menganggap Rocky sebagai benalu pemecah belah bangsa. Bahkan, PDIP meminta Rocky untuk melepas status kewarganegaraan Indonesia.

Sekarang ini memang sudah banyak pelaporan atas dugaan penghinaan, terlebih karena adanya UU ITE. Namun, apakah yang dilakukan oleh Rocky Gerung merupakan suatu kewajaran dalam politik yang justru terlihat seperti mengedukasi masyarakat dalam berpolitik? Ataukah Rocky memang benar-benar menghina Agus Salim dan pantas untuk dihukum dan melepas kewarganegaraannya?

Rocky Gerung menghina KH. Agus Salim? Share on X

Rocky dalam Menceritakan Agus Salim

Pada kuliah umum tersebut, Rocky menceritakan tentang Agus Salim yang sering diejek “kambing” dan disahut “mbek” ketika jelang pidato karena jenggotnya oleh lawan-lawan politiknya. Olokan tersebut berasal dari Musso, anggota golongan muda Sarekat Islam (SI) yang kemudian menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).

Musso pada saat itu menganggap SI sudah tidak revolusioner. Ia dan kawan-kawannya yang dari golongan muda ingin merebut pimpinan SI dari H.O.S Cokroaminoto yang pada saat itu didukung oleh Agus Salim.

Yang diceritakan Rocky dalam kuliah tersebut spesifik pada peristiwa di tahun 1923 ketika Agus Salim memimpin rapat SI bersama H.O.S. Tjokroaminoto, yang menghasilkan terpecahnya SI menjadi dua, yaitu SI Merah dan SI Putih.

Olokan “mbek” terdengar ketika Agus Salim hendak berbicara di forum. Namun, ia merespons ledekan tersebut dengan satire, mempertanyakan mengapa ada kambing yang menghadiri pidatonya. Ia kemudian meminta “para kambing” itu untuk keluar dari forum.

Dari peristiwa tersebut, Rocky memuji Agus Salim dengan menganggap respons Agus Salim terhadap ledekan tersebut merupakan respon yang berasal dari kecerdasan. Rocky beranggapan bahwa hal itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam berpolitik.

Berdasarkan catatan sejarah yang ditulis Jef Last dalam buku “100 Tahun H. Agus Salim”, peristiwa tersebut juga disaksikan oleh Sutan Sjahrir, salah satu perintis kemerdekaan Indonesia sekaligus perdana menteri Indonesia yang pertama.

Respons Agus Salim terhadap lawan politiknya yang menyebutnya kambing merupakan sebuah satire yang seolah-olah membalikkan olokan tersebut dengan memposisikan para pengolok sebagai kambing alih-alih dirinya. Respons itu membuat lawan politiknya bungkam dan merasa dipermalukan.

Dalam menanggapi laporan dan perkataan Hasto, Rocky mengatakan bahwa PDIP tidak paham sejarah dan kemudian melontarkan kata “dungu” andalannya untuk Hasto. Rocky menyebut ucapannya merupakan kalimat satire dan hal itu pernah diajarkannya di Megawati Institute.

Alasan pembelaan tersebut tampaknya dapat diterima jika apa yang dikatakan Rocky direfleksikan ulang dan video kuliahnya ditonton secara penuh.

Pesan utama dari apa yang disampaikan Rocky dalam acara diskusi tersebut adalah mengajak masyarakat, khususnya generasi milenal, untuk mencontoh Agus Salim dalam merespons lawan-lawan politik. Secara tidak langsung, Rocky mengajak masyarakat untuk berani melakukan satire terhadap lawan politik.

Satire dalam Politik

Aksi satire Agus Salim yang dirujuk Rocky Gerung pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah terjadi dalam berpolitik. Secara tradisional, menurut Ruben Quintero, sebagaimana dikutip oleh Nicholas Diehl, satire merupakan ekspresi kepedulian terhadap kepentingan publik. Namun dalam konteks modernnya, satire merupakan suatu ekspresi yang ditujukan untuk membujuk orang, khususnya untuk yang dianggap sebagai lawan.

Selain itu, menurut Lijun Tang dan Syamantak Bhattacharya, satire juga dapat digunakan sebagai kritik terhadap penguasa dan dapat diekspresikan sebagai perlawanan, kejenuhan, atau ketidaksetujuan atas sesuatu, yang dalam konteks ini merujuk pada suatu fenomena politik.

Hal ini ditunjukkan misalnya oleh capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo dengan Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik, yang dihadirkan sebagai ekspresi kejenuhan masyarakat atas eksploitasi isu kontestasi pilpres Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.

Dalam buku “The Introduction to Satire” yang ditulis oleh Leonard Feinberg, satire diartikan sebagai kritik yang bersifat ‘main-main’ atas suatu penyimpangan familiar. Satire sudah diterapkan oleh masyarakat zaman Yunani Kuno pada abad ke-7 SM, ditampilkan di teater-teater pada masa itu seperti di Teater Epidarus.

Pada zaman Yunani Kuno, masyarakat demokrasi di Athena banyak yang merujuk pada satire dan menggunakannya dalam mengekspresikan kritiknya terhadap pemerintah.

Filsuf Yunani Kuno seperti Plato bahkan mereferensikan komedi yang dilakukan Aristhopanes, seorang dramawan dan komika Yunani Kuno yang sering melakukan satire, untuk memahami masyarakat polis Athena. Itu berarti, Plato menunjukan bahwa satire merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat.

Secara spesifik, satire yang dilakukan oleh Agus Salim dalam ‘mengusir’ lawan-lawan politiknya adalah satire Horatian, yaitu satire lembut dan intelek yang  digunakan untuk mengejek kebodohan secara halus. Mungkin hal inilah yang diharapkan Rocky Gerung untuk diterapkan oleh masyarakat demi terwujudnya masyarakat yang berakal dan bernalar.

Karena Satire, Perlu Dilapor?

Yang dilakukan oleh Rocky Gerung mungkin memang belum bisa dikatakan sebagai satire secara penuh, karena ia hanya menyarankan masyarakat untuk mencontoh Agus Salim dalam bersatire.

Namun karena Rocky telah membawa satire yang dilontarkan oleh Agus Salim di hadapan publik, secara tidak langsung ia berusaha untuk menghidupkan satire Horatian ala Agus Salim dan hal itu merupakan suatu kewajaran dalam berpolitik.

Karena konteks dari pembicaraan dalam diskusi tersebut adalah untuk menjadi masyarakat yang kritis dalam berpolitik, idealnya Rocky tidak perlu dilaporkan ke polisi. Celoteh Rocky yang mengatakan Agus Salim seperti kambing karena jenggotnya pada hakikatnya belum cukup untuk dikatakan sebagai penghinaan. Rocky hanya mengatakan ulang ekspresi yang telah terlontarkan dan terjadi di tahun 1923.

Idealnya, satire dibalas dengan satire pula, atau setidaknya memberikan argumen yang kuat dan berfondasi dalam membalas kritik yang terkandung dalam satire.

Dalam kasus Rocky Gerung versus PDIP ini, dapat dipertanyakan mengapa PDIP tidak cukup untuk menerima satire yang dilontarkan Rocky dan memahami konteks sejarahnya, malah menuduh Rocky telah melakukan penghinaan terhadap Agus Salim.

Secara tidak langsung, hal itu seolah menunjukkan bahwa PDIP belum memiliki argumen perlawanan untuk menghadapi Rocky. Pada titik ini, kritik PDIP tentang pemecah belah bangsa dan juga pelaporan ke polisi boleh jadi bukan jawaban yang tepat bagi pernyataan Rocky. (D44)

Exit mobile version