HomeNalar PolitikRocky Gerung Berbalik Lawan Prabowo

Rocky Gerung Berbalik Lawan Prabowo

Di tengah geliat safari politik Prabowo Subianto untuk menyeberang ke kubu pemerintah, terselip kekecewaan para pendukung yang telah banyak berkorban pada kontestasi elektoral lalu. Rocky Gerung misalnya, “Presiden Akal Sehat” ini berujar manuver Pabowo memperlihatkan bahwa mantan Danjen Kopassus itu mengerti betul apa arti kekuasaan.


PinterPolitik.com

Seluruh sejarah umat manusia, intelektual dan moral, politik dan sosial, hanyalah pantulan dari sejarah ekonomi. Begitulah pernyataan Mikhail Bakunin, seorang anarkis revolusioner Rusia dalam bukunya yang mahsyur dikutip berjudul God and the State.

Dalam terang ekonomi, manusia senantiasa menimbang sesuatu dengan berbagai kalkulasi yang dikondisikan untuk menguntungkannya.

Kalkulasi menguntungkan inilah yang sekiranya tengah dipegang oleh Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto ketika memilih mulai menapaki langkah untuk masuk ke dalam pemerintahan.

Seperti dugaan Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra, Prabowo boleh jadi memilih untuk masuk ke dalam pemerintahan karena Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 adalah keikutsertaan terakhirnya.

Menimbang hal tersebut, adalah pilihan yang masuk akal dan menguntungkan apabila Prabowo membawa Gerindra masuk ke dalam gelanggang kekuasaan. Terlebih lagi, ini mungkin menjadi momen bersejarah. Pasalnya, partai berlambang garuda ini belum pernah duduk di jajaran kabinet pemerintahan.

Mengutip pernyaatan Puan Maharani ketika terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perempuan pertama, mungkin akhirnya Gerindra akan “pecah telor” untuk duduk di kursi empuk lingkaran Istana.

Tanpa menunggu aba-aba, berbagai pihak ramai menyoal sikap Prabowo. Kalangan yang realistis, tentu berujar bahwa langkah Prabowo adalah lumrah dalam politik yang selalu berjalan dinamis. Namun, beda halnya dari kalangan para pendukung yang menunjukkan rasa kekecewaannya karena lebih menginginkan mantan Pangkostrad ABRI itu untuk menjadi oposisi pemerintah.

Pengamat politik Rocky Gerung misalnya, dengan ketus menyebut gestur Prabowo melampaui gestur politisi manapun. Pun bagi Rocky, manuver Prabowo memperlihatkan bahwa Ketum Partai Gerindra itu mengerti betul apa artinya kekuasaan.

Merujuk pada antusiasme para pendukung Prabowo pada kontestasi elektoral lalu, layak kita duga, manuver politik Prabowo besar kemungkinan akan memberi rasa kekecewaan. Bahkan beberapa pihak menyebutkan bahwa hal ini bisa meningkatkan apatisme terhadap politik. Namun, benarkah demikian?

Di Balik Apatisme Politik

Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adrian Sopa mengatakan, data dari Pemilu ke Pemilu pasca Orde Baru menunjukkan Pilpres 2019 merupakan pesta demokrasi dengan partisipasi pemilih paling tinggi.

Adrian menjelaskan, pada Pilpres 2004 jumlah golput tercatat 23,30 persen. Pada Pilpres 2009, angkanya menjadi 27,45 persen, dan Pilpres 2014 sebesar 30,42 persen. Sedangkan pada Pilpres 2019, berdasarkan hasil hitung cepat LSI Denny JA, golput mengalami penurunan menjadi 19,24 persen.

Salah satu faktor yang menurunkan angka golput ini adalah masifnya seruan “jangan golput” dari kedua kubu, khususnya kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Artinya, seruan tersebut ditindaklanjuti pendukung dengan datang untuk mencoblos. Di sini tentu terdapat dimensi kepercayaan yang berpengaruh besar.

Didukungnya Prabowo oleh organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) sebenarnya cukup menarik. Ini karena Gerindra merupakan partai bervisi nasionalis seperti PDIP, dan bukannya partai Islam. Lalu, Prabowo yang merupakan bagian dari kalangan Islam abangan tentunya tidak merepresentasikan suara Islam seperti dalam konteks FPI.

Baca juga :  Ke Mana Jokowi Akan Berlabuh?

Atas keganjilan ini, satu spekulasi yang mencuat, yaitu Prabowo didukung bukan karena kesamaan platform politik katakanlah dengan ormas seperti FPI, melainkan karena Prabowo berani mengangkat suara ormas tersebut ke atas tarung politik nasional. Strategi ini tidak pernah dilakukan oleh berbagai pasangan calon (paslon) presiden sebelumnya.

Hal inilah yang dianggap membangkitkan kembali semangat akan partisipasi politik. Lalu, bagaimana jadinya jika Prabowo ternyata memilih menyebrang ke kubu pemerintah mengingat gestur itu terlihat jelas saat ini?

Mengutip pernyataan ahli politik dari Swedia, Bo Rothstein, kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial. Artinya, kepercayaan yang dikhianati akan memberi luka dan melahirkan rasa ketidakpercayaan.

Sudah menjadi rahasia umum, jikalau masyarakat menjadi apatis terhadap politik karena menilai para politisi tidak memberikan dampak perubahan yang signifikan, ataupun merasa suaranya tidak akan diperjuangkan secara menjanjikan. Artinya, masyarakat memiliki kekecewaan kolektif pada politik.

Kasusnya bisa dilihat pada tahun 2015, ketika terjadi angka golput yang sangat tinggi di Inggris yang menyentuh angka 35 persen. Lembaga survei asal Inggris, Survation kemudian melakukan studi dan menemukan bahwa sebagian besar orang yang tidak memilih, melakukannya karena tidak percaya bahwa suaranya akan disuarakan dengan menjanjikan oleh partai politik (parpol) ataupun kandidat. Hal ini didasari atas kekecawaan pada parpol ataupun kandidat yang melanggar janji-janji politik.

Menilik kasus yang terjadi di Inggris, boleh jadi rasa kecewa yang terjadi di tengah masyarakat saat ini menjadi preseden akan tingginya angka golput pada Pilpres 2024 ataupun Pemilu lainnya.

Akan Datang Bahaya Demokrasi

Mengutip istilah Walter Lippmann, dalam demokrasi saat ini, peranan masyarakat tidak ubahnya seperti “kawanan yang kebingungan” yang hanya menjadi penonton dalam perhelatan politik yang penuh intrik. Praktis, peranan masyarakat pada kaedahnya, hanya sebagai partisan yang melegitimasi kekuasaan politisi ketika kontestasi elektoral.

Pun dengan Direktur Bradley Foundation, Michael Joyce dalam artikelnya menjelaskan bahwa betapa jauhnya sistem politik dari rakyat, di mana peran rakyat hanya sebagai alat penambang suara bagi politisi. Dengan cukup provokatif, Joyce menjelaskan bahwa masyarakat telah diombang-ambingkan ke sana kemari oleh mereka yang berkuasa. Mungkin, tidak ubahnya seperti wayang yang dimainkan oleh para dalang.

Lalu, pertanyaan Joyce dalam artikel tersebut adalah, bagaimana cara kita mengatasi persoalan tersebut?

Cukup mengejutkan, Joyce tidak menyarankan kita terlibat aktif dalam perhelatan politik untuk mengubahnya – misalnya dengan menjadi anggota DPR atau kepala daerah – melainkan, justru dengan cara meninggalkan segala kebisingan politik.

Melihat pada cara pikirnya, mungkin Joyce memikirkan sum zero game, yaitu kondisi yang menciptakan kalkulasi nol. Maksudnya ketika tidak terdapat seorang pun bermain dalam politik, maka tidak akan terdapat kebisingan politik. Ini tentu masuk akal karena setiap permainan membutuhkan pemain yang memainkannya.

Namun, pertanyaannya, solusi Joyce bukanlah solusi yang implementatif, melainkan berdasar pada thought experiment (eksperimen pikiran) semata. Maksudnya, solusi tersebut dapat terbukti secara teoritis, namun lumpuh dalam hal pembuktian empiris.

Tak heran Noam Chomsky menyebut artikel tersebut sebagai propaganda yang sangat cerdas, terancang dengan baik, lihai, dan dipikirkan dengan matang, namun tujuannya adalah untuk membuat masyarakat menjadi bodoh, pasif, tidak acuh, seraya pada saat yang sama mereka merasa telah memberi kontribusi besar pada politik.

Kritik Chomsky itu bukan tanpa alasan yang kuat. Menurutnya, ketika kita meninggalkan gelanggang politik, seseorang pasti akan berada di sana. Korporasi ataupun politisi akan mengisi ruang-ruang kosong tersebut.

Mereka tidak mungkin mengikuti saran Joyce untuk meninggalkan politik dengan pergi katakanlah ke PTA (Parent Teacher Association – Perkumpulan Orangtua Murid dan Guru). Akhirnya, korporasi ataupun politisi akan mengendalikan segalanya, dan terbitlah rezim diktatorial.

Artinya, di dalam politik, potensi penurunan partisipasi masyarakat dalam politik adalah lampu merah bagi demokrasi dan akarnya boleh jadi adalah kekecewaan.

Satire Rocky untuk Prabowo

Terkait hal ini, menarik untuk melihat apa yang diungkapkan oleh Rocky Gerung ketika mengkritik proyek Pulau Reklamasi dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC). “Teluk itu, adalah hak bumi untuk berlekuk”, demikian kata Rocky. Ini yang disebut Rocky sebagai inherent logic of environment atau logika inheren dari lingkungan. Artinya, harus adanya pikiran, bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengubah struktur alam.

Mengadaptasi istilah tersebut, maka harus ada pula inherent logic of democracy, yakni harus adanya pikiran bahwa politisi tidak memiliki hak untuk mengubah struktur demokrasi.

Dalam kasus safari politik Prabowo, Rocky baru-baru ini melontarkan satire: “Enggak perlu tokoh seperti dia (Prabowo), nyampah-nyampahin negeri saja”.

Boleh jadi, Rocky melihat bahwa Prabowo tidak memahami inherent logic of democracy dengan keinginannya untuk masuk ke dalam pemerintahan, mengingat dirinya adalah pihak yang kalah.

Dalam aturan main demokrasi, sudah sepatutnya, pihak yang kalah akan menjadi penyeimbang atau oposisi. Jika hal demikian tidak terjadi, maka sia-sialah kontestasi elektoral untuk menentukan sang pemenang. Itu inherent logic-nya.

Memperluas makna satire tersebut, Prabowo boleh jadi akan menjadi batu ganjalan bagi demokrasi. Karena atas safari politiknya, mantan Danjen Kopassus tersebut telah menciptakan kekecewaan masyarakat yang berpotensi memukul balik tingginya partisipasi politik pada Pilpres 2019 lalu.

Pada akhirnya, seperti pernyataan Bakunin di awal tulisan, sejarah manusia adalah pantulan sejarah ekonomi. Langkah Prabowo, tidak hanya mencederai logika demokrasi, melainkan juga memberi afirmasi terhadap tuduhan Bakunin. Prabowo tidak ubahnya menempuh langkah ekonomis (menguntungkan) agar Gerindra dapat mencicipi “kue kekuasaan”, kue yang sudah 10 tahun tidak dirasakan partainya. (R53)

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...