Penilaian Rocky Gerung terkait adanya sinyal Jokowi telah menyalahkan Anies Baswedan atas bencana banjir Jakarta baru-baru ini kembali menghangatkan perdebatan politik publik. Di balik penilaian tersebut, Rocky juga menegaskan bahwa memang terdapat kelompok penguasa tertentu yang tidak menginginkan Anies menuai popularitas dan simpati massa. Bahkan baginya, sedari awal Anies telah ditetapkan sebagai lawan politik. Lantas, benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Sejak zaman Yunani Kuno, telah dikenal berbagai sosok orator hebat yang memiliki kemampuan berbicara yang begitu baik di depan publik. Mereka, tidak hanya mampu meliukkan lidah untuk menciptakan lantunan pernyataan yang menarik untuk didengar, melainkan juga memiliki kemampuan untuk menarik perhatian atau simpati massa.
Menariknya, dalam berbagai sejarah, tokoh-tokoh yang demikian ini justru kerap datang dari mereka yang tergolong sebagai outsider atau di luar trah kekuasaan elite politik.
Kini, sosok tersebut nampaknya terlihat dalam diri Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, memiliki kemampuan orasi dan daya tarik yang tidak ubahnya seperti magnet penarik massa.
Selayaknya magnet yang memiliki dua kutub, Anies tidak hanya menarik simpati untuk mendukungnya, melainkan juga menarik berbagai “kebencian” yang benar-benar tidak ingin melihat namanya bersinar.
Terkait yang terakhir, ini memang tidak terlepas dari berbagai pihak yang merasa “tersakiti” karena kekalahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 setelah menguatnya politik identitas kala itu.
Sejak saat itu, berbagai pihak terus mencari celah atau kesalahan yang kemudian dapat dikonversi menjadi hujanan kritik bagi Anies. Dan sekarang, momentum tersebut benar-benar didapatkan. Bagaimana tidak, atas bencana banjir yang menandai awal tahun 2020 ini, berbagai pihak benar-benar meluapkan kekesalannya kepada orang nomor satu DKI Jakarta tersebut.
Luapan kekesalan itu misalnya terlihat dari adanya 243 korban banjir yang melayangkan class action – sebutan untuk gugatan mewakili kelompok – melawan Anies selaku gubernur. Mereka menilai Pemprov DKI Jakarta tidak mampu memberikan peringatan dini yang memadai, sehingga menuntut Anies untuk membayar uang kompensasi kerugian sebesar Rp 42 miliar.
Ada pula aksi demonstrasi yang dipimpin oleh politikus PDIP, Dewi Tanjung yang bertujuan untuk menyuarakan agar Anies segera mundur sebagai Gubernur DKI Jakarta karena menilai masyarakat telah bosan dan jengah melihatnya.
Menyambung itu semua, pengamat politik Rocky Gerung juga turut memberikan tanggapan atas hujanan kritik yang tengah mendera Anies. Menariknya, mantan dosen Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia ini menilai terdapat sinyal yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyalahkan Anies terkait banjir Jakarta.
Menurutnya, terdapat dua indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Pertama, Jokowi tidak mengundang Anies dalam rapat strategis soal banjir. Kedua, Jokowi tiba-tiba datang ke Waduk Pluit tanpa memberitahu atau mengundang Anies.
Lebih menarik lagi, Rocky menuturkan bahwa Jokowi telah diam-diam menikmati seteru politik di tengah masyarakat yang melibatkan Anies selama ini. Sambungnya, sedari awal, memang terdapat kelompok penguasa yang telah menasbihkan Anies sebagai lawan politik, sehingga harus segera diredupkan sebelum menjadi terang benderang.
Atas berbagai hingar bingar politik atas banjir Jakarta tersebut, setidaknya publik bisa melihat adanya politik “kambing hitam”, di mana Anies menjadi sasaran empuknya. Selain itu, ini juga mempertegas adanya kekuatan politik tertentu yang berposisi diametral atau berseberangan dengan Anies.
Lantas, bagaimana persoalan politik tersebut dapat dimaknai?
Anies Sasaran Kambing Hitam?
Christine Franciska dalam tulisannya The Heroes and Politics of Jakarta’s Floods, menyebutkan bahwa banjir di Jakarta telah lama menjadi “komoditas politik” yang dapat menjadi tunggangan untuk meraih popularitas. Atas hal ini pula, berbagai pihak turut memanfaatkan momen tersebut sebaik mungkin, termasuk untuk menyerang Anies sebagai kepala daerah.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono misalnya, sempat “menyentil” Anies karena normalisasi Sungai Ciliwung hanya berjalan 16 km dari 33 km. Kritik ini sebenarnya riskan, mengingat normalisasi Sungai Ciliwung sebenarnya juga adalah tugas dari Menteri PUPR. Artinya, kritik tersebut turut menyerang Kementerian PUPR sendiri.
Menyambung kritik Menteri Basuki tersebut, Anies berdalih bahwa normalisasi sungai sebenarnya bukanlah jawaban atas masalah banjir Jakarta. Menariknya, Ian Wilson dalam tulisannya The Politics of Flood Alleviation in Jakarta, juga memberikan pandangan yang sama dengan Anies.
Dengan mengutip laporan World Bank, Wilson menyebutkan bahwa pemukiman-pemukiman yang disebut menjadi batu ganjalan normalisasi sungai justru bukanlah penyebab banjir. Menurutnya, kebijakan normalisasi bantaran sungai justru menyimpan motif ekonomi pembangunan yang menguntungkan elite.
Wilson menyebutkan bahwa mereka yang disalahkan atas banjir Jakarta seharusnya adalah elite-elite yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang berperan dalam mengatur tata kelola kota Jakarta, dan bukannya orang-orang miskin yang tidak memiliki kekuatan ekonomi dan politik.
Wilson dengan lugas memberikan contoh Podomoro dan Agung Sedayu Group selaku pihak yang hebatnya memiliki imunitas terkait pelimpahan kesalahan banjir Jakarta. Padahal, penutupan berbagai lahan hijau juga terjadi karena pembangunan berbagai apartemen, mal, ataupun kawasan perumahan adalah kesalahan dari elite-elite kaya dan berpengaruh tersebut.
Singkat kata, menyalahkan Anies seperti katakanlah tidak melakukan normalisasi sungai secara maksimal boleh jadi hanyalah politik “kambing hitam” karena justru tidak menyasar penyebab utama dari bencana banjir tersebut.
Kelompok Penguasa yang Dimaksud Rocky?
Jika membandingkan kasus Anies dengan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, pelimpahan kesalahan terhadap sang gubernur benar-benar memiliki intensitas yang berbeda. Hal ini misalnya terlihat pada era sebelumnya, di mana tidak terdapat tuntutan ganti rugi dari masyarakat ataupun adanya demonstrasi yang menuntut gubernur terkait untuk mundur.
Persoalan ini menjadi ganjil karena banjir sebenarnya tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga menerjang Bogor, Bekasi, dan Banten. Lalu mengapa hanya Anies yang menjadi pesakitan atas bencana tersebut?
Atas berlanjutnya berbagai gejolak tersebut, cukup masuk akal untuk menyebutkan bahwa itu tidak terjadi secara kebetulan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Presiden ke-32 Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt: “In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.”
Merujuk pada Roosevelt, fenomena politik kambing hitam terhadap Anies mestilah memiliki aktor di belakangnya. Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 13 Agustus 2019 lalu, Rocky Gerung juga pernah menduga bahwa terdapat pihak yang mengkoordinasi bully sistematis atas Anies. Pasalnya, bully tidak hanya datang dari warga Jakarta, melainkan juga dari luar Jakarta.
Menurut Rocky, dengan fakta bahwa Jakarta adalah ibu kota negara, itu mengindikasikan bahwa mereka yang mampu untuk mengelola Jakarta akan mampu pula untuk mengelola Indonesia. Artinya, menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah batu loncatan untuk menjadi presiden Indonesia.
Merujuk pernyataan tersebut, dapat dipahami rasionalisasi dari pihak-pihak yang ingin membentuk narasi bahwa Anies tidak mampu mengelola Jakarta, misalnya dengan gagal menangani banjir. Mereka ini, dengan jelas tidak ingin melihat Anies memiliki kesempatan untuk maju di Pilpres 2024.
Secara spesifik, Rocky menyebut “kubu penguasa Presiden Jokowi” terkait mereka yang melakukan usaha tersebut. Dengan kata lain, kemungkinan besar kelompok ini adalah mereka yang terafiliasi dengan Presiden Jokowi.
Melihat aktor yang bermain, ataupun partai politik yang berkapabilitas maju di Pilpres 2024 namun belum memiliki nama calon, indikasi-indikasi tersebut sepertinya mengarah kepada PDIP.
Pasalnya, terdapat nama politikus PDIP, Dewi Tanjung yang sebenarnya tidak berdomisili di Jakarta, tetapi justru memimpin demonstrasi yang mengklaim membawa suara warga Jakarta.
Dengan demikian, dapatkah disimpulkan berbagai keriuhan politik yang melibatkan Anies diorkestrai oleh PDIP? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.