Pernyataan Rocky Gerung yang menyebut ada black market of justice di Istana menjadi pergunjingan terbaru beberapa hari terakhir ini. Bukan hanya soal keberanian Rocky mengatakan hal tersebut saja, tetapi juga perdebatan terkait kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya. Pasalnya, kekuasaan dan keadilan adalah dua hal yang punya pertalian erat, serta menentukan arah berjalannya demokrasi dan sistem bernegara yang bahkan telah digariskan sejak abad ke-17.
PinterPolitik.com
“At his best, man is the noblest of all animals; separated from law and justice, he is the worst”.
:: Aristoteles ::
[dropcap]P[/dropcap]ilpres 2019 tanpa Rocky Gerung mungkin akan seperti sinetron tanpa sosok antagonis – setidaknya dalam kaca mata pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi, jangan salah, justru kehadiran sosok seperti Rocky membuat Pilpres menjadi berkualitas karena orang akan diajak untuk berpikir.
Seperti biasanya, kali ini Rocky hadir lagi dengan pernyataan-pernyataannya yang sakti dan menuntut orang untuk membolak-balikkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau lebih sering menggunakan Google untuk membuktikan informasi yang disampaikan pengajar filsafat itu.
Dalam panggung Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan oleh TvOne beberapa hari lalu, salah satu pendiri Setara Institute ini mengetengahkan istilah sensasional yang ia sebut black market of justice atau pasar gelap keadilan di Istana.
Tokoh seperti Rocky akan membuat kubu Jokowi berpikir keras untuk menghadirkan orang yang setidaknya bisa mengimbangi kemampuan retorika mantan dosen Universitas Indonesia itu. Share on XIstilah tersebut tentu saja “berani”, mengingat pasar gelap selalu diidentikkan dengan hal-hal yang ilegal atau melanggar peraturan yang berlaku. Sementara, kata “Istana” tentu saja punya makna yang bisa diidentikkan dengan konteks kekuasaan pemerintahan sekarang ini.
Artinya, Rocky secara tersirat mengritik pemerintahan Presiden Jokowi. Ia bahkan secara tidak langsung menyebutkan bahwa saat ini sedang terjadi “jual beli” keadilan secara ilegal di Istana. Konteks tersebut juga sekaligus menjadi gambaran besar mengenai penundukan hukum yang dilakukan oleh kekuasaan.
Pernyataan Rocky memang harus dimaknai secara keseluruhan terkait kritiknya terhadap penegakan hukum di era pemerintahan saat ini. Dalam kesempatan tersebut Rocky juga menyoroti persoalan keadilan hukum yang menurutnya tidak lagi mampu dirasakan oleh semua orang, serta menyinggung kasus-kasus yang menimpa beberapa tokoh. Ia misalnya menyebut kasus Ahmad Dhani yang hanya karena kata “idiot” harus mendekam dalam penjara.
Dengan konteks tuduhan yang serius – bahkan sampai menyinggung posisi Jaksa Agung yang menurutnya berpotensi untuk berbuat jahat karena menempel pada kekuasaan – tentu kata-kata Rocky tidak bisa dimaknai sebagai serangan politik biasa.
Black market of justice.https://t.co/nlUwKqc7oy
— Rocky Gerung (@rockygerung) February 13, 2019
Lalu, pertanyaanya adalah benarkah konteks keadilan itu “dipasarkan” di Istana seperti yang dianalogikan Rocky tentang pasar gelap dan apakah kondisi yang telah digariskan ulang sejak abad ke-17 setelah Samuel Rutherford menulis buku tentang hubungan kekuasaan dan hukum, dibalikkan kembali ke era sebelumnya?
Pasar Gelap Keadilan, Hybrid Regime
Kritik terbesar Rocky memang berada di wilayah pelaksanaan aspek-aspek hukum yang menurutnya cenderung diwarnai oleh keinginan penguasa saat ini untuk mempertahankan kursinya. Menurutnya, permasalahan hukum yang terjadi bukan lagi terletak pada aspek legalitas atau produk hukumnya, tetapi pada legitimasinya atau kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan peradilan.
Artinya, konteks keadilan itu belakangan ini masih sangat jauh dari pemenuhannya karena konteks pelaksanaannya di lapangan. Bagi Rocky, aksi Ahmad Dhani mengucapkan kata “idiot” adalah ekspresi, sehingga seharusnya tidak bisa dipidana.
Jika diperhatikan, memang pendapat tersebut masuk akal, mengingat sejak menjalankan demokrasi, Indonesia menjamin kebebasan berekspresi.
Namun, argumentasi Rocky ini umumnya dipatahkan pendukung pemerintah dengan menyebutkan bahwa kebebasan tersebut punya batasan, mengacu pada Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana kebebasan seseorang tidak boleh melampaui batas hingga melanggar hak-hak orang lain yang diatur oleh Undang-Undang.
Terlepas dari pertentangan tersebut, faktanya memang konteks kebebasan berekspresi kini telah ada di wilayah yang abu-abu. Rocky sempat menyinggung indeks demokrasi Indonesia yang diukur oleh lembaga asing – tidak ia sebut namanya – yang menunjukkan adanya penurunan kualitas demokrasi di negara ini.
Jika merujuk pada indeks demokrasi yang dibuat oleh The Economist’s Intelligence Unit (EIU) yang merupakan bagian dari majalah The Economist, memang Indonesia mengalami penurunan skor dari 6,97 pada 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017. Indonesia bertengger di posisi 65 dalam hal pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia.
Pada laporan EIU tahun 2018, angka tersebut masih sama. Hal yang menarik justru ditunjukkan dalam indikator kebebasan sipil, di mana skor yang diperoleh Indonesia hanya 5,59 dan menjadi variabel paling rendah dari semua yang diukur – sekalipun dalam hal pelaksanaan Pemilu, skor yang diraih mencapai 6,92.
Angka 5,59 terkait kebebasan berpendapat itu dalam kategori yang dibuat EIU masuk kategori hybrid regime atau illiberal democracy karena ada di bawah nilai 6. Rezim kekuasaan ini dicirikan dengan masih adanya Pemilu, namun kebebasan sipil masyarakat yang dibatasi.
Memang, secara skor keseluruhan Indonesia masih ada di kategori flawed democracy di mana masih ada Pemilu yang berjalan secara adil, kebebasan masyarakat sipil yang mendasar tetap dijamin, sekalipun ada batasan-batasan terkait media massa dan lainnya. Namun, posisi Indonesia dalam daftar tersebut sudah ada di ambang menuju di bawah nilai 6.
Pertanyaannya adalah apakah hal ini buruk?
Jawabannya memang relatif. Namun, jika demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah patokannya, maka hal ini tentu mengecawakan. Hybrid regime juga sering diidentikkan dengan guided democracy atau demokrasi terpimpin di mana pucuk kekuasaan mengambil tempat yang terlalu besar dalam membatasi kebebasan masyarakat.
Laporan ini memang berbeda dengan versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut Indonesia mengalami peningkatan indeks demokrasi di tahun 2018. Namun, persamaannya adalah BPS juga mencatat adanya penurunan dalam hal kebebasan berpendapat.
Artinya, memang pernyataan Rocky punya pendasaran yang bisa diterima. Belum lagi jika berkaca pada persoalan-persoalan HAM yang memang makin tak berujung. Rocky bahkan menilai persoalan-persoalan ini sudah mengarah pada pemerintahan yang otoriter dengan pemimpin yang terlalu dominan dalam demokrasi serta penegakan hukum.
Atas dasar itulah konteks black market of justice mendapatkan tempatnya. Pasalnya kebebasan sipil yang berkeadilan tidak lagi dijamin oleh kekuasaan. Bahkan, justru kekuasaan “memasarkan” keadilan tersebut – di mata Rocky – dan tidak lagi mendasarkan pengambilan kebijakan pada kebenaran.
Konteks justice, kebenaran (truth) dan power atau kekuasaan yang demikian ini nyatanya telah menjadi bahan diskursus yang dibangun Socrates (470-399 SM). Hal ini ditulis sang murid, Plato (428-327) dalam buku Republic.
Dikisahkan dalam buku itu, ada sebuah dialog antara Socrates dengan rekan sophist-nya (sebutan untuk guru atau pembicara publik di era itu), Thrasymachus yang secara berulangkali menyebutkan bahwa keadilan itu adalah konsepsi yang tidak nyata. “I proclaim that justice is nothing but the interest of the stronger”, demikian kata Thrasymachus. Menurutnya keadilan adalah tentang kepentingan orang-orang yang kuat saja.
Sekalipun pandangan tersebut didebat oleh Socrates, namun konteks tersebut masih relevan untuk dilihat saat ini – bahkan cenderung mengalami pembenaran. Setidaknya, Rocky Gerung telah mengetengahkannya ke hadapan publik, bahwa keadilan itu telah tunduk pada kekuasaan.
King is The Law?
Pernyataan Rocky tentang black market of justice di Istana memang tuduhan yang menarik dalam konteks hubungan antara kekuasaan dan hukum. Jika benar demikian, maka telah terjadi pembalikan terhadap apa yang ditulis oleh teolog Presbiterian asal Skotlandia, Samuel Rutherford pada tahun 1644.
Dalam bukunya yang berjudul Lex, Rex, Rutherford mengetengahkan konsepsi tentang posisi kekuasaan di hadapan hukum. Buku tersebut menjadi dasar adanya pembalikan konsep yang semulanya percaya bahwa “the king is law” – raja adalah hukum – diubah menjadi “law is the king” – hukum adalah raja.
Dengan “king” sebagai simbol kekuasaan, maka sudah selayaknya posisi hukum yang berkeadilan diletakkan setinggi-tingginya. Bahkan negara seperti Amerika Serikat (AS) mengambil inspirasi pendiriannya – dalam the Declaration of Independence – dari pemikiran Rutherford tersebut.
Artinya, apa yang diucapkan oleh Rocky Gerung terkait black market of justice adalah pembalikan hal yang telah ditulis sejak 1644. Bahayanya, jika kekuasaan diletakkan di atas hukum, maka akan lahir otoritarianisme kekuasaan – hal yang sudah dikritisi oleh banyak penulis dan pengamat luar negeri tentang Indonesia.
Sekalipun demikian, kritik Rocky juga tidak bisa dilepaskan dari posisi politiknya. Dengan konteks polarisasi masyarakat yang terjadi saat ini, sangat mungkin membuat amplifikasi dampak yang ditimbulkannya menjadi besar, apalagi Rockcy cenderung mengambil posisi yang linear dengan kepentingan politik pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menjadi penantang Jokowi.
Pertanyaannya adalah apakah Rocky murni mengritik, atau hanya sekedar mencari-cari celah kritik?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, tokoh seperti Rocky akan membuat kubu Jokowi berpikir keras dan mau tidak mau harus menghadirkan orang yang setidaknya bisa mengimbangi kemampuan retorika mantan dosen Universitas Indonesia itu.
Positifnya, jika berhasil mendapatkan orang yang setara – sejauh ini belum terlihat ada tandingannya – maka peran Rocky sebagai lawan kubu pemerintah sangat mungkin menjadi layaknya film The Revenant. Leonardo DiCaprio yang jadi tokoh utama di film itu tak akan mungkin memenangkan Piala Oscar untuk pertama kalinya tanpa kehebatan acting Tom Hardy yang menjadi lawan mainnya.
Sebab, politik itu seperti bermain badminton, di mana lawan kita sesungguhnya adalah teman bermain. Persoalannya tinggal siapa yang jadi Leo dan siapa yang jadi Tom Hardy? (S13)