Rocky Gerung menjadi obrolan publik selama dua minggu terakhir akibat pernyataannya tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) di media sosial. Menariknya, pelaporan penghinaan dilakukan oleh para pendukung Jokowi, bukan dari sang presiden sendiri. Mungkinkah ada narasi politik di balik fenomena ini?
Buat kalian para penggemar Marvel, pastinya kalian juga kenal dengan sosok pahlawan super yang bernama Hulk. Yapp, pahlawan berkulit hijau dengan tubuh yang besar dan kekar tersebut dikenal sebagai salah satu pahlawan super dengan fisik terkuat dalam semesta Marvel.
Meski begitu, Hulk awalnya hanyalah seorang manusia biasa berprofesi ilmuwan, dengan nama Bruce Banner. Dalam ceritanya, Banner menjadi Hulk setelah terkontaminasi paparan radiasi sinar Gamma. Menariknya, Hulk ini mampu menjadi semakin lebih kuat bila dirinya merasa semakin marah.
Tapi guys, kalau di dunia nyata, alih-alih bertambah kuat, ketika kita merasa semakin marah, justru yang terjadi sepertinya malah sebaliknya nih. Karena seperti pepatah “mulutmu harimaumu”, amarah yang kita ungkapkan bisa berbalik menjadi senjata untuk menyerang kita. Hal itulah mungkin yang saat ini juga dirasakan oleh kritikus politik Indonesia, Rocky Gerung.
Usai video yang memperlihatkan dirinya berkata cukup kasar tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) viral, Rocky telah dihujani banyak laporan dari orang-orang yang menginginkan dirinya diadili atas dugaan hinaan terhadap presiden.
Menariknya, dari banyaknya laporan tersebut, diketahui bahwa semuanya berasal dari aduan masyarakat, bukan dari pemerintah atau Jokowi sendiri. Ketika ditanya soal responsnya pun Jokowi hanya memberikan jawaban sederhana, menyebut perkara soal Rocky hanya sebagai “hal-hal kecil”. Menteri Koordinator bidang Hukum, Politik, dan HAM (Menko Polhukam), Mahfud MD juga telah menegaskan bahwa Jokowi tidak akan melaporkan Rocky ke pihak berwajib atas perkataannya.
Hal ini menjadi sorotan menarik bagi publik, apalagi ini bukan pertama kalinya Rocky memberikan komentar pedas tentang Presiden Jokowi dan pemerintah. Banyak yang juga mempertanyakan fakta bahwa hingga saat ini Rocky sepertinya tidak pernah mendapat persekusi hukum meskipun sering membuat kontroversi.
Tentu pertanyaan lanjutannya adalah mengapa sosok kritikus seperti Rocky bisa lolos begitu saja meski mengucapkan sesuatu yang begitu “offensive” pada seorang presiden?
Rocky dan Oposisi yang Diciptakan?
Untuk membuka diskusi kita, sepertinya menarik bila kita mengingat sebuah pepatah terkenal dari pejuang kuno Persia, Hassan as-Sabbah:
“Nothing is true, everything is permitted.”
Meskipun memang tidak selalu bisa kita pastikan, sekiranya pantas bila kita terus mempertanyakan apakah ada suatu desain politik di balik beberapa peristiwa sosial-politik besar yang terjadi di negeri ini.
Tentunya, kecurigaan ini juga bisa kita aplikasikan pada hiruk-pikuk persoalan dugaan hinaan Rocky Gerung pada Jokowi.
Seperti disebut di awal tulisan ini, selama beberapa tahun terakhir Rocky sebetulnya tercatat berulang kali membuat komentar yang cukup pedas pada pemerintahan Jokowi, tapi tidak pernah mendapat proses penindakan hukum yang berarti.
Pada tahun 2017 misalnya, Rocky pernah menyebut pemerintah Jokowi sebagai pembuat hoaks terbaik. Tidak lupa juga pada tahun 2019, Rocky pernah mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden yang tidak paham Pancasila. Pernyataannya itu sontak membuat Rocky dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh advokat Henry Yosodiningrat, atas dasar ketidaksukaan. Seiring waktu, hal-hal ini seakan tenggelam begitu saja dan dilupakan oleh publik.
Padahal, pengritik-pengritik pemerintah lain yang komentarnya tidak kalah pedasnya dengan Rocky, terpaksa harus melalui proses hukum yang berat. Salah satu contohnya mungkin adalah kasus aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang hingga saat ini masih menjalani proses hukum akibat dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.
Mungkinkah kemudian kita curiga bahwa huru-hara yang diciptakan Rocky ini sebetulnya adalah sebuah desain politik? Well, Kalau kita melihat bagaimana realita politik dijalankan, sebenarnya ada satu pandangan yang bisa membenarkan kecurigaan tersebut. Leopoldo Fergusson misalnya, melalui tulisannya The Need for Enemies, mengatakan bahwa kehadiran musuh ataupun oposisi bagi sebuah pemerintah adalah hal yang sangat penting. Saking pentingnya, Fergusson menilai penguasa sering merekayasa musuhnya sendiri demi populisme politik.
Menurut Fergusson, dengan menghadirkan sebuah musuh ciptaan, penguasa bisa terus mendapatkan modal politik yang pada akhirnya bisa saja berguna untuk menggalang persetujuan atas kebijakan tertentu. Selain itu, polemik yang tercipta akibat adanya musuh ciptaan itu bahkan bisa digunakan untuk menjadi dukungan nyata oleh pihak penguasa pada Pemilihan Umum (Pemilu) selanjutnya.
Menarik untuk kemudian kita gunakan pandangan ini ke realita politik di Indonesia saat ini karena sejujurnya semenjak Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto, masuk ke dalam pemerintahan Jokowi, pemerintah tidak lagi memiliki oposisi yang kuat. Memang, kita masih memiliki Partai Demokrat dan PKS, tapi mereka dalam posisi yang benar-benar tidak seimbang.
Oleh karena itu, bisa saja Rocky sebetulnya dibiarkan memberikan kritik pedas karena ia mampu dipersepsikan sebagai sosok oposisi “pedas” yang selama ini dibutuhkan oleh Jokowi dan juga orang-orang terdekatnya di pemerintah.
Lantas, kalau dugaan ini memang benar, bagaimana secara praktis keberadaan sosok Rocky Gerung bisa bermanfaat bagi Jokowi?
Sebuah Eksperimen Besar?
Berangkat dari tulisan Fergusson tentang keperluan adanya musuh, kita setidaknya bisa menentukan dua alasan besar mengapa sosok oposisi buatan bisa sangat bermanfaat bagi penguasa, baik untuk aspek jangka panjang, ataupun untuk aspek jangka pendek.
Pertama, sebagai tes ombak. Hal menarik yang muncul setelah pernyataan Rocky Gerung viral di media sosial adalah warganet seakan terbagi menjadi dua kubu besar. Kubu yang pertama adalah orang yang mendukung adanya kebebasan berekspresi dan mendukung Rocky. Sementara kubu kedua adalah sekumpulan orang yang mengartikan perkataan Rocky semata-mata sebagai hinaan dan berkeinginan agar Rocky diadili.
Terlepas dari mana pendapat yang paling benar, pembentukkan kubu tersebut mampu memberikan kita gambaran tentang seberapa banyak orang yang selama ini bersikap anti terhadap Jokowi, dan juga seberapa banyak orang yang setia padanya. Bagi seorang politisi, apalagi sekaliber Jokowi, pemetaan akan sentimen-sentimen tersebut tentu adalah hal yang sangatlah berguna.
Sebagai contoh, dengan mengetahui seberapa banyak orang yang membenci Jokowi, orang-orang yang menjadi konsultan politiknya bisa menakar seberapa besar potensi bahaya yang muncul bila Jokowi melakukan aktivitas politik yang mungkin bisa dikatakan kontroversial. Bagi badan intelijen, hal ini tentu juga sangat berguna untuk menakar seberapa besar kemungkinan meletusnya – katakanlah – gerakan anti pemerintah atau pemberontakan bila muncul suatu insiden politik terhadap Jokowi di masa depan.
Kedua, kegunaan dari adanya sosok oposisi seperti Rocky juga tidak bisa dipungkiri adalah sebagai antitesis dari anggapan bahwa rezim sekarang adalah rezim yang anti-kritik. Kalau kita meminjam pandangan Niccolò Machiavelli, seorang penguasa negara memang perlu menjaga keseimbangan antara kehalusan dan kekerasan.
Untuk meredam adanya kekacauan, pemerintah perlu menunjukkan sisi kerasnya. Masalahnya, dalam menunjukkan sisi lembutnya pada publik, penguasa bisa menciptakan rekayasa sosial, salah satunya adalah dengan menciptakan musuh buatan.
Dan memang, kalau kita melihat beberapa postingan di media sosial tentang respons Jokowi terhadap pernyataan Rocky Gerung, banyak komentar yang terkesan ingin mempersepsikan respons Jokowi tersebut sebagai bukti bahwa pemerintah tidak pernah anti-kritik dan tidak seperti yang sering dipersepsikan oleh beberapa media.
Tentunya tidak ada kepastian bahwa komentar-komentar tersebut adalah bagian dari apa yang disebut sebagai “buzzer” atau pendengung opini media sosial, tapi yang jelas kita bisa mengonfirmasi bahwa setidaknya ada dorongan narasi yang terjadi setelah Jokowi memberi responsnya.
Pada akhirnya, semua orang memang memiliki interpretasinya masing-masing. Bagaimanapun kenyataannya, kebebasan berpendapat di ruang publik harus terus kita junjung. Semoga saja dengan kasus Rocky Gerung ini kita bisa semakin banyak belajar tentang demokrasi. (D74)