Site icon PinterPolitik.com

RKUHP: Gebrakan Ma’ruf Amin?

RKUHP Gebrakan Ma’ruf Amin

K.H. Ma’ruf Amin, calon wakil presiden terpilih. (Foto: Beritagar.id)

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) beberapa waktu lalu menjadi polemik yang diprotes oleh gelombang demonstrasi mahasiswa. Di balik rancangan undang-undang yang bermasalah tersebut, calon wakil presiden terpilih 2019-2024 – Ma’ruf Amin – dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dinilai menjadi sosok dan kelompok yang turut gencar mendorong pasal-pasal bermasalah di dalamnya.


PinterPolitik.com

“Do it for the fam dog, ten toes down dog. Love and the loyalty that’s what we stand for” – Ty Dolla $ign, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi beberapa waktu lalu menuntut pembatalan atas berbagai revisi dan rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap bermasalah. Salah satu RUU itu adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mulanya akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir September lalu.

Bagaimana tidak? RKUHP ini diduga mengandung berbagai pasal karet. Pasal penghinaan presiden misalnya, disebut-sebut dapat digunakan untuk melakukan kriminalisasi atas individu atau kelompok yang mengkritik presiden dan wakil presiden.

Selain itu, terdapat pasal-pasal yang dianggap merupakan hasil dari berkembangnya nilai-nilai konservatif di masyarakat, seperti pasal soal perzinaan dan kumpul kebo yang dibahas dalam Bab XV RKUHP. Beberapa pihak menilai pasal-pasal seperti ini dapat merampas kebebasan sipil.

Setidaknya, John McBeth dalam tulisan opininya di Asia Times menjelaskan bahwa berbagai pengamat menilai akan adanya gerakan konservatif yang mendorong pengesahan RKUHP, seperti dengan adanya pasal-pasal yang hubungan di luar pernikahan serta diskriminasi terhadap kelompok minoritas perempuan dan kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT).

Pembahasan yang menarik dari tulisan McBeth lainnya adalah adanya peran cawapres terpilih, Ma’ruf Amin. Selain Ma’ruf, McBeth juga menduga bahwa terdapat dorongan dari pemimpin-pemimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat segera mengesahkan RKUHP.

Dorongan dari Ma’ruf dan MUI ini terlihat dari surat resmi organisasi ulama tersebut terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di sisi lain, Ma’ruf sendiri pernah bertemu dengan mantan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) guna membahas pengesahan RKUHP.

Tentunya, manuver Ma’ruf dan MUI ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Bagaimana MUI bisa menjadi organisasi ulama yang bersifat politis? Lalu, mengapa Ma’ruf dan MUI mendorong pengesahan RKUHP yang kini dianggap bermasalah?

MUI dan Politik

Dalam sejarahnya, ulama dinilai selalu berperan dalam memengaruhi dinamika politik Indonesia. MUI sendiri dianggap sebagai organisasi ulama yang memiliki status politik tertentu.

Moch. Nur Ichwan dalam tulisannya yang berjudul ‘Ulamā’, State and Politics menjelaskan bahwa peran ulama dalam perpolitikan Indonesia menjadi semakin penting dengan berdirinya MUI sejak tahun 1975. Kemunculan organisasi ulama ini sebagian merupakan hasil dari peran Presiden Soeharto yang dinilai sadar akan peran ulama dan semakin tertarik untuk mengooptasi kelompok ulama.

Ichwan menjelaskan bahwa gagasan akan berdirinya MUI berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia yang merupakan sebuah lembaga di bawah Departemen Agama (Depag). Fungsi awal pendirian lembaga tersebut adalah untuk mendukung dan memberikan justifikasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah dari perspektif agama, khususnya kebijakan pembangunan di era Orde Baru.

Namun, meski organisasi itu didirikan dan didanai oleh pemerintahan Soeharto, statusnya tetaplah merupakan organisasi yang independen – sehingga terkadang tetap mengeluarkan fatwa dan tausiyah yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Selepas Seoharto lengser, MUI tetap berperan dalam perpolitikan Indonesia. Organisasi ulama ini kerap mengeluarkan fatwa dan tausiyah yang mendukung berbagai kebijakan Presiden B.J. Habibie. Tausiyah mengenai amanah Habibie sebagai presiden misalnya, menjadi bentuk dukungan MUI terhadap pemerintah.

MUI merupakan organisasi yang politis sejak berdiri. Share on X

Keterkaitan MUI dengan pemerintah di era Soeharto dan Habibie setidaknya menggambarkan pentingnya ulama dalam politik Indonesia. Martin van Bruinessen dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Ulama and Politics menjelaskan bahwa ulama kerap berperan sebagai pihak yang memberikan kontribusi bagi legitimasi bagi para politisi umara – pimpinan pemerintahan non-ulama.

Lantas, bagaimana caranya ulama dapat memberikan kontribusi legitimasi bagi pemerintah?

Seperti yang dijelaskan oleh Ichwan sebelumnya, MUI biasanya akan mengeluarkan fatwa dan tausiyah yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Fatwa dan tausiyah ini bisa jadi merupakan bentuk modal spiritual (spiritual capital).

Modal spiritual sendiri merupakan konsep turunan yang berasal dari konsep modal kebudayaan (cultural capital) milik Pierre Bourdieu, filsuf berkebangsaan Prancis. Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital – dengan mengutip Bourdieu – menjelaskan bahwa modal kebudayaan merupakan produk dari praktik dan reproduksi sosial atas simbol dan makna yang memperbolehkan kelas (atau kelompok tertentu) guna menjalankan kebudayaan dominannya atas pihak lain.

Boleh jadi, bila mengacu pada tulisan Bradford Verter yang berjudul Spiritual Capital, fatwa dan tausiyah MUI ini merupakan modal spiritual yang berbentuk objek (objectified) – seperti teks. Adanya MUI sendiri juga menjadi modal spiritual dalam bentuk institusional.

Namun, dengan berbagai modal spiritual yang dimiliki oleh MUI dan ulama di dalamnya, ulama sendiri dinilai tidak berdaya dalam menghadapi disparitas moral yang dimiliki antara ulama dan umara. Van Bruinessen menjelaskan bahwa ulama di Indonesia sering kali tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol perilaku para umara yang didukungnya.

Penjelasan van Bruinessen ini pun menjadi menarik. Pasalnya, adanya peran Ma’ruf dan MUI dalam mendorong RKUHP justru menunjukkan pengaruh ulama yang kian menguat. Pertanyaannya, mengapa kini ulama dinilai mampu memengaruhi kebijakan legal pemerintah?

Peran Ma’ruf Amin?

Kemungkinan akan adanya peran besar Ma’ruf dan MUI dalam mendorong pengesahan RKUHP boleh jadi menunjukkan pengaruh ulama yang kian membesar dalam perpolitikan Indonesia. Bisa jadi, kini para ulama di MUI tidak hanya sekadar memiliki modal spiritual saja.

Bisa jadi, besarnya pengaruh ulama dalam poin-poin RKUHP – seperti perzinaan – merupakan wujud dari berkembangnya modal-modal politik yang dimiliki oleh MUI. Modal ini boleh jadi merupakan modal sosial yang kini dimiliki oleh Ma’ruf.

Modal sosial sendiri dapat dipahami sebagai modal politik yang berasal dari relasi dan jaringan sosial. Sebagai cawapres terpilih, Ma’ruf tentunya mendapatkan berbagai dukungan dari beberapa partai politik, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari sinilah, sang kiai mendapatkan modal sosial yang lebih besar.

Jaringan sosial yang dimiliki Ma’ruf dengan PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, bisa saja menjadi modal sosial yang mendorong sang kiai untuk mendorong beberapa RUU yang dinilai menguntungkan kalangan santri, yakni RUU Pesantren. Bisa jadi, RUU ini merupakan bentuk patronase Ma’ruf terhadap PKB dan NU guna menjaga modal sosial ini dalam menyongsong jabatan wapresnya.

Lantas, bagaimana dengan MUI dan RKUHP?

MUI sendiri sebenarnya bukanlah badan yang memiliki warna yang seragam. Ichwan dalam tulisannya menjelaskan bahwa MUI berdiri dengan melibatkan berbagai organisasi Islam yang berbeda, seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Wasliyah, Persis, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah. Nadirsyah Hosen dalam tulisannya yang berjudul Behind the Scenes – dengan mengutip Atho Mudzhar – juga menjelaskan bahwa MUI kerap harus menjaga hubungannya dengan berbagai organisasi Islam lainnya.

Bisa jadi, RKUHP merupakan perwujudan upaya Ma’ruf guna menjaga modal sosialnya di MUI – mengingat sang kiai berjanji akan mundur dari jabatan ketua MUI setelah dilantik menjadi wapres. MUI sendiri – berdasarkan tulisan Ichwan – telah lama berupaya agar masyarakat dan kebijakan pemerintah dapat lebih dekat dengan nilai-nilai ortodoks yang diyakininya.

Selain itu, MUI yang dipimpin Ma’ruf tengah berupaya untuk mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintah. Keinginan ini sempat diungkapkan oleh Bamsoet usai bertemu dengan Ma’ruf dan jajaran pimpinan MUI lainnya – sambil membahas RKUHP – pada tahun 2018 lalu.

Meski begitu, kemungkinan akan adanya upaya Ma’ruf untuk menjaga pengaruh dan modal sosialnya di MUI ini belum dapat dipastikan benar-benar terjadi. Yang jelas, masukan-masukan MUI yang bernuansa konservatif turut menjadi inspirasi dalam penyusunan RKUHP yang dipermasalahkan oleh berbagai elemen masyarakat.

Namun, bila kemungkinan itu benar adanya, apa yang dilakukan Ma’ruf mungkin sejalan dengan lirik rapper Ty Dolla $ign di awal tulisan. Sang kiai bisa jadi ingin berusaha untuk kepentingan “keluarganya” demi kesetiaan, entah kesetiaan yang bagaimana yang diinginkan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version