Site icon PinterPolitik.com

RK Jadi Ketum Partai Golkar?

rk airlangga

Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto bersama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. (Foto: Harian Terbit)

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) tampak memberikan sinyal kuat untuk bergabung dengan Partai Golkar. Tak hanya jelang kontestasi elektoral 2024, RK agaknya juga bisa mengeksplorasi karier politiknya hingga tak menutup kemungkinan menjabat sebagai suksesor Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Saat tiga nama calon presiden (capres), yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo seolah tak tergoyahkan, nama Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) perlahan mengemuka. Apalagi, intensi untuk bergabung ke Partai Golkar seakan menambah amunisi RK menyongsong Pilpres 2024.

Ya, kehadiran RK di acara puncak hari ulang tahun (HUT) ke-58 Partai Golkar pada 21 Oktober lalu memberikan sinyal politik bahwa dirinya akan segera merapat ke partai besutan Airlangga Hartarto.

Terbaru, Ketua DPP Partai Golkar Aze Hasan Syadzily mengatakan bahwa sampai saat ini sosok yang juga kerap disapa Kang Emil itu sedang meminta waktu untuk berkontemplasi sebelum bergabung.

Ace memastikan mantan Walikota Bandung itu memiliki keinginan lebih untuk bergabung ke Partai Golkar.

“Yang jelas bahwa Pak Emil ada keinginan untuk bergabung dengan partai politik, dan salah satunya adalah Partai Golkar,” begitu kata Ace kemarin.

Diketahui, RK sendiri disebut-sebut akan mengumumkan partai politik (parpol) pilihannya pada akhir tahun 2022. Meski masih menjabat sebagai Jabar-1 hingga tahun 2023 mendatang, kendaraan politik memang dibutuhkan RK apalagi ketika berbicara Pilpres 2024.

Bak gayung bersambut, Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto juga menyambut dengan antusias keinginan RK itu. Sembari menegaskan bahwa partai yang dipimpinnya itu inklusif, Airlangga mengapresiasi kehadiran RK yang secara langsung datang Bandung khusus ke acara Golkar.

Sosok yang juga Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian itu juga menangkap gestur kehadiran RK sebagai sinyal kuat merapatnya sang Gubernur Jabar.

Memang, Partai Golkar sebagai pemimpin Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) hingga detik ini masih menyebut akan mengusung Airlangga sebagai capres, meski elektabilitasnya rendah.

Oleh karena itu, kehadiran RK kiranya dapat membuka opsi lain skenario calon usungan koalisi parpol pertama jelang 2024 itu.

Menurut pengamat politik Hendri Satrio, RK pun disebut-sebut menjadi kuda hitam yang turut disiratkan akan mendobrak nama-nama yang selama ini telah beredar seperti Prabowo, Anies, hingga Ganjar.

Lantas, muncul satu pertanyaan, yakni jika benar RK ingin bergabung dengan Golkar, mengapa dia akhirnya memilih naik ke kendaraan politik? Serta apa maknanya bagi konstelasi politik jelang 2024?

RK Gunakan Rasionalitas?

Untuk menerka apa kiranya yang membuat RK berkeinginan untuk melibatkan diri dalam praktik politik lebih aktif dengan bergabung parpol, kalkulasi politik personalnya boleh jadi dapat menjadi titik tolak pertama.

Perhitungan tersebut kiranya dapat dipahami melalui rational choice theory atau teori pilihan rasional. Rafael Wittek dalam tulisannya Rational Choice Theory menyebutkan teori pilihan rasional memiliki tiga asumsi penting.

Pertama, individu dinilai memiliki kecenderungan bersifat egois (self-interest). Kedua, individu akan memaksimalkan utilitasnya (keuntungan). Ketiga, individu bertindak berdasarkan informasi yang lengkap.

Teori ini kemudian jamak diadopsi dalam ilmu ekonomi, dan digunakan sebagai landasan teori atas homo economicus atau makhluk ekonomi.

Merujuk pada tiga asumsinya, pemerintah selaku pihak yang memiliki informasi yang lengkap, yang dalam artian mestilah memiliki rangkuman persoalan yang ada, akan membuatnya untuk mengambil kebijakan yang dirasa paling menguntungkan.

Ketika direfleksikan ulang ke dalam ranah politik case RK, bergabung ke parpol agaknya memang menjadi pilihan paling logis saat ini. Setidaknya akibat dua faktor, yakni jelang akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Jabar tahun depan serta menjelang kontestasi elektoral 2024.

Meskipun self-interest merupakan ranah personal, menerka dari “sudut pandang orang ketiga” atas dua variabel di atas tampaknya tak sepenuhnya keliru.

Terlebih, benefit bergabung dengan parpol seperti Partai Golkar akan membuat RK tetap relevan dan memiliki wadah politik, plus back up saat sewaktu-waktu dihantam isu yang kurang menguntungkan dirinya.

Selain itu, sinyal kuat rencana bergabung parpol bisa saja didorong oleh informasi komprehensif yang dimiliki RK atas serangkaian kalkulasi maupun probabilitas atas dinamika politik yang telah dan akan bergulir ke depan.

Kemudian, satu hal spesifik yang kiranya membuat RK melihat Partai Golkar merupakan tempat paling tepat baginya berlabuh adalah persoalan yang dialami partai berlambang pohon beringin sejak era Reformasi. Apakah itu?

Leo Suryadinata dalam publikasinya yang berjudul The Decline of the Hegemonic Party System in Indonesia: Golkar after the Fall of Soeharto menjelaskan kecenderungan mundurnya soliditas Partai Golkar setelah Soeharto tumbang.

Faksi yang begitu kompleks di internal mereka membuat militer tak lagi mendominasi konsesi ekonomi-politik parpol. Munculnya nama pengusaha maupun birokrat dari luar Pulau Jawa seperti Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung membuat persaingan internal begitu sengit sehingga sedikit “memperlemah” mesin partai.

Kendatipun tidak “hancur”, Leo menyiratkan ketiadaan simbol pemersatu seperti Soeharto membuat Partai Golkar kehilangan reputasi sebagai pemuncak legislatif sejak Pemilu 2009.

Apa yang disiratkan Leo kemudian dikemukakan kembali oleh Dirk Tomsa dalam Still the natural government party? Challenges and opportunities for Golkar ahead of the 2014 election.

Kata kunci berupa absennya pemimpin dominan, disampaikan Tomsa sebagai faktor signifikan yang membuat kemerosotan terjadi atas performa Partai Golkar sejak kontestasi elektoral 2009.

Oleh karena itu, meski cukup sulit kiranya untuk seketika menjadi dominan di parpol sebesar Partai Golkar, keinginan serta modal politik RK dalam kancah nasional saat ini kiranya dapat sangat membantu kebangkitan partai jelang 2024.

Lalu, peran positif apa yang kiranya dapat dilakoni RK di Partai Golkar?

Sangat Mungkin Jadi Ketum?

Silih bergantinya sosok kuat mencuat di pucuk pimpinan Partai Golkar seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, hingga Bambang Soesanto. Dalam perseteruan internal terakhir, Partai Golkar sempat dihantam turbulensi internal saat Bambang Soesatyo bersaing panas dengan Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu.

Konsep yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca mengenai rolling class atau sirkulasi elite agaknya cukup tepat untuk menggambarkan persaingan terakhir antar dua kutub kekuatan itu di Partai Golkar.

Secara khusus, Pareto mengatakan Singa (The Lion’s) dan serigala (The Fox’s) merupakan pola konflik elite politik yang senantiasa terjadi.

Di titik ini, Partai Golkar kiranya membutuhkan RK yang sangat mungkin bisa menjadi titik ekuilibrium potensi turbulensi lain di kemudian hari. Apalagi, Partai Golkar sendiri sempat mengalami ketidakstabilan saat kepemimpinan Airlangga dipertanyakan beberapa waktu lalu.

Dalam menyongsong Pemilu dan Pilpres 2024, malapetaka merupakan istilah yang tepat jika konflik itu terjadi jelang kompetisi.

Kekosongan pemimpin simbolik juga bukan tidak mungkin diisi oleh RK. Dengan skenario diusung sebagai capres dan kemungkinan memenangkan laga, RK bisa saja menapaki karier politik gemilang di Partai Golkar.

Jika itu terjadi, peluangnya sebagai suksesor Partai Golkar sepeninggal Airlangga Hartarto bukan tidak mungkin pula sangat kuat.

Meski ada suara akar rumput di parpol KIB, yakni PAN dan PPP yang menginginkan Ganjar sebagai capres, konsesi terbesar KIB yang dipegang Partai Golkar bisa saja membuat hambatan tak akan dialami RK untuk maju.

Apalagi saat probabilitas untuk terjadi mufakat dengan PDIP dengan bergabung ke KIB membuat peluang RK untuk maju, paling tidak sebagai cawapres saat telah menjadi anggota Partai Golkar bukan mustahil untuk terjadi.

Bagaimanapun, Partai Golkar kiranya memang akan lebih banyak diuntungkan dari kemungkinan simbiosis politiknya dengan RK jika nantinya benar-benar bergabung. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Exit mobile version