Jika dibebaskan sebelum 2024, berbagai pihak menilai Rizieq Shihab akan memberikan dampak yang besar di kontestasi pilpres nanti. Namun, apabila melihat fenomena politik dan variabel yang ada, mungkinkah pengaruh politik Rizieq Shihab terlalu dilebih-lebihkan?
“Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics without strategy is the noise before defeat.” – Sun Tzu
Akan ada reuni di 2021. Tapi ini bukan reuni teman-teman SMA atau kuliah, melainkan Reuni Akbar 212. Menurut Wasekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212, Novel Bamukmin, saat ini masih dalam proses perizinan dan akan diumumkan ketika telah menuai hasil. Namun sedikit berbeda, reuni kali ini tidak diadakan di Monumen Nasional (Monas), melainkan di kawasan Patung Kuda.
Tidak hanya wacana Reuni Akbar 212 yang tengah menjadi sorotan publik, melainkan juga kabar Habib Rizieq Shihab (HRS). Pasalnya, pada 15 November, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi dan mengurangi pidana HRS dari empat menjadi dua tahun. Menurut pengacara HRS, Aziz Yanuar, atas keputusan ini, HRS diperkirakan akan bebas pada 2023 nanti.
Dengan pemotongan masa hukuman tersebut, besar kemungkinan HRS akan terlibat di panggung Pilpres 2024. Berbagai pengamat politik juga tengah menaruh atensi pada potensi ini. Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam, misalnya, menyebut keluarnya HRS sebelum Pilpres 2024 akan memberikan pengaruh dalam perhelatan pilpres nanti.
Baca Juga: Demokrasi Perkeruh Situasi Habib Rizieq?
Senada, Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, juga dengan lugas menyebut HRS sebagai ulama pemberani yang memiliki pengaruh. Pun demikian dengan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin yang menilai pengaruh HRS masih besar pada pengikut-pengikutnya, meskipun tengah di penjara.
Tentu pertanyaannya, apakah tepat dugaan-dugaan itu? Katakanlah HRS keluar sebelum Pilpres 2024, apakah ia akan memberikan pengaruh dalam kontestasi?
HRS Overrated?
Sayangnya, apabila kita membaca variabel-variabel yang ada, tampaknya pengaruh HRS terlalu dilebih-lebihkan. Ada enam alasan kenapa simpulan tersebut dapat ditarik.
Pertama, besarnya nama HRS sebenarnya adalah buah dari kesalahan strategi. Pada 2017 lalu, entah bagaimana awalnya, HRS dan Front Pembela Islam (FPI) seolah diposisikan sebagai musuh ideologi. Ini juga tidak terlepas dari berkembangnya narasi khilafah saat itu. Untuk membendung gerakan HRS, FPI, dan PA 212, mereka kemudian disebut sebagai kelompok anti-toleransi, tidak Pancasilais, dan berbahaya bagi ideologi negara.
Persoalan tersebut seayun dengan tulisan Daniel Arnon, Peace Edwards dan Handi Li yang berjudul Propaganda as Protest Prevention: How Regime Labeling Deters Citizens from Protesting—Without Persuading Them. Menurut mereka, salah satu strategi represi pemerintah adalah dengan melabeli atau memberikan predikat negatif dalam upaya mendiskreditkan pihak yang berseberangan dengan mereka.
Namun sayangnya, strategi melabeli itu mendatangkan backlash. Alih-alih melemahkan persepsi, HRS justru semakin mendapatkan simpati massa, khususnya dari kelompok yang menilai Islam tengah dijadikan nomor dua.
Kedua, jika pengakuan Jusuf Kalla (JK) benar bahwa dirinya yang berperan dalam meyakinkan Prabowo Subianto dan PKS untuk mendukung Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta 2017, maka dapat dikatakan, dukungan HRS bukanlah faktor utama majunya Anies.
Ketiga, secara mengejutkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang justru menang di tempat pemungutan suara (TPS) 17 di Jalan Petamburan IV. Padahal, TPS itu berada di lingkungan markas besar FPI. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa karisma HRS tidak mencukupi untuk mempengaruhi warga sekitarnya agar mencoblos Anies.
Baca Juga: Habib Rizieq Tidak Powerful, Overrated?
Keempat, mengenai popularitas HRS, pengamat masalah keislaman dan pemerhati politik komunitas Arab di Indonesia, Ahmad Syarif Syechbubakar menyiratkan komentar menarik. Menurutnya, memang benar HRS dan FPI populer di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatera.
Namun, jika bergeser ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, popularitas HRS masih kalah jauh dari kiai, ulama, dan habaib yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Dan secara nasional, NU dan Muhammadiyah memang masih terlalu kuat pengaruhnya dibandingkan organisasi Islam manapun.
Kelima, HRS terlihat tidak dapat berbuat banyak pada berbagai kasus hukum yang menimpa. Dengan demikian, sekiranya dapat dikatakan bahwa HRS tidak memiliki dukungan politik dan hukum yang mencukupi.
Simpulan ini dapat ditarik apabila kita merujuk tulisan Francesca Jensenius yang berjudul Caught in the Act but not Punished: On Elite Rule of Law and Deterrence. Menurutnya, terdapat perbedaan yang mengarah pada diskriminasi dari proses penegakan hukum karena kelompok elite memiliki de facto immunity, yakni cenderung tidak mendapatkan hukuman dari pelanggaran yang dilakukannya.
Kelompok elite yang dimaksud merupakan orang yang memiliki kekuatan ekonomi, status sosial, dan pengaruh politik. Kelompok elite lebih mudah menghindari hukuman melalui berbagai cara seperti suap, pertemanan, ancaman, koersi dan bentuk lainnya. Mengacu pada Jensenius, HRS mungkin tidak termasuk ke dalam kelompok elite tersebut.
Keenam, faktanya, dukungan HRS di dua gelaran pilpres tidak menghantarkan kemenangan bagi Prabowo Subianto. Juru bicara Menteri Pertahanan (Menhan), Dahnil Anzar Simanjuntak bahkan sempat menarik kontroversi pada April kemarin karena menyebut dukungan HRS di Pilpres 2019 tidak signifikan bagi Prabowo. “Jadi jangan kau pikir dia [HRS] penambah suara. Jangan-jangan pengurang gara-gara dia,” tulisnya.
Perlu Siapkan Logistik
Di titik ini, mungkin ada yang tidak setuju pada keenam alasan tersebut karena faktanya, HRS memang menjadi magnet massa. Kepulangannya di Indonesia pada November 2020 juga mengundang lautan manusia.
Katakanlah HRS benar-benar memiliki pengaruh politik besar, suka atau tidak, itu bukan menjadi jaminan ia akan mempengaruhi kontestasi pilpres mendatang. Kita dapat membaca nasihat-nasihat perang Sun Tzu dalam buku The Art of War untuk menyimpulkan hal ini.
Mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, Sun Tzu menjelaskan agar menyerang secara diam-diam dan mengejutkan. Menyeranglah seperti kobaran api sehingga musuh tidak menduga serangan tersebut.
Nah, jika HRS nantinya bebas sebelum Pilpres 2024, kemudian bersama pengikut-pengikutnya dengan lantang menyebut akan terlibat dalam kontestasi, bukan tidak mungkin mereka akan diredam sejak dini. Kendati konteksnya tidak sama, analoginya dapat kita tarik dari kasus Bahar bin Smith pada Mei 2020. Ketika bebas dari penjara pada 16 Mei 2020, Bahar dinilai mengeluarkan ceramah provokatif dan mengundang rasa permusuhan kepada pemerintah.
Menurut Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Reynhard Silitonga, itu menjadi salah satu alasan untuk mencabut program asimilasinya. Imbasnya, pada 19 Mei, Bahar kembali dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gunung Sindur, Bogor.
Baca Juga: Rizieq dan FPI Bangkitkan Islamofobia?
Jika benar ingin terlibat di Pilpres 2024 nanti, HRS tidak boleh menunjukkan niatnya secara kentara. Apalagi, berbagai partai politik, termasuk PKS sudah menegaskan untuk tidak menggunakan politik identitas seperti di Pilpres 2019. Artinya, HRS tidak akan mendapat sokongan politik dari parpol seperti sebelumnya.
Kembali mengutip Sun Tzu, dalam perang yang terpenting adalah menyiapkan logistik. Percuma memiliki senjata yang bagus, prajurit yang hebat dan berani, namun tidak memiliki logistik yang cukup. Dukungan partai politik adalah logistik dalam konteks ini.
Oleh karenanya, agar dapat memberikan peran signifikan, HRS perlu mengumpulkan logistik-logistik kekuatan politik. Seperti kutipan pernyataan Sun Tzu di awal tulisan, “Strategi tanpa taktik adalah rute paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan.”
Jika tidak menyiapkan logistik yang cukup, serta taktik dan strategi yang mumpuni, jangan berharap HRS dapat berbicara banyak di Pilpres 2024 nanti. (R53)