Sama dengan Prabowo Subianto, Sandiaga Uno akhirnya memilih untuk bergabung ke dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf. Mengapa Prabowo-Sandi seperti tidak mempertimbangkan peluang maju di 2024 dengan menjaga dukungan dari kelompok Islam. Mungkinkah manuver ini menunjukkan Habib Rizieq Shihab dan kelompok Islam di belakangnya sudah tidak bertaji lagi?
Kendati sudah berkali-kali menegaskan akan konsisten di barisan oposisi, pada akhirnya Sandiaga Uno menerima tawaran sebagai menteri di kabinet Jokowi-Ma’ruf. Praktis, seperti celetukan warganet, ini seolah membuat Pilpres 2019 lalu seperti sia-sia karena kedua belah pihak bercokol di Istana.
Selain persoalan sentimen yang ada, dalam kacamata berbagai analis politik, khususnya jika berbicara peluang di Pilpres 2024, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi menteri yang notabene merupakan “pembatu presiden”.
Pasalnya, selepas Prabowo masuk kabinet, kelompok Islam yang mendukung terlihat kecewa. Pun begitu dengan kasus Sandi, eks Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut idealnya mempersiapkan diri untuk maju dengan berada di luar pemerintahan, sehingga dapat menjaga hubungan dengan kelompok Islam yang militan mendukungnya di Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019.
Terkait Prabowo, pandangan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mungkin dapat menjadi jawaban. Menurutnya, Prabowo mungkin sudah memiliki perhitungan bahwa dirinya tidak memiliki peluang lagi untuk maju di Pilpres 2024. Dengan demikian, pilihan menjadi menteri tentu lebih baik daripada tidak mendapatkan apa-apa.
Pada konteks Prabowo, dugaan tersebut mungkin tepat. Pasalnya, sudah berulang kali ambisi eks Danjen Kopassus tersebut untuk menjadi RI-1 kandas di gelaran Pilpres. Namun bagaimana dengan Sandi?
Baca Juga: Sudah Saatnya Prabowo Tiru Megawati?
Sekiranya tidak berlebihan untuk menyebutkan apabila Sandi merupakan salah satu politikus paling prospektif saat ini. Pun begitu untuk bertarung di Pilpres 2024, nama Sandi tidak pernah absen di bursa kandidat.
Lantas, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Romeo Strategic Research Centre (RSRC) A. Khoirul Umam, mengapa Prabowo-Sandi seperti menggadaikan idealisme politik yang dititipkan para pendukungnya dengan menjadi menteri di kabinet Jokowi-Ma’ruf?
Alami Loss Aversion?
Jika dugaan Syamsuddin Haris tepat, besar kemungkinan Prabowo mengalami fenomena psikologis yang disebut dengan loss aversion. Loss aversion adalah fenomena psikologis ketika ketakutan kehilangan sesuatu lebih memotivasi seseorang dibanding dengan prospek mendapatkan keuntungan.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky dalam Prospect Theory menyebut loss aversion dengan slogan losses loom larger than gains atau kerugian tampak lebih besar daripada keuntungan.
Sementara Eric J. Johnson, Simon Gächter, dan Andreas Herrmann dalam tulisannya Exploring the Nature of Loss Aversion menyebut loss aversion sebagai properti fundamental dari perilaku memilih keputusan. Kendati demikian, loss aversion adalah atribut yang hanya memengaruhi persepsi awal pengambilan keputusan.
Dengan kata lain, signifikan tidaknya loss aversion terhadap pengambilan keputusan tergantung atas refleksi atau respons setelah. Di tahap ini, memori dan konstruksi nilai berperan vital.
Kembali pada Prabowo, jika benar Ketua Umum Partai Gerindra ini telah menggadai prospek maju di Pilpres 2024 karena takut kehilangan kesempatan untuk menjadi menteri, maka loss aversion tengah terjadi. Konteks tersebut juga sepertinya diperkuat dengan memori dan konstruksi nilai yang terjadi.
Terkait memori, kenangan kekalahan berulang mungkin menghantui Prabowo. Sedangkan terkait konstruksi nilai, ini terlihat jelas dari pernyataan Prabowo yang menyebut tidak ingin bangsa terpecah belah. Dengan kata lain, keputusannya untuk menjadi menteri didorong oleh konstruksi nilai bahwa pembelahan politik yang ada harus diakhiri.
Baca Juga: Misteri Prabowo Jadi Menteri Jokowi
Lalu bagaimana dengan Sandi? Sama dengan Prabowo, eks Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut mungkin juga tengah mengalami loss aversion karena menilai tawaran sebagai menteri begitu sulit untuk ditolak. Pun begitu dengan melihat konstruksi nilai Sandi yang menyebut telah bertafakur sehingga memutuskan harus bersatu padu melawan pandemi Covid-19.
Namun, mungkinkah ini hanya faktor loss aversion semata? Seperti yang ditegaskan oleh Johnson, Gächter, dan Herrmann, loss aversion pada dasarnya hanya memengaruhi di awal. Apalagi, studi empiris menyebutkan bias kognitif tersebut hanya berpengaruh signifikan di kelompok usia tua dan memiliki pendidikan yang rendah.
Mengacu pada pembuktian empiris yang ada, sekiranya sulit membayangkan Sandi yang sudah melihat kekecewaan pendukung setelah Prabowo masuk kabinet benar-benar telah mengalami loss aversion.
Selaku politisi, Sandi tentunya memiliki kalkulasi politik yang matang. Oleh karenanya, mungkinkah bergabungnya Sandi ke kabinet Jokowi-Ma’ruf merupakan indikasi politik terkait situasi kelompok Islam yang mendukungnya sebelumnya?
HRS Is Over?
Untuk menjawab spekulasi tersebut, sangat menarik untuk melihat pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut dirinya berperan dalam pencalonan Anies Baswedan pada Pilgub DKI Jakarta 2017.
Menurutnya, 12 jam sebelum penutupan pendaftaran, eks Ketua Umum Partai Golkar tersebut menelepon Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua PKS, serta berhasil meyakinkan mereka untuk mendukung Anies karena menilai kemenangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat mengakibatkan keributan politik, serta Presiden Jokowi dapat terkena imbasnya.
Pengakuan JK ini sebenarnya adalah jawaban atas pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) pada 3 Mei 2017 lalu ketika menyebut ada intervensi JK dalam majunya Anies di Pilgub DKI Jakarta. Namun, tidak seperti pengakuannya baru-baru ini, lulusan The European Institute of Business Administration, Prancis ini membantah pernyataan Zulhas kala itu.
Selain mengakui perannya dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, JK juga memberikan komentar menarik terkait Habib Rizieq Shihab (HRS). Menurutnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut bukanlah penentu di Pilpres 2024 karena karismanya disebut bersifat sementara dan adanya faktor silent majority.
Baca Juga: Habib Rizieq Tidak Powerful, Overrated?
Jika pernyataan JK tepat bahwa karisma HRS tidak akan bertahan lama, mungkinkah itu yang melandasi keputusan Sandi untuk masuk dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf?
Chris Rootes dalam tulisannya Political Opportunity Structures: Promise, Problems and Prospects mengemukakan perdebatan penting dalam menentukan peluang politik (political opportunity). Menurutnya, ada asumsi bahwa induksi lebih baik dari hipotesis dalam menentukan peluang politik.
Merujuk pada asumsi tersebut, sepertinya Sandi mengetahui suatu faktor induksi penting, yakni pengaruh HRS berserta gerbong politiknya tampaknya tidak terbukti berhasil atau pengaruhnya sudah tidak sebesar sebelumnya.
Konteks tersebut semakin jelas apabila kita melihat kekalahan di Pilpres 2019. Pun begitu pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Kendati Anies berhasil menang, namun fakta Ahok menang di putaran pertama, serta Ahok yang justru memenangi tempat pemungutan suara (TPS) 17 di Jalan Petamburan IV – TPS dekat markas besar FPI – menjadi bukti empiris bahwa karisma HRS tidak sebesar yang dibayangkan kebanyakan orang.
Dengan kata lain, Sandi tampaknya tengah mencari kuda baru untuk mengumpulkan modal politik (political capital). Di sini, kuda yang datang dari Presiden Jokowi sebagai menteri tampaknya dilihat lebih prospektif dari kuda sebelumnya, yakni HRS dan kelompok Islam yang mengikutinya.
Konteks tersebut diperkuat dengan analisis yang menyebutkan HRS tampaknya telah berakhir (is over). Setelah kepulangannya, alih-alih menambah daya gedor oposisi, HRS dan FPI justru mengalami hantaman politik bertubi-tubi. Mulai dari konvoi Koopssus TNI di Petamburan, tewasnya enam Laskar FPI, HRS menjadi tersangka dan sudah ditahan, hingga sengketa lahan Pondok Pesantren Agrikultural Markaz Syariah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Pada kesimpulannya, mungkinkah keputusan Sandi memilih menjadi menteri dan tidak menjaga dukungan dari kelompok Islam karena HRS dan FPI sudah dinilai tidak berpengaruh? Terkait hal ini, tentunya tergantung dari interpretasi kita terhadapnya. (R53)