Site icon PinterPolitik.com

Rizieq, Hamka Masa Kini?

Beberapa kalangan kerap mengaitkan kasus Rizieq Shihab dengan pemenjaraan Buya Hamka. Sebandingkah kedua kasus tersebut?


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]elakangan ini marak penggunaan istilah kriminalisasi ulama. Istilah ini kerap ditujukan pada kasus hukum yang menjerat seorang pemuka agama Islam. Meski belum terbukti ada rekayasa status hukum, istilah ini terus-menerus digunakan.

Beberapa pihak menganggap bahwa istilah ini relevan untuk kasus yang menimpa Rizieq Shihab, Imam Besar FPI. Bagi para pendukungnya, Rizieq adalah korban dari rezim yang tidak memberikan perlindungan pada pemuka agama Islam.

Beberapa orang kemudian menengok ke belakang dan kemudian mengaitkan kasus serupa yang juga pernah menerpa Buya Hamka. Kala itu, Hamka dijebloskan ke jeruji besi oleh pemerintah Soekarno.

Menurut pengamat politik Arbi Sanit, dari segi nyali, Rizieq kalah kelas jika dibandingkan dengan Hamka. Menurutnya, Rizieq tidak memiliki keberanian yang sama dengan Mantan Ketua MUI tersebut.

Meski sama-sama berhadapan dengan kasus hukum, apakah kasus Hamka dan Rizieq bisa dibandingkan? Apakah prakondisi status mereka benar-benar sama? Apakah perbandingan Rizieq dengan Hamka adalah hal yang berlebihan?

Menjerat Pemuka Agama

Menurut Raymond Wichalowski, kriminalisasi adalah proses yang membuat seseorang dianggap berperilaku sebagai penjahat atau berbuat kejahatan. Umumnya ada proses hukum yang menyebabkan kondisi ini terjadi. Dalam perjalanannya, istilah ini kerap digunakan untuk menunjukkan rasa terzalimi karena tersangkut kasus hukum.

Jika dilihat dari riwayatnya, Hamka adalah salah satu ulama yang amat disegani di zamannya. Kiprahnya tidak hanya mewarnai kehidupan beragama umat Islam tetapi juga sejarah bangsa secara umum.

Kasus hukum yang diterpakan pada Hamka saat itu seringkali disebut sebagai sebuah kriminalisasi. Banyak pihak menanggap ulama asal Sumatera Barat tersebut difitnah oleh rezim Soekarno. Di era itu memang banyak tokoh Islam dari Masyumi yang dijebloskan ke penjara. Selain Hamka, nama lain seperti Kasman Singodimedjo atau Mohammad Roem juga ditangkap.

Hamka dianggap hadir dalam rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963. Rapat ini disebut-sebut membahas rencana pembunuhan Soekarno yang didanai oleh Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdurrahman.

Beberapa literatur menyebut bahwa di tanggal tersebut, ia sebenarnya memiliki agenda yang berbeda. Hari itu dikisahkan ulama yang juga sastrawan tersebut tengah berada di Jakarta menghadiri acara yang dihelat Muhammadiyah.

Terlepas dari hal itu, Hamka tetap dikenai pasal subversif yaitu Penpres 11/1963. Ia dianggap terlibat dalam tindakan makar dan rencana “kup” terhadap pemerintahan yang sah. Selain itu, tokoh Muhammadiyah ini juga dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan pro-Malaysia.

Ia kemudian dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan. Sebelumnya, ia sempat ditahan di sebuah bungalow di kawasan Puncak selama empat hari. Di sana, ia dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukan.

Meski terkesan difitnah dan dipaksakan, Hamka memilih tidak melawan secara berlebihan, apalagi lari dari kasusnya. Dikisahkan dalam buku “Tasawuf Modern”, Hamka memilih untuk menerimanya dengan ikhlas dan menginsafi sendiri kemarahannya.

Jika di era itu sudah ada istilah kriminialisasi, maka istilah itu sangat tepat disebutkan dalam kasus Hamka. Ulama Muhammadiyah tersebut memang sepertinya telah dibidik oleh rezim Orde Lama.

Sementara itu, kasus hukum yang menimpa Rizieq sedikit berbeda. Rizieq memang rajin mengritik pemerintahan Jokowi. Akan tetapi, kasus yang menimpa dirinya tidak berhubungan secara langsung dengan pandangan politiknya tersebut.

Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pesan bernada seksual dengan Firza Husein. Status tersangka pada Rizieq sendiri merupakan pengembangan dari pemeriksaan yang dilakukan pada Firza. Bukti-bukti yang ada pada kasus Firza, mengungkap keterlibatan pria keturunan Arab ini dalam kasus tersebut.

Rizieq Shihab bertemu beberapa orang saat di Arab Saudi (Foto: Istimewa)

Rizieq saat itu memang tengah mendapatkan sorotan tajam. Imam Besar FPI tersebut sedang membuat panas kuping Pemerintah Jokowi dengan Aksi Bela Islam yang ia gawangi. Aksi ini bahkan digelar di kawasan istana, sehingga membuat pemerintah terganggu.

Rizieq sendiri bukanlah figur yang benar-benar bersih dari kasus hukum. Sebelumnya, ia sudah pernah dua kali menjadi narapidana. Ia pernah mencicipi dinginnya lantai penjara karena komentarnya di media. Ia kemudian harus kembali ke penjara setelah terlibat dalam kasus kekerasan dan ujaran kebencian pada jamaah Ahmadiyah.

Selain itu, seiring dengan kasus pesan bernada seksual ini juga, ia tengah dilaporkan dalam kasus hukum lain. Ia misalnya, tengah dilaporkan dalam kasus penistaan agama yang dilaporkan oleh PMKRI. Pentolan aksi 212 ini juga dilaporkan dalam kasus penodaan lambang dan dasar negara. Ada pula laporan yang mengaitkan Rizieq dengan kasus ujaran kebencian terkait SARA.

Bagi banyak orang, sulit  untuk mengatakan bahwa Rizieq mengalami kriminalisasi. Kasusnya muncul karena bukti dari kasus lain. Selain itu, ia sendiri tergolong figur yang kerap bersinggungan dengan hukum sehingga ancaman penjara selalu mengintai.

Membandingkan Rizieq dan Hamka

Sekilas, kasus yang terjadi antara Hamka dan Rizieq tampak serupa. Tokoh agama kharismatik dengan banyak pengikut, ditimpakan sebuah kasus hukum. Dalam kasus keduanya tampak ada aroma politik.

Pada kasus Hamka, aroma politik tercium sangat jelas. Mantan Ketua MUI tersebut adalah salah satu aktivis Partai Masyumi yang saat itu sudah dilarang dan dibubarkan Soekarno. Langkah Soekarno menangkap Hamka bisa dipandang sebagai upaya untuk mengurangi kekuatan Hamka dan Masyumi sebagai oposisi. Kasus yang ditimpakan padanya saat itupun memang kasus politik.

Penangkapan Hamka oleh rezim Soekarno, bisa dikatakan adalah upaya untuk memperkuat posisi Soekarno sebagai presiden. Pemenjaraan Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya adalah upaya sang Presiden untuk memperkuat politik Nasakom-nya.

Konsekuensi pemenjaraan itu berakibat ganda bagi Soekarno. Di satu sisi, ia berhasil menimbulkan ketakutan bagi kekuatan lain seperti Masyumi. Akan tetapi, di sisi yang lain, hal ini menimbulkan kesan bahwa Soekarno adalah pemimpin yang zalim dan perlu ditumbangkan.

Sementara itu, Rizieq tidak hidup di zaman presiden seperti Soekarno. Pemerintah di era Rizieq tidak sedang memunculkan diri sebagai kekuatan tunggal seperti Soekarno dengan Nasakom-nya. Prakondisi jelang Rizieq menjadi tersangka tidak serupa dengan kasus Hamka. Motif politik Jokowi tidak sebesar Soekarno kala memenjarakan Hamka.

Kalangan pendukung Rizieq bisa saja menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang zalim serupa dengan Soekarno. Akan tetapi, ketakutan yang serupa seperti rezim Orde Lama tidak muncul di era ini. Absennya motif politik seperti Soekarno membuat suasan ngeri, tidak muncul akibat penangkapan Rizieq.

Bagi banyak orang, penetapan tersangka Rizieq adalah murni kasus hukum dan lanjutan dari proses hukum yang tengah berjalan. Hal ini membuat Jokowi tidak dianggap sebagai pemimpin yang ditakuti seperti Soekarno.

Di luar itu, jika berbicara nyali, kasus yang menimpa Rizieq sedikit lebih problematik. Jenis kasus yang ditimpakan berbeda. Hamka dikenai kasus subversi dan dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Sementara itu, Rizieq kasusnya tampak tidak seheroik Hamka. Ia tertimpa kasus kesusilaan yang dapat menjadi aib bagi seseorang dengan predikat ulama.

Kasus berbau politik, memang dapat meningkatkan status seorang tahanan politik di mata pendukungnya. Dalam beberapa kasus, penahanan dapat menjadi semacam martir dan mampu meningkatkan pengaruh. Salah satu contoh ulama terkemuka yang mengalami hal ini adalah Sayyid Quthb yang dipenjara oleh pemerintah Mesir, akibat dianggap terlibat rencana pembunuhan presiden.

Kasus yang menimpa Rizieq tentu saja tidak cukup seheroik itu untuk mendapatkan status seperti Hamka dan Quthb. Jika Rizieq tidak lari dan memilih dipenjara, ada potensi ia akan kehilangan pengaruh dan dianggap sebagai tokoh yang melanggar kesusilaan. Alih-alih mencapai kemuliaan seperti kedua tokoh di atas, bila Rizieq menerima status tersangka, malah akan berpotensi dicap sebagai pezina oleh umatnya.

Maka wajar saja kalau Rizieq dianggap bernyali lebih rendah ketimbang Hamka, sebab kasus yang dialami keduanya tidak memiliki konsekuensi sebanding. Statusnya sebagai pemuka agama pun akan tergugat,  jika ia mau mengikuti proses hukum. Bisa jadi, atas alasan ini pulalah ia tidak berani pulang. (H33)

Exit mobile version