Site icon PinterPolitik.com

Rizieq dan Pelarian Politik

Foto: Y14

Tentu bagi sebagian orang, agak naif membandingkan Rizieq dengan tokoh-tokoh seperti Khomeini, Gulen dan Hasan di Tiro. Namun, fakta bahwa Indonesia tidak bisa memulangkan Rizieq menunjukkan bahwa Rizieq punya kekuatan politik.


PinterPolitik.com

“Only those who overflow with love will build the happy and enlightened world of the future” – Fethullah Gulen

[dropcap size=big]P[/dropcap]emberitaan seputar pemimpin sekaligus Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab masih terus bergulir, walaupun tensinya mulai menurun. Sekalipun sedang berada di Arab Saudi, Rizieq masih juga memberikan komentar dan arahan untuk para pengikutnya terutama dalam menanggapi situasi politik di Indonesia. Kabar terbaru datang dari teguran Rizieq kepada Presidum Alumni 212 terkait dukungan terhadap pebisnis sekaligus Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo yang terjerat kasus hukum ‘SMS Kaleng’.  Teguran ini sekaligus menegaskan posisi Rizieq yang terus mengikuti perkembangan konstelasi politik nasional di Indonesia.

Rizieq memang enggan kembali ke Indonesia – banyak yang juga menyebutnya sebagai ‘pelarian’. Apalagi, kepolisian masih terus mengusut kasus hukum terkait konten pesan berbau pornografi yang menjeratnya. Dalam satu dekade terakhir, Rizieq mungkin menjadi satu-satunya tokoh politik di Indonesia yang pergi dari Indonesia karena alasan merasa dikriminalisasi oleh penegak hukum. Rizieq juga bisa disebut sebagai tokoh politik, mengingat perannya sangat terasa khususnya pada gelaran Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Fakta bahwa pihak kepolisian tidak bisa memulangkannya menunjukkan bahwa Rizieq memiliki posisi politik yang cukup kuat, mengingat ia tinggal di Arab Saudi dengan status visa yang sudah berakhir. Artinya, besar kemungkinan Rizieq mendapat perlindungan dari Arab Saudi. Hal ini seolah mengingatkan kita pada aksi pengasingan yang juga dilakukan oleh beberapa tokoh dunia, misalnya Ruhollah Khomeini dari Iran, Fethullah Gulen dari Turki, hingga pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan di Tiro.

Dari Khomeini hingga Hasan di Tiro

Situasi politik di dalam negeri yang tidak kondusif dan dianggap membahayakan seringkali menjadi alasan tokoh-tokoh politik untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Beberapa pemimpin dunia juga pernah melarikan diri akibat kondisi politik di negaranya.

Salah satunya adalah Ruhollah Khomeini (1902-1989) – yang kemudian mendapat gelar tambahan ‘Grand Ayatollah’ (gelar imam tertinggi Iran). Khomeini merupakan tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung pertama Iran. Aktivitas politiknya yang melawan pemimpin Iran saat itu, Shah Mohammed Reza Pahlavi, membuatnya dianggap sebagai pemberontak. Puncaknya adalah ketika sikapnya yang menentang program ‘white revolution’ yang dikeluarkan pemerintah membuatnya ditahan dan diasingkan ke luar negeri. Antara 1964-1979, Khomeini diasingkan ke Turki, Irak dan akhirnya ke Perancis. Kota Najaf di Irak yang merupakan kota suci umat Islam Syiah merupakan tempat paling lama yang didiaminya selama diasingkan.

Grand Ayatollah Ruhollah Khomeini, revolusioner dan Pemimpin Agung Iran (Foto: pakistantoday.com)

Pada 1 Februari 1979, Khomeini kembali ke Iran setelah 14 tahun di luar negeri dan menandai lahirnya Revolusi Iran. Kedatangan Khomeini disambut oleh sekitar 5 juta warga Iran (menurut perkiraan BBC). Saat itu, Shah Mohammed Reza Pahlevi sedang berada di luar negeri dan momentum tersebut dijadikan sebagai kesempatan untuk mengganti pemerintahan monarki yang sudah berkuasa selama 2.500 tahun di Iran dengan sistem Republik Teokrasi Islam baru. Revolusi Iran ini juga dikenal karena berlangsung dalam suasana yang relatif tanpa kekerasan dan damai. Khomeini meninggal di Teheran pada 3 Juni 1989.

Lain lagi kisah yang dialami oleh tokoh politik Turki, Fethullah Gulen. Gulen adalah seorang ulama kharismatik, mantan Imam, pengkhutbah dan salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Turki. Pada tahun 1999, Gulen meninggalkan Turki menuju Amerika Serikat dengan alasan untuk menjalani pengobatan. Namun, kepergian Gulen – yang hingga saat ini belum juga kembali ke Turki – ditengarai karena keengganannya untuk diadili terkait pernyataannya yang menyerang pemerintah Turki. Saat ini, walaupun Gulen tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat, gerakan-gerakannya serta pemikiran-pemikirannya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ajarannya tentang Hizmet (pelayanan terhadap umat manusia), telah menarik perhatian sejumlah pendukungnya di Turki, Asia Tengah, juga tokoh-tokoh penting lainnya di berbagai penjuru dunia. Gulen menguasai jaringan media dan pemberitaan di Turki, serta memiliki jaringan sekolah yang tersebar di hampir 180 negara di dunia.

Fethullah Gulen (Foto: trbimg.com)

Namun, otoritas di Turki menyebut Gulen sedang membangun kekuatan politik dan berupaya untuk menciptakan pemerintahan bayangan di Turki. Puncaknya adalah ketika terjadi percobaan kudeta politik terhadap pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 15 Juli 2016 lalu. Presiden Erdogan menuduh Gulen sebagai dalang di balik aksi tersebut. Hal ini beralasan mengingat Gulen mempunyai jaringan bahkan hingga ke institusi-institusi pemerintah. Pemerintah Turki mengajukan permohonan kepada Amerika Serikat untuk mengekstradisi Gulen kembali ke Turki. Namun, hingga saat ini, permohonan tersebut tidak juga dikabulkan.

Di Indonesia, beberapa kisah pelarian juga pernah terjadi. Salah satunya adalah yang dialami oleh pendiri sekaligus pemimpin organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan di Tiro (1925-2010). Hasan di Tiro yang merupakan keturunan Pahlawan Nasional asal Aceh, Tengku Cik di Tiro, adalah seorang revolusioner yang ingin memerdekakan Aceh dari Indonesia. Menurutnya, Aceh dijajah Indonesia dan dikeruk kekayaan alamnya oleh pemerintah Indonesia. Bersama GAM, Hasan di Tiro bertempur melawan militer Indonesia dalam serangkaian pertempuran antara tahun 1974-1977. Pada 1977, Hasan di Tiro tertembak dalam sebuah pertempuran dan akhirnya melarikan diri ke Malaysia. Sejak tahun 1980, ia tinggal di Swedia dan mendapatkan kewarganegaraan Swedia.

Pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan di Tiro (Foto: istimewa)

Perjuangan Hasan di Tiro berakhir setelah GAM dan pemerintah Indonesia sepakat berdamai pasca tragedi Tsunami Aceh pada Desember 2004. Hasan di Tiro kembali ke Indonesia pada tahun 2008 setelah 30 tahun tinggal di luar negeri. Ia mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia pada 2 Juni 2010, sebelum akhirnya meninggal dunia beberapa hari setelahnya.

Baik Khomeini, Gulen, maupun Hasan di Tiro sama-sama mengasingkan diri ke luar negeri sebagai akibat aktivitas politik yang dilakukannya. Empat belas tahun pengasingan Khomeini telah menghasilkan Revolusi Iran. Tujuh belas tahun pengasingan Gulen menghasilkan kudeta – walaupun gagal. Tiga puluh tahun pengasingan Hasan di Tiro menghasilkan Aceh yang bersyariah dan berotonomi khusus – walaupun masih tetap bergabung dengan Indonesia.

Bagaimana dengan Rizieq?

Tentu bagi sebagian orang, agak naif membandingkan Rizieq dengan tokoh-tokoh seperti Khomeini, Gulen dan Hasan di Tiro. Namun, fakta bahwa Indonesia tidak bisa memulangkan Rizieq dari Arab Saudi dan mengadilinya atas kasus hukum yang menimpa dirinya jelas menunjukkan bahwa Rizieq punya kekuatan politik. Kekuatan politik itu boleh jadi berasal dari Arab Saudi yang memberikan suaka bagi dirinya, ataupun juga berasal dari dalam negeri, terutama dari elit-elit politik yang dekat dengan dirinya.

Jika menilik pengasingan tokoh-tokoh dunia yang beberapa di antaranya berujung pada revolusi, apakah hal yang sama akan terjadi pada Rizieq? Memang, Rizieq selalu mengklaim memiliki massa yang besar dan loyal. Namun, untuk mencapai apa yang dilakukan oleh Khomeini misalnya, masih terlalu jauh. Selain itu, konteks politik di Indonesia saat ini jauh berbeda dibandingkan dengan Iran pada zaman Khomeini. Jika dibandingkan dengan Gulen, jaringan politik Rizieq juga tidak sehebat Gulen yang punya jaringan sekolah di seluruh dunia. Dari sisi ketokohan, Rizieq pun mungkin belum layak untuk dibandingkan dengan Hasan di Tiro.

Kasus hukum yang menimpa Rizieq ini memang sarat akan nuansa politik. Yang jelas, kita mungkin bisa belajar dari tokoh-tokoh besar yang pernah mengasingkan diri dari negerinya, bahwa politik kadang-kadang tidak bisa menghasilkan solusi yang memuaskan untuk semua pihak.

Bagi pendukung dan pengikutnya, Rizieq mungkin saja dianggap seperti salah satu dari tokoh-tokoh besar tersebut. Kita tentu ingat pernyataan kuasa hukum Rizieq yang mengklaim akan mendatangkan massa saat penyambutan Rizieq jika ia nantinya pulang – hal yang ingin dibuat sama dengan penyambutan Khomeini di Iran. ‘Fatamorgana politik’ ini – demikian kalau mau diistilahkan – bisa berbahaya dan boleh jadi akan menimbulkan benturan di masyarakat.

Oleh karena itu, bagi masyarakat biasa, kita tentunya berharap kasus ini bisa terselesaikan dan tidak membawa perpecahan di dalam negeri. Pada akhirnya, apakah Rizieq akan pulang besok, tahun depan, 15 tahun lagi, atau bahkan 30 tahun lagi, hal itu menjadi tidak penting. (S13)

 

 

Exit mobile version