Resmi, Habib Rizieq Shibab (HRS) menjadi tersangka dan sudah ditahan saat ini. Kepulangannya memang menuai kontroversi, mulai dari kerumunan massa, turunnya Koopssus TNI, hingga adanya insiden enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang harus kehilangan nyawa. Mungkinkah sepak terjang HRS dan FPI, khususnya sejak 2017 menjadi pemantik Islamofobia di Indonesia?
Di luar teori konspirasi yang menyertainya, peristiwa pengeboman 911 di Amerika Serikat (AS) telah menjadi preseden kebangkitan Islamofobia di negara-negara Barat. Sejak saat itu, identifikasi Islam sebagai agama teroris telah menjadi suatu hal yang lumrah dan terus direproduksi. Apalagi, dengan munculnya gerakan ISIS yang mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah aksi teror di berbagai belahan dunia, identifikasi semacam itu menjadi kian terafirmasi.
Oleh karenanya, moderasi Islam atau yang kerap disebut Islam moderat tengah mengalami tren kebangkitan di seluruh dunia. Berbeda dengan Islam konservatif yang menjustifikasi tindakan kekerasan sebagai bagian dari penghayatan spiritual, kelompok moderat cenderung bersikap sekuler dan menggunakan HAM sebagai pemandu moral dalam kehidupan sosial, khususnya dalam masyarakat yang majemuk.
Alhasil, kebangkitan aliran Islam moderat dapat disimpulkan sebagai perlawan atas stigma kekerasan yang dilekatkan kepada Islam. Lebih luas, moderasi Islam bertujuan untuk meredam tren kenaikan Islamofobia di seluruh dunia.
Konteks Islam konservatif vs Islam moderat di Indonesia, terlihat jelas dalam perdebatan sengit yang tidak berkesudahan antara mereka yang mendukung terbentuknya khilafah atau negara Islam dan yang tidak. Puncaknya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pada 2017 lalu.
Menariknya, dalam studi terbaru tentang Islamofobia, fobia tersebut ternyata tidak hanya muncul di negara-negara Barat, di mana Muslim menjadi penduduk minoritas, akan tetapi juga muncul di dalam negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Mengacu pada studi tersebut, setelah dibubarkannya HTI, mungkinkah Habib Rizieq Shihab (HRS), Front Pembela Islam (FPI), dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 akan menjadi preseden atas kebangkitan Islamofobia di Indonesia?
Islamofobia di Negara Muslim
Enes Bayraklı, Farid Hafez dan Léonard Faytre dalam tulisannya Making Sense of Islamofobia in Muslim Societies (2019) memberikan definisi penting tentang perkembangan studi Islamofobia. Menurut mereka, tidak seperti sangkaan orang selama ini bahwa Islamofobia hanya terjadi di negara-negara Barat, di mana Muslim menjadi penduduk minoritas, Islamofobia justru dapat juga terjadi di negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Konteks tersebut menjadi mungkin karena Barat (West) tidak dipahami sebagai kategori teritorial, melainkan sebagai kategori kekuasaan atau power. Artinya, Islamofobia sebenarnya adalah istilah politik yang muncul karena hegemoni Barat dinilai terancam atas kebangkitan Islam.
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) telah lama menerangkan hal tersebut. Berbeda dengan tesis muridnya, Francis Fukuyama dalam buku The End of History and the Last Man, Huntington justru menerangkan di masa depan benturan yang terjadi bukanlah benturan ideologi, melainkan benturan peradaban atau identitas budaya.
Baca Juga: Pembakaran Al-Qur’an Perlemah Demokrasi Liberal?
Menurutnya, penjelasan Fukuyama terkait konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme, hanyalah sebuah fenomena historis yang bersifat sementara dan superfisial jika dibandingkan dengan hubungan konfliktual antara Islam dengan Kristen yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Kebangkitan kembali Islam pada akhir abad ke-20 telah memberikan keyakinan-keyakinan baru di kalangan umat Islam terhadap watak dan keluruhan peradaban, serta nilai-nilai yang mereka miliki dibandingkan dengan peradaban dan nilai-nilai Barat.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Huntington melihat terdapat kecenderungan yang mengarah pada gerakan anti-Barat di kalangan umat Islam. Menurutnya, ini adalah konsekuensi dari kebangkitan Islam, reaksi menentang hegemoni Barat, serta westernisasi.
Persis seperti Huntington. Bayraklı, Hafez dan Faytre juga menegaskan bahwa Islamofobia adalah alat politik yang digunakan untuk mempertahankan hegemoni Barat atau tepatnya hegemoni terhadap budaya, pengetahuan, dan nilai-nilai Barat.
Secara spesifik, Islamofobia bahkan disebut sebagai upaya mempertahankan hegemoni negeri Paman Sam. Menurut mereka, Islamofobia adalah politik luar negeri AS.
Artinya, Islamofobia sebenarnya adalah praktik untuk membuat identitas kelompok Islam tertentu tidak dapat eksis. Kelompok Islam yang mana? Yakni mereka yang menentang hegemoni Barat.
Nah, setelah memahami Islamofobia sebenarnya adalah alat politik dalam perang peradaban (pengertian Huntington) atau perang dominasi, maka pertanyaan lanjutannya, mengapa itu dapat terjadi di negara Muslim? Sederhana, karena berkembangnya orientalisme.
Jika ditanya apa itu modernisasi, suka tidak suka, jawabannya adalah adaptasi budaya, pengetahuan, dan nilai-nilai Barat. Itu adalah indikasi kuat mengakarnya orientalisme.
Orientalisme sendiri adalah cara pandang yang membayangkan, menekankan, dan membesar-besarkan perbedaan masyarakat dan budaya Timur, khususnya Arab dibandingkan dengan Eropa dan AS (Barat). Sering kali budaya Arab disebut terbelakang, tidak beradab, dan terkadang berbahaya.
Sama seperti di peradaban Barat, para orientalis juga mempromosikan sekularisme. Ini jelas kontras dengan kelompok Islam, seperti HTI yang mempromosikan negara Islam.
Jika orientalisme berkembang pesat di negara-negara Muslim, Islamofobia dapat muncul. Singkatnya, Islamofobia di negara Muslim adalah bentuk penolakan eksistensi terhadap kelompok Islam yang menentang nilai Barat dan sekularisme, serta yang ingin mendirikan negara Islam.
Bangkitkan Islamofobia?
Setelah memahami definisi tersebut, sekarang pertanyaan krusialnya adalah, apakah HRS, FPI, dan PA 212 akan menjadi preseden atas kebangkitan Islamofobia di Indonesia?
Sebagaimana diketahui, khususnya sejak 2017, gerakan HRS bersama FPI dan PA 212 telah menimbulkan sinisme tersendiri di tengah masyarakat. Sama dengan HTI, narasi penolakan untuk mendirikan negara Islam juga ramai terlihat.
Akan tetapi, konteks penolakan masyarakat terhadap HTI sebenarnya belum pada titik untuk menyebut telah terjadi Islamofobia karena substansi penolakannya pada pendirian negara Islam, dan bukannya sekularisme. Pun begitu dengan HRS, FPI, dan PA 212. Penolakannya bukan pada nilai-nilai Islamnya, melainkan gerakan mereka yang kerap menimbulkan kegaduhan politik.
Di sini, pertanyaan krusialnya sebenarnya bukan pada apakah Islamofobia telah bangkit di tengah masyarakat, melainkan apakah itu telah bangkit di pemerintah?
Baca Juga: TNI Turun, HRS Ancaman Negara?
Sebelum sampai ke sana, kita perlu melihat apa yang terjadi di Turki. Ali Aslan dalam tulisannya The Politics of Islamofobia in Turkey menyebutkan Islamofobia telah memainkan peran penting dalam pembentukan dan pembangunan negara Turki modern. Aslan melihat, politik Islamofobia telah digunakan untuk menggantikan Kekaisaran Ottoman, demi terciptanya Republik Turki yang sekuler-nasionalis.
Ini kemudian menjawab mengapa Fethullah Gülen yang ingin mendirikan negara Islam dijadikan musuh negara, bahkan sebelum terjadinya kudeta pada 2016 lalu. Sejak 2013, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memang telah menempatkan Gulen dan pengikutnya sebagai pesakitan. Bahkan telah secara resmi menamakan gerakan Gulen sebagai FETO atau Fethullahist Terror Organization.
Mengacu pada apa yang terjadi di Turki, Islamofobia justru terjadi di pemerintah karena adanya ambisi untuk melakukan modernisasi. Lantas, mungkinkah hal serupa terjadi di Indonesia?
Untuk saat ini mungkin masih jauh untuk menyimpulkan demikian karena Indonesia bukanlah negara sekuler. Ini terbukti dengan adanya pengakuan terhadap hukum Islam, adanya lembaga-lembaga agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga masih kuatnya pengaruh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di pemerintahan.
Akan tetapi, mengacu pada insiden mengejutkan seperti turunnya Koopssus TNI di Petamburan, terbunuhnya enam laskar FPI, dan ditangkapnya HRS menggunakan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, boleh jadi pemerintah pada titik telah menjadi fobia terhadap HRS, FPI, dan PA 212.
Bagaimanapun, sejak 2017, HRS bersama dengan FPI dan PA 212 memang telah menimbulkan gejolak politik tersendiri. Tidak tanggung-tanggung, mereka telah menjadi preseden atas mendalamnya polarisasi politik di tengah masyarakat.
Kita lihat saja, apakah HRS, FPI dan PA 212 akan menjadi pemicu Indonesia untuk bergerak mengikuti Turki atau tidak. Tapi sampai saat ini, indikasi itu memang masih terlihat jauh. Kita nantikan saja kelanjutannya. (R53)