Pidato Rizieq Shihab saat Reuni 212 beberapa hari lalu masih menjadi perbincangan. Dari Arab Saudi, imam besar FPI itu mengingatkan para peserta acara tersebut tentang posisi ayat suci terhadap konstitusi. Menurutnya, perlu ada gerakan untuk mengembalikan posisi ayat suci ke atas konstitusi karena yang terjadi belakangan ini adalah propaganda untuk memposisikannya secara terbalik. Diiringi seruan untuk ganti presiden, Rizieq setidaknya menyuarakan sebuah gagasan besar tentang eksklusi.
PinterPolitik.com
“Religion doesn’t make people bigots. People are bigots and they use religion to justify their ideology.”
:: Reza Aslan, public intellectual berdarah Amerika-Iran ::
[dropcap]R[/dropcap]euni 212 telah lewat, namun cerita tentangnya masih menjadi sorotan banyak pihak. Selain karena masih kuatnya antusiasme masyarakat yang mengikuti acara akbar tersebut – dibuktikan dari jumlah peserta yang tidak sedikit – serta dimensi politiknya jelang Pilpres 2019 yang cukup terasa, aksi ini juga menjadi panggung bagi pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab untuk menyampaikan pidatonya, sekalipun harus dilakukan dari Arab Saudi.
Dalam kesempatan itu, melalui teleconference, Rizieq setidaknya menyampaikan pandangan-pandangannya yang tidak sedikit di antaranya bernuansa politis dan ideologis. Ia misalnya menyerukan agar 2019 ganti presiden dan tidak memilih partai-partai yang mendukung penista agama.
Ada pula kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi sebagai pengurus negara yang menurutnya – tentu saja dalam bahasa yang tidak frontal – tidak boleh melakukan kebohongan. Ia juga menyisipkan persoalan tentang makin kuatnya aliran-aliran sesat dan penodaan agama, serta kritik terhadap cengkraman neoliberalisme.
Namun, bagian yang mungkin paling menarik adalah ketika ia menyinggung kembali isi khotbah Jumat yang ia sampaikan pada Aksi 212 di 2016 lalu yang kala itu diberi judul “Ayat Suci di atas Ayat Konstitusi”.
Bagian ini memang tidak banyak mendapatkan highlight, katakanlah jika dibandingkan dengan seruan untuk mengganti presiden. Namun, justru apa yang disampaikan tentang ayat suci dan konstitusi ini boleh jadi adalah inti dari sikap politik Rizieq.
Ayat suci adalah bagian yang intrinsik dari agama, sehingga kata-kata Rizieq tersebut bisa dimaknai sebagai seruan untuk “menggeser agama ke atas ayat konstitusi”. Rizieq juga menyebutkan bahwa Reuni 212 lahir dari “pertarungan ideologi” antara akidah – atau iman – tentang ayat suci di atas konstitusi, melawan propaganda tentang konstitusi di atas ayat suci.
Kata-kata tersebut tentu saja menarik karena menjadi perwujudan keinganan untuk menggeser haluan negara. Pertanyaannya adalah mungkinkah suatu saat pada akhirnya dengan memanfaatkan momentum politik Pilpres 2019, pertarungan ideologi – seperti yang disebut Rizieq – tersebut berhasil menggeser ayat suci ke atas konstitusi?
Eksklusi Pancasila Ala Rizieq
Untuk memahami maksud Rizieq terkait persoalan ayat suci dan konstitusi, mungkin perlu juga untuk melihat arah perjuangan sang habib. Garis perjuangan politik Rizieq memang bisa dilihat dari tesisnya yang dibukukan dengan judul Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Buku ini memuat intisari pemikiran-pemikiran politik Rizieq yang memang ingin agar Indonesia menjalankan syariat Islam.
Namun, berbeda dengan perjuangan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, yang ingin mengganti dasar negara Pancasila, Rizieq justru pro terhadap ideologi tersebut. Persoalannya adalah menurut Rizieq, Pancasila yang dijalankan saat ini punya penafsiran berbeda dengan apa yang ia yakini.
Hal ini dapat terjadi karena Pancasila telah 7 kali mengalami perubahan, mulai dari Pancasila Mohammad Yamin 29 Mei 1945, Pancasila Soekarno 1 Juni 1945, Pancasila Piagam Jakarta 22 Juni 1945, lalu Pancasila UUD 18 Agustus 1945, Pancasila Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, Pancasila UUDS 1950, hingga Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Hal yang sama menurut Rizieq juga terjadi pada UUD 1945 yang setelah reformasi 1998 pun mengalami 4 kali amandemen berturut-turut.
Dua konteks tersebut menunjukkan bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan produk buatan manusia, sehingga tidak punya kesakralan. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat suci dalam Alquran yang tentu saja sakral. Pada titik inilah kata-kata “ayat suci di atas konstitusi” bisa dipahami maksudnya.
Walaupun demikian, menurut Rizieq, Pancasila dan UUD 1945 itu justru sangat Islami dan berakar dari ajaran agama Islam. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Rizieq, adalah bentuk pengakuan bahwa dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesungguhnya adalah Islam sebab tidak ada agama lain yang Tuhan-nya esa atau satu.
Meski fisiknya tak hadir, Rizieq tetap bisa berseru dalam acara Reuni 212. #infografisNantikan artikel selengkapnya di Pinterpolitik.com
Posted by Pinter Politik on Tuesday, December 4, 2018
Artinya, menurut Rizieq, tidak ada yang salah dengan Pancasila karena sudah menempatkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini serupa pula dengan UUD 1945 sebagai turunanannya.
Pertanyaanya adalah apakah benar demikian?
Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Rizieq tentu saja benar ketika mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah buatan manusia. Namun, pada saat yang sama, ia juga salah ketika mengatakan bahwa konsepsi Pancasila itu – khususnya sila pertama – merujuk hanya kepada Islam saja.
Pasalnya semua agama Ibrahimis atau yang mengakar pada Nabi Ibrahim – yakni Islam, Yahudi dan Kristen – adalah monoteis atau mengakui Tuhan yang esa. Bahkan, Hindu pun – pada titik tertentu – juga dianggap sebagai agama yang monoteis.
Konteks penafsiran Pancasila yang dilakukan Rizieq ini tentu saja mengandung logical fallacy atau kesalahan reasoning. Rizieq mungkin menganggap konsep trinitas – tiga pribadi – dalam kekristenan bukan sebagai monoteisme. Namun, persoalannya, monoteisme adalah salah satu inti ajaran Kristen. Demikian pun dengan agama Hindu yang nyatanya punya dimensi monoteistik.
Artinya konteks perkataan Rizieq bahwa “tidak ada agama lain yang Tuhan-nya esa” dengan sendirinya terpatahkan.
Pemikiran Rizieq yang menyebutkan bahwa dalam Pancasila sudah tertuang Islam sebagai dasar negara juga bisa dianggap sebagai upayanya untuk meng-eksklusi ideologi tersebut. Konsepsi eksklusi dalam konteks ini berarti membuat Pancasila sebagai ideologi yang menyatukan berbagai perbedaan latar budaya, agama, suku, dan ras, menjadi milik sekelompok orang saja.
Eksklusi itu sendiri adalah salah satu konsep yang cukup menarik karena merupakan akar dari politik identitas. William J. Wainwright dalam bukunya tentang filosofi agama menyebutkan bahwa eksklusi agama – doktrin bahwa hanya ada satu ajaran dan sistem agama yang benar – merupakan salah satu jalan masuk untuk eksklusi yang lain. Kita kemudian mengenal istilah eksklusi sosial – misalnya dalam pemikiran Michel Foucault – hingga eksklusi politik, yang keduanya cenderung diskriminatif.
Pada titik ini, eksklusi Pancasila ala Rizieq memang punya dimensi yang luas, bahkan berpotensi melahirkan konflik. Demikian pun dengan UUD 1945 yang merupakan turunan dari Pancasila. Jika ikut tereksklusi juga, maka dampaknya tidak hanya sekedar 2019 ganti presiden saja, tetapi juga keutuhan bangsa dan negara ini.
Rizieq Jenius?
Terkait sikapnya terhadap Pancasila, Rizieq – dalam sebuah kesempatan bedah bukunya – menyebutkan bahwa Pancasila yang dijalankan saat ini di Indonesia telah dibajak oleh ideologi pemimpin pada setiap rezim dengan cita rasa komunistik, liberal, dan kejawen. Konteks ini pun pada akhirnya menjadi warna utama kampanye politik yang ia dan kelompoknya gerakkan.
Terlepas dari benar atau tidaknya konteks akar pandangannya tentang Pancasila dan UUD 1945, yang jelas apa yang dilakukan oleh Rizieq ini adalah proses pembalikan atau reversal. Rizieq membalikkan gagasan tentang negara Islam ke dalam Pancasila itu sendiri.
Ini bisa dibilang sebagai langkah yang sangat jenius karena menempatkan intisari perjuangannya tanpa “melanggar” apa yang sudah ada. Rizieq memang mencari celah untuk melakukan apa yang ia sebut dalam bagian akhir bukunya sebagai “revolusi”. Tetapi, pemimpin sejati memang harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Mungkin saja revolusi dalam makna yang sesungguhnya itu sedang digerakkan secara perlahan. Kata-kata Rizieq tentang ayat suci dan konstitusi adalah bagian dari upayanya untuk menyentuh lapisan yang paling dasar dari negara Indonesia tanpa terlihat merusak suasana yang sudah ada.
Pada akhirnya, publik masih akan terus menanti kata-kata Rizieq di lain kesempatan. Yang jelas, sang habib masih akan menjadi salah satu tokoh sentral dalam politik Indonesia beberapa tahun ke depan. (S13)