Bila dijajarkan, mana di antara Rizal Ramli, Sri Mulyani (SMI), dan Darmin Nasution yang paling punya teropong ekonomi terbaik?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]rediksi Prabowo yang menyebut Indonesia akan bubar di tahun 2030, boleh saja dianggap menggelikan. Tapi buat Rizal Ramli, mantan Menko Kemaritiman di era Joko Widodo yang kena reshuffle pada 27 Juli 2016 lalu, hal itu bisa menjadi sebuah pertimbangan.
Bukan tanpa alasan, lulusan University of Boston, Amerika Serikat (AS), tersebut pernah memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami keguncangan ekonomi di tahun 1997-1998. “Saat itu saya dibantah oleh Bank Central, menteri keuangan, ekonom luar negeri dan dalam negeri. Padahal saat itu, indikator saya sederhana, karena defisit Indonesia sudah besar, tentu itu akan membuat rupiah anjlok, kedua soal hutang kepada swasta yang sudah keterlaluan,” jelas Rizal.
Prediksi yang ‘tepat’ itu, mengundang pujian dan membuat Rizal menilai jika apa yang diucapkan Prabowo sebagai sebuah pertimbangan meneropong kondisi ekonomi dalam waktu 30 – 50 tahun ke depan. “Ini adalah sesuatu yang bagus, kita bisa melihat Indonesia di tahun 30 – 50 ke depannya, bisa positif dan negatif,” ujarnya.
Bukan kali ini saja, Rizal membuat publik terhenyak karena ucapannya. Sebelumnya, ia memang sudah dikenal gemar melemparkan kritik maupun respon ‘gratis’, baik kepada lembaga, tokoh, maupun menteri tertentu seputar kebijakan ekonomi. Yang paling heboh, adalah kritik yang ditujukan langsung pada Jusuf Kalla (JK) seputar pengadaan pesawat dan program listrik. Hal ini berujung pada duel kepada JK untuk debat terbuka.
Gara-gara insiden tersebut, Rizal mau tak mau dapat cap ‘tak etis’, sementara pihak lain ada yang lebih senang menyebut kritik dirinya dengan ‘kepretan Rajawali’. Perbedaan penyebutan ini memang menggambarkan pula dukungan suatu pihak dalam melihat kritik dan sindiran yang kerap dikeluarkan Rizal.
‘Kepretan’ atau kritik Rizal yang heboh, tentu tak keluar dari ruang hampa. Selain cetakan karir yang sangar, Rizal Ramli juga menempuh jenjang pendidikan yang unik. Rizal menyelesaikan S1 di ITB jurusan Fisika, lalu membanting setir mempelajari ilmu sosial di Sophia University jurusan Asia Studies. Sementara pendidikan doktoralnya baru difokuskan di bidang ekonomi di University of Boston.
Latar pendidikan yang lintas jurusan itu, menyumbang perspektif yang bermanfaat bagi kemampuan analisa dan kritik Rizal. Kemampuan analisis yang cemerlang itu pula yang membuatnya pernah ditawari jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Economy and Social Commission of Asia Pacific (ESCAP) PBB, di November 2013. Sayang, jabatan itu ditolaknya karena ingin konsentrasi bekerja di bawah Pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Keuangan.
Bila menilik lebih jauh lagi soal jabatan yang ditinggalkannya, Rizal Ramli juga menorehkan hasil yang menarik dicermati. Saat menjabat sebagai Kepala Bulog (2000) dirinya berhasil melakukan renegosiasi harga listrik swasta yang sebelumnya sarat KKN. Ia juga terlibat dalam pembenahan PT PLN dengan cara merevaluasi aset.
Tengok pula bagaimana hubungannya dengan International Monetary Fund (IMF). Pria kelahiran Sumatera Barat ini, bisa memaksa lembaga keuangan ‘neoliberal’ tersebut mengikuti Letter of Intent (LoI) yang dirumuskan pemerintah Indonesia.
Nah, soal neoliberal, banyak pihak menyebut pandangan Rizal Ramli lebih condong ke arah ekonomi kerakyatan alih-alih neoliberal. Ekonomi kerakyatan, dalam prakteknya memberikan perlindungan kepada kelompok ekonomi lemah dan rakyat kebanyakan. Paham ini disebut juga dengan ekonomi konstitusi.
Beberapa pihak juga banyak menduga, karena pandangan ekonomi tersebut, ia sering dikaitkan dengan Prabowo Subianto, yang kerap mengkritik sistem dan kebijakan ekonomi yang tak memihak rakyat kebanyakan. Bagaimana tidak, selain sama-sama dipandang nasionalis dan militan, keduanya tidak menunjukan dukungan pada neoliberasi ekonomi.
Kebijakan yang ditorehkan Rizal saat menjabat sebagai Menkeu adalah bentuk-bentuk kecil bagaimana pandangan ekonomi kerakyatan di berlakukan. Apa penanda besarnya? Itu adalah proteksionisme dan pertahanan BUMN.
Sosok Rizal yang memang tak bisa diam, bahkan pernah pula disebut ‘centil’ oleh Luhut Binsar Panjaitan, memang sangat bertolak belakang bila dibandingkan dengan ekonom handal yang saat ini berada di bawah Presiden Jokowi, yakni Sri Mulyani (SMI) dan Darmin Nasution.
Bila Rizal berpegang pada ekonomi kerakyatan dan mempelajari studi lintas jurusan, sementara SMI dan Darmin dianggap berpegang pada ekonomi neoliberal. Mana yang lebih baik?
Lain Rizal, Lain Darmin dan Sri
Saat SMI ditunjuk menjadi Menkeu dalam reshuffle kabinet, reaksinya mudah sekali ditebak, banyak yang berteriak “Sri Mulyani neolib!” Saat itu, seruan datang dari politisi PDIP Ribka Tjiptaning, ekonom dan politikus PAN Drajad Wibowo, juga pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy.
Presiden Jokowi bukannya tak tahu risiko sama sekali. Apa yang menjadi keputusannya ‘mempersunting’ SMI, sama seperti saat SBY memilih Boediono, walau sudah tahu Boediono diserang bail-out Bank Century. Toh, akhirnya mereka terpilih juga.
Kabar mengenai ideologi ekonomi neoliberal, yang menjadi pijakan Menkeu saat ini, datang karena dirinya pernah menulis “Liberalisasi dan Pemerataan” dalam buku Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan. Di sana, SMI menulis, “liberalisme yang akan dilakukan harus secara sadar dan terencana memihak pada masyarakat yang sudah dan akan terancam tertinggal dalam proses kemajuan”
Dari pemikiran itu, mudah ditebak bila SMI memang mendukung neoliberalisme. Tapi apakah lantas ia seorang neolib? Itu perkara lain. Namun satu yang pasti, saat ini istilah neoliberalisme sudah menjadi momok dan antitesis dari ekonomi yang berpihak pada rakyat, bahkan menjadi istilah serangan politik kepada pemerintah.
Tak hanya SMI, menteri andalan Jokowi lainnya, yakni Darmin Nasution, juga dianggap berada dalam haluan ideologi ekonomi neolib. Salah satunya adalah kebijakan memberlakukan 14 paket ekonomi yang menyasar kenyamanan investor.
Neoliberal sendiri adalah pendekatan ekonomi yang melihat setiap individu warga negara sebagai aktor ekonomi yang setara. Konsekuensi dari pandangan ini, negara dipaksa hanya berperan minimal sebagai regulator yang memberikan kesempatan kepada semua aktor untuk bertarung di pasar bebas (laissez faire).
Konsekuensi dari pendekatan tersebut, aktor ekonomi yang punya modal paling kuat biasanya yang menang dan mampu bertahan. Sudah pasti yang mampu mendominasi pasar adalah perusahaan multinasional (MNCs) atau kelompok pencari rente, bukan rakyat kebanyakan.
Sepak terjang SMI, yang merupakan lulusan sekolah ekonomi Harvard, memang banyak bergerak pada penguatan pajak, pasar bebas, dan globalisasi. Tiga hal itu, juga menjadi kata kunci dalam perhatian ekonomi neolib sesuai dengan Washington Consensus (Konsensus Washington). Konsensus Washington ini juga yang melandasi IMF dan Bank Dunia, di mana SMI pernah menjadi bagian di dalamnya.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh SMI sesuai dengan Konsensus Washington, adalah penguatan pajak melalui tax amnesty dan pengambilan pajak di beberapa sektor. Kebijakan ini, sayangnya, dianggap belum berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat kebanyakan. Namun begitu, SMI terus dapat penghargaan dari luar negeri, yang terbaru adalah penghargaan sebagai Menteri Terbaik di Dunia versi World Government Summit Februari lalu.
Sementara Darmin Nasution, sejak duduk di kursi pemerintahan, pernah melakukan kebijakan penghapusan denda bagi wajib pajak badan di sektor industri kelapa sawit, batubara, dan industri konstruksi pada tahun 2008.
Baik SMI dan Darmin adalah lulusan jurusan ekonomi murni. Bila SMI lahir dari Harvard, Darmin lulusan Universtas Sorbonne, Perancis. Harvard memang dikenal mencetak banyak pebisnis dan ekonom handal selama puluhan tahun, tak berbeda juga dengan Universitas Sorbonne.
Tetapi, bila dibandingkan dengan Rizal yang militan dan nasionalis, kedua tokoh sipil yang memegang kebijakan berhaluan neolib ini, tentu sangatlah berbeda. Namun siapa yang bisa memberikan teropong paling baik bagi kondisi ekonomi Indonesia?
Siapa Paling Unggul?
Bila ketiganya berada dalam jalur adu tokoh ekonom terbaik yang menawarkan teropong ekonomi, ketiganya punya sisi menarik tersendiri.
Sosok Rizal Ramli tentu dipandang sebagai pihak yang paling ‘berwarna’. Betapa tidak, dia tak hanya mempelajari ekonomi murni, tetapi juga politik Asia dan ilmu fisika. Tak hanya pernah duduk di bangku pemerintahan, dirinya pun punya kekuatan lain karena pernah menjadi komisaris First Media, PT. Semen Gresik Tbk, dan publisher Jakarta Globe. Variasi jabatan dan lintas studi yang diambilnya tentu menjadi nilai tambah bagi langkah kebijakan yang diambilnya.
Ia juga konsisten melakukan kritik, baik saat bergabung di pemerintahan maupun tidak. Hal ini sebetulnya bisa menjadi pedang tersendiri baginya. Tentu saja kritik amat penting, tetapi sungguh tak ada yang bisa memastikan apakah kritiknya rasional, suatu saat bisa saja ia tergelincir berubah menjadi sindirian emosional.
Sementara SMI punya latar belakang ekonomi totok nan mumpuni. Dirinya menjadi kesayangan petinggi IMF dan Bank Dunia. Tetapi sayang, kekuatan SMI memang hanya ‘itu-itu’ saja. Jika dirinya dielukan di dunia internasional, secara nasional namanya kurang populer sebab ada neoliberalisme yang mengikutinya.
Apalagi Darmin, berbeda dengan SMI yang menjadi kesayangan IMF dan Bank Dunia, ia tak punya kekuatan dan cukup pijakan, baik secara nasional dan internasional. Ditambah lagi, Darmin pernah punya beberapa skandal keuangan, misalnya kasus pajak pemilik Grup Ramayana Paulus Tumewu, Halliburton, hingga Gayus Tambunan. Tak hanya itu, Darmin pernah pula terlibat dalam rapat penentuan dana talangan untuk Bank Century yang membengkak menjadi Rp. 6,7 triliun.
Lalu teropong mana yang lebih dari ketiganya? Hal ini sungguh sulit diputuskan. Indonesia saat ini cenderung berjalan pragmatis atau di tengah-tengah, ketimbang menjadi pemangku ekonomi neoliberasi maupun kerakyatan.
Namun, barangkali ada satu hal yang perlu diingat sebagai sumber kewaspadaan, yakni sebuah petuah dari Oleg Komlik, seorang akademisi cum ekonom yang berkata, “ada hantu menggentayangi, dan ia adalah neoliberalisme”. (A27)