Obat Covid-19 hasil kerja sama Universitas Airlangga (Unair), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), dan Badan Intelijen Negara (BIN) tuai kritik dari epidemiolog Universitas Indonesia (UI). Apakah ada rivalitas antarkampus di polemik obat ini?
“I am imprisoned in a prison called rivalry” – Suga, penyanyi grup BTS asal Korea Selatan
Mungkin, sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk saling bersaing. Bahkan, sifat alamiah manusia ini kerap dituangkan dalam berbagai bentuk kisah.
Kisah serial anime asal Jepang yang berjudul Naruto, misalnya, kerap diisi dengan cerita persaingan antara Naruto dan Sasuke yang keduanya menjadi anggota dalam satu tim yang sama. Uniknya, ketika Naruto menyukai Sakura, Sasuke malah menjadi pilihan Sakura.
Di dunia nyata, persaingan seperti ini juga sering terjadi, seperti antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Kedua negara besar ini disebut-sebut mulai bersaing di segala bidang, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.
Kabarnya, kedua negara tersebut berlomba-lomba dalam menghasilkan vaksin untuk melawan virus Corona (SARS-Cov-2) yang menyebabkan Covid-19. Ketika beberapa vaksin asal AS dikabarkan mulai melakukan uji klinis pada manusia, Tiongkok pun tidak mau kalah dengan mengirimkan sejumlah vaksin untuk diuji di negara-negara lain, seperti Brasil dan Indonesia.
Bagaimana pun juga, tujuan dari pembuatan vaksin juga baik. Umat manusia juga sekarang tengah menghadapi ancaman besar yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, seperti dampak sosial dan dampak ekonomi.
Jelas saja, apabila hampir semua pihak kini berusaha untuk menemukan solusi atas pandemi, seperti dengan menciptakan vaksin dan obat untuk Covid-19. Salah satu upaya tersebut pun akhirnya dilakukan oleh Universitas Airlangga (Unair) bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).
Upaya yang serupa juga kini tengah diperjuangkan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Hingga kini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersama Universitas Padjajaran telah menjalankan uji klinis fase ketiga untuk vaksin Covid-19 yang didapatkan dari Sinovac asal Tiongkok.
Namun, tampaknya, tidak semua pihak menyambut baik upaya-upaya ini. Pengembangan obat oleh Unair, TNI AD, dan BIN misalnya menuai kritik dari sejumlah pihak. Salah satu kritik keras pun dilontarkan oleh epidemiolog Universitas Indonesia (UI) yang bernama Pandu Riono.
Kabarnya, metodologi dan keterbukaan uji ilmiah dari obat tersebut patut dipertanyakan. Bahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengingatkan agar Unair mengevaluasi obat itu kembali.
Pertanyaan pun akhirnya bermunculan di masyarakat. Mengapa polemik obat buatan Unair ini muncul di masyarakat? Lantas, adakah dinamika politik yang mendasarinya?
Rivalitas UI-Unair?
Kritik keras yang dilontarkan oleh pihak UI terhadap Unair bisa saja didasari oleh kesalahan metodologi dan minimnya keterbukaan informasi. Meski begitu, perasaan akan rivalitas antarkampus juga dapat mengiringi perdebatan obat Covid-19.
Perasaan akan rivalitas antarkampus ini biasa terjadi. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara seperti AS dan Inggris, perebutan pengaruh dan perasaan bangga turut melandasi rivalitas antarkampus.
Kenni C. Palmer dari University of California, Los Angeles, AS, dalam tulisannya yang berjudul Blinded by Bias mencoba menjelaskan perihal ini. Palmer pun mencontohkan rivalitas antarkampus yang terjadi di negaranya antara UCLA dan University of Southern California (USC).
Rivalitas antarkampus ini bisa terjadi dalam berbagai bidang – dari persaingan olahraga hingga hal-hal yang merujuk pada bidang akademis. Persaingan dan permusuhan ini juga dapat tetap berjalan akibat bias in-group dan out-group antarkampus.
Dalam persoalan Covid-19, rivalitas antarkampus juga terjadi. Salah satu fenomena semacam ini terjadi di Inggris antara Imperial College London dan Oxford University.
Perdebatan antara dua kampus ini menjadi perhatian media dan publik Inggris ketika studi prediksi yang dihasilkan keduanya sangat kontras dan berbeda jauh. Bahkan, keduanya kini juga berlomba untuk menghasilkan vaksin Covid-19.
Meski rivalitas terkini dua kampus kelas dunia ini berpusar pada persoalan Covid-19, permusuhan disebut-sebut telah terjadi sejak 20 tahun lalu, yakni pada tahun 1990-an. Bahkan, persoalan rivalitas ini disebut-sebut berasal dari persoalan personal.
Bila rivalitas antarkampus semacam ini bisa terjadi di AS dan Inggris, lantas, mungkinkah rivalitas serupa turut melatarbelakangi polemik obat Covid-19 antara Unair dan UI?
Persaingan antarkampus di Indonesia bisa saja turut mendasari polemik obat Covid-19 baru-baru ini. Pasalnya, UI dan Unair sendiri pernah memiliki garis sejarah yang sama di masa lampau – khususnya Fakultas Kedokteran.
Dalam sejarahnya, keduanya berasal dari Universiteit van Indonesie yang akhirnya berevolusi menjadi dua kampus yang berbeda, yakni Unair di Surabaya dan UI di Jakarta. Bidang kedokteran dua kampus ini – selain beberapa kampus seperti Universitas Gadjah Mada – juga merupakan bidang yang terbaik di Indonesia.
Selain itu, perbedaan mazhab ilmu di antara keduanya bisa juga turut mendasari. Pasalnya, bila diperhatikan, Unair kerap mempromosikan obat dan kesehatan yang bersifat herbal dan tradisional sejak awal pandemi Covid-19 – berbeda dengan UI yang menekankan pada standar prosedur kesehatan tertentu.
Hal ini bisa saja berakar dari sejarah di mana Unair merupakan kampus yang sempat ditunjuk pemerintah untuk menjadi pusat pengembangan pengobatan tradisional dan herbal, serta penelitian terhadap penyakit-penyakit menular.
Lantas, bila rivalitas dua kampus ini benar mendasari polemik obat Covid-19, mungkinkah ada dinamika politik yang turut melatarbelakangi?
Sisi Politik Obat Covid-19?
Sisi politik bisa juga turut melatarbelakangi polemik obat Covid-19 yang ditemukan oleh Unair ini. Hal ini dapat diamati dari keterlibatan beberapa lembaga, seperti BIN dan TNI AD.
Kedua lembaga ini bisa saja berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa aman sebagai lembaga yang bergerak di bidang keamanan. Bisa jadi, temuan obat ini menjadi upaya untuk memenuhi kepentingan national security dari Indonesia sendiri.
Namun, peran BIN sendiri di sini turut dipersoalkan. Pasalnya, beberapa pihak menilai bahwa BIN seharusnya bergerak di belakang layar karena rekan kerja utamanya adalah presiden.
Asumsi ini diutarakan oleh Tangguh Chairil – pengajar Hubungan Internasional di Binus University – dalam tulisan opininya di The Diplomat. Bagi Chairil, upaya unjuk kontribusi oleh lembaga-lembaga ini patut dipertanyakan.
Tidak hanya BIN, Chairil juga menyebutkan peran TNI yang kini malah menjadi pengelola rumah sakit khusus Covid-19 di Kemayoran, Jakarta, dan di Galang, Kepulauan Riau. Padahal, menurutnya, peran militer seharusnya berada pada upaya untuk memastikan suplai, logistik, dan transportasi.
Uniknya, apa yang Chairil soroti adalah sosok yang ada di kursi kepemimpinan lembaga-lembaga ini. BIN, misalnya, dipimpin oleh Budi Gunawan (BG) yang merupakan sosok yang erat dalam politik – khususnya pada Pilpres 2019 lalu ketika mempertemukan Jokowi dan Prabowo Subianto.
Dari sini, bisa saja dipahami bahwa keterlibatan BIN merupakan manuver politik yang dilakukan oleh BG. Pasalnya, BG sendiri merupakan salah satu nama yang pernah disebut dalam bursa calon presiden pada Pilpres 2024 nanti.
Bukan tidak mungkin, dengan nama BIN yang muncul di balik obat Covid-19, BG dapat memperoleh modal politik. Lagi pula, pengakuan (name recognition) juga dapat menjadi modal yang penting.
Pola yang sama juga bisa saja ada di balik dukungan TNI AD di obat Covid-19 milik Unair ini. Kepala Staf TNI AD (KSAD) Andika Perkasa sendiri kerap muncul sebagai salah satu calon yang akan menduduki kursi Panglima TNI setelah Hadi Tjahjanto.
Namun, di sisi lain, kemunculan obat Covid-19 dari Unair juga bisa saja memunculkan persaingan lainnya, yakni vaksin Covid-19 milik Sinovac yang kini tengah dalam proses uji klinis di Jawa Barat. Presiden Jokowi sendiri kerap menekankan pada vaksin Covid-19.
Bila obat ini beredar terlebih dahulu, bukan tidak mungkin vaksin yang dibutuhkan oleh publik juga menjadi lebih sedikit. Mungkin, persaingan politik antara obat dan vaksin ini bisa saja turut mendasari.
BG dan Andika sendiri disebut-sebut memiliki afiliasi politik dengan PDIP. Partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri ini juga tengah memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan Jokowi.
Namun, tentu saja, asumsi gambaran kemungkinan yang telah dijabarkan dalam tulisan ini belum tentu benar adanya. Yang jelas, kepentingan politik tertentu bisa saja mendasari polemik obat Covid-19 milik Unair ini, entah kepentingan siapa yang ada di baliknya. (A43)