HomeNalar PolitikRiuh Politik di Tragedi Bola

Riuh Politik di Tragedi Bola

Tragedi bola yang merenggut nyawa seorang suporter Persija membuat semua orang bersuara, tak terkecuali para politisi.


PinterPolitik.com

[dropcap]D[/dropcap]uka kembali menyelimuti persepakbolaan tanah air. Seorang suporter Persija Jakarta meregang nyawa setelah dihantam bertubi-tubi oleh segelintir pendukung Persib Bandung saat laga Persib melawan Persija beberapa waktu lalu. Tragedi bola semacam ini bukanlah yang pertama kali membuat muram wajah negeri ini.

Kejadian berdarah itu membuat banyak orang bereaksi. Beberapa mengecam dan mengutuk keras tindakan yang merenggut nyawa manusia seperti itu. Reaksi lain yang muncul adalah imbauan untuk menghentikan gelaran Liga Indonesia karena sudah terlalu banyak memakan korban nyawa.

Para politisi termasuk pihak-pihak yang ikut bersuara terkait tragedi bola tersebut. Presiden Joko Widodo hingga penantangnya di Pilpres nanti, Prabowo Subianto termasuk ke dalam politisi yang mengekspresikan kesedihannya terhadap tragedi tersebut.

Sepak bola bukanlah bahasan yang menjadi makanan sehari-hari politisi seperti mereka. Lalu, mengapa mereka harus sampai memberikan pernyataan khusus terkait tragedi bola tersebut? Adakah keuntungan, terutama secara elektoral, melalui pernyataan seperti itu?

Mencari Pengaruh Politik

Tragedi bola, seperti tragedi lain pada umumnya, merupakan hal yang sangat berat untuk dihadapi. Kesedihan, rasa cemas, hingga amarah kerap muncul dari suatu kejadian yang menyebabkan kehilangan yang memilukan. Meski begitu, ada hal lain yang bisa muncul dari sebuah tragedi selain ekspresi-ekpresi itu.

Memang, kejadian yang memilukan kerap kali menyebabkan adanya persatuan, di mana semua orang ramai-ramai mengekspresikan kesedihan dan mengutuk pelaku kejahatannya. Dari situ, segalanya kemudian menanjak dengan begitu cepat. Kolumnis Washington Post, Karen Tumulty menyebut bahwa dalam sebuah tragedi, partai politik seringkali mencari pengaruh.

Fenomena politisasi tragedi ini ditangkap misalnya oleh Daniel W. Drezner, seorang profesor dari Tufts University. Menurutnya ada tren yang membuat politisasi tragedi seperti yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu menjadi hal yang tak terhindarkan.

View this post on Instagram

Kabar meninggalnya anak muda selalu menyesakkan. Hari ini jadi hari duka cita yang amat dalam. Marah, duka dan kecewa! Kekerasan itu menyesakkan. . Seorang anak muda, Haringga Sirila, berangkat jauh untuk mendukung kesebelasan kesayangannya @persijajkt justru jadi korban pengeroyokan dan berujung pada kematian. . Turut berduka cita sedalam-dalamnya kepada keluarga yg ditinggalkan, juga kepada keluarga besar Jakmania. Semoga amal ibadah almarhum diterima oleh Allah, serta diampuni segala dosanya. . Malam ini saya telah berkomunikasi dengan manajemen Persija. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Bandung untuk mengurus pemulangan jenazah. Juga telah berkomunikasi dengan pengurus The Jakmania yang juga dalam perjalanan menuju Bandung bersama keluarga almarhum. Pemprov DKI akan siapkan semua dukungan yg diperlukan untuk memastikan semua pengurusan berjalan dengan cepat dan tuntas. . Saudara-saudara semua, kita memang berduka, kita marah, tapi mari kita tunjukan bahwa kita beradab, kita menjunjung tinggi hukum. . Kita dukung penyelidikan penuh dan penindakan tegas di jalur hukum. Untuk itu kami minta seluruh Jakmania tetap tenang, kita tunjukkan kita adalah pendukung yang bermartabat. . Kita percayakan penyelesaian oleh aparat penegak hukum dan pengadilan terhadap para pelaku untuk mempertanggungjawabkan tindakannya di muka hukum. . Sekali lagi, kita semua turut berduka dan mari kita doakan almarhum, bantu tabahkan keluarga, dukung polisi menuntaskan penyelidikan, serta tetap jaga ketenangan dan kondusivitas. Terima kasih. . *ABW

A post shared by Anies Baswedan (@aniesbaswedan) on

Alasan pertama yang dikemukakan oleh Drezner adalah bahwa sosial media telah menciptakan budaya tidak sabar yang meminta respons cepat dari politisi terhadap suatu situasi. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa adanya polarisasi antara elite dan pengelompokan partisan di antara pemilih, membuat jika politisi merespons tidak dengan pesan partisan, maka mereka dianggap menjadi bagian dari budaya korup.

Oleh karena itu, para politisi yang merespons cepat tragedi hilangnya nyawa di pertandingan sepak bola boleh jadi ada kaitannya dengan perlunya mereka segera menampakkan diri di era media sosial. Jelas, jika politisi tidak segera memberikan pandangan mereka, maka mereka akan segera kehilangan momen penting yang mampu memantik solidaritas nasional tersebut.

Di titik itu, sering kali muncul perdebatan apakah perlu seorang politisi melakukan politisasi terhadap tragedi atau tidak. Perdebatan juga sering kali muncul terkait di sisi mana suatu hal dianggap politisasi dan di sisi mana yang tidak. Terlepas dari kondisi-kondisi tersebut, tampak bahwa sepertinya secara alamiah tragedi kerap memiliki unsur politik dan memiliki pula konsekuensi politik.

Sepak Bola Selalu Politis

Jika politisasi lazim terjadi pada tragedi, maka hal yang sama berlaku pada sepak bola. Olahraga nomor satu di dunia ini memang tergolong sangat empuk untuk jadi santapan politisi karena popularitas dan jumlah penggemarnya yang begitu banyak.

James Carr, Martin Power, dan Stephan Millar bahkan menyebut bahwa sepak bola selalu politis. Jika banyak orang menanggap bahwa sepak bola harus dipisahkan dari politik, kenyataannya hal tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dihindarkan.

Dalam konteks kontemporer, menurut Carr, Power, dan Millar, sepak bola terus-menerus terkait dengan kejadian-kejadian dan simbol-simbol politik. Simbol-simbol seperti bendera Palestina atau bunga poppy sering kali mewarnai kultur sepak bola dunia.

Dalam kadar tertentu, simbol-simbol politik elektoral juga kerap masuk mewarnai sepak bola. Di titik itu, maka sangat wajar jika politisi dan partai politik ingin ikut ambil bagian dalam perkara si kulit bundar, termasuk di Indonesia.

Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa sulit untuk memisahkan adanya infiltrasi politisi yang menggunakan sepak bola untuk menaikkan pencitraan mereka. Berdasarkan kondisi tersebut, geliat kulit bundar tanah air dianggap tidak lepas dari kepentingan politik aktor-aktor di belakangnya.

Secara kuantitatif, massa sepak bola di Indonesia memang tergolong memiliki jumlah signifikan. Sebagai ilustrasi, disebutkan bahwa jumlah pendukung klub Persib Bandung atau Bobotoh mencapai 5,3 juta orang. Jumlah itu tentu saja cukup besar untuk ukuran satu klub saja. Hal ini belum meliputi pendukung-pendukung klub lain dengan massa besar seperti Persija, Arema, atau Persebaya.

Oleh karena itu, penting bagi para politisi untuk dapat mengambil hati kelompok-kelompok suporter ini. Dalam kasus Bobotoh Persib, mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada pernah mendekati mereka untuk memperkuat modal sosialnya jelang Pilwalkot Bandung 2008. Hal serupa juga terjadi pada Ridwan Kamil yang menikmati kedekatannya dengan klub sepak bola itu.

Hal yang sama berlaku untuk rival Persib, Persija Jakarta. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memberikan janji khusus berupa stadion baru untuk menarik perhatian kelompok suporter tersebut.

Mengharap Tuah

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, terlihat sangat jelas mengapa para politisi yang biasanya absen berbicara sepak bola, tiba-tiba harus buka suara. Tragedi bola mampu menyatukan dua unsur sekaligus, yaitu solidaritas nasional dan juga massa sepak bola yang berjumlah besar.

Pecinta sepak bola tanah air merupakan ceruk massa yang sangat menarik untuk diperebutkan para politisi, apalagi para peserta Pemilu 2019. Memberi pernyataan yang tepat terkait tragedi bola bisa saja membuat mereka mendapat limpahan suara cukup signifikan.

tragedi bola

Boleh jadi inilah sebabnya nyaris seluruh politisi, baik dari kamp pemenangan Jokowi-Ma’ruf dan juga Prabowo-Sandiaga, segera mengungkapkan ekspresinya terkait tragedi suporter Persija itu. Boleh jadi ada yang memang tulus ingin memberi simpati pada korban, tetapi bisa saja ada yang memiliki maksud politik elektoral di baliknya.

Jokowi misalnya mengharapkan bahwa jangan sampai fanatisme berlebihan berubah jadi kriminalitas. Di kubu seberang, Prabowo dan Sandiaga sama-sama berharap tidak ada kekerasan dan korban jiwa dalam gelaran olahraga.

Respons lebih ekstrem diungkapkan oleh tim pemenangan masing-masing kubu. Wapres sekaligus Dewan Pengarah tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf, Jusuf Kalla misalnya, menyebut bahwa Persib seharusnya diskors setahun, tetapi tidak dengan keseluruhan liga.

Jika merujuk kepada Drezner, ada beberapa hal yang harus diperhatikan aktor politik agar pernyataan terkait tragedi tidak dianggap sebagai politisasi yang berlebihan. Boleh jadi, jika hal-hal ini tidak dipenuhi, alih-alih mendapat dukungan massa pendukung sepak bola, mereka justru dibenci oleh kelompok pemilih tersebut.

Ada dua hal penting yang bisa diambil dari pendapat Drezner tersebut. Ia menyarankan politisi untuk tidak terburu-buru memberikan pernyataan tentang alasan suatu kejadian sebelum fakta-fakta terkumpul. Drezner juga menyebut agar jangan secara langsung memberikan pernyataan tentang solusi beberapa saat setelah tragedi terjadi.

Politisi yang tak biasa bicara sepakbola tiba-tiba fasih saat membahas tragedi di Bandung beberapa waktu lalu Share on X

Pernyataan Drezner ini boleh jadi ada benarnya. Beberapa politisi dengan cepat menunjukkan jari mereka kepada beberapa pihak seperti kelompok suporter sebagai penyebab kejadian lalu. Beberapa politisi juga dengan terburu-buru memberikan solusi tentang penghentian liga atau pemberian sanksi pengurangan poin atau larangan bermain.

Hal ini tergolong berbahaya jika melihat massa sepak bola Indonesia yang amat besar. Boleh jadi politisi yang buru-buru menuding klub atau kelompok suporter tertentu sebagai biang keladi dari peristiwa tersebut tidak akan mendapatkan dukungan dari para pecinta bola.

Blunder akan bertambah besar jika politisi secara tergesa-gesa meminta penghentian liga atau sanksi lain. Secara spesifik, pernyataan-pernyataan terburu-buru politisi ini kerap ditujukan untuk kubu Persib Bandung –klub yang bermarkas di provinsi lumbung suara tertinggi di Indonesia.

Kubu-kubu koalisi Pilpres bisa saja merugi karena kekurangan suara dari kelompok ini. Padahal, seperti disebut sebelumnnya, jumlah suporter klub berjuluk Maung Bandung itu mencapai 5,3 juta orang yang resmi terdaftar, bahkan jumlah ini bisa jauh lebih besar jika memperhitungkan mereka-mereka yang related atau merasa terhubung dengan klub tersebut.

Selain itu, sebagai satu-satunya klub asal Jawa Barat di liga tertinggi, peluang untuk merengkuh Jawa Barat di Pilpres nanti menjadi lebih berat. Padahal, Jabar kerap dianggap sebagai provinsi kunci karena jumlah pemilihnya yang begitu banyak.

Maka, politisi idealnya bisa lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru sebelum melontarkan pernyataan terkait tragedi bola tersebut. Jika tidak, alih-alih berhasil melakukan politisasi, mereka justru bisa saja dihukum insan pecinta sepak bola di dalam bilik suara. (H33)

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...