Site icon PinterPolitik.com

Risma dan Tuah “Jokowi Kedua”

Risma dan Tuah “Jokowi Kedua”

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini disebut akan diusung oleh PDIP di Pilgub DKI Jakarta 2022 (Foto: Sarahbeekmans)

Pilpres 2024 sepertinya memiliki warna yang berbeda dari Pilpres sebelumnya. Bagaimana tidak, kendati kontestasi elektoral tertinggi tersebut masih jauh, telah berseliweran beragam nama yang diprediksi akan menjadi kandidat. Di kubu PDIP, selaku partai yang tentunya ingin mempertahankan kursi kekuasaannya, muncul nama Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini sebagai sosok terkuat. Namun, mungkinkah Risma akan menjelma menjadi “Jokowi Kedua” bagi partai banteng?


PinterPolitik.com

Narasi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk dijadikan sebagai sosok yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya telah tercium ketika PDIP mempertimbangkan namanya untuk diusung di Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Polanya mirip ketika mengusung Jokowi, di mana Pilgub DKI Jakarta digunakan sebagai “batu loncatan” untuk diusung menjadi RI 1.

Jika Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri ingin mengulang pola tersebut, tentu mudah untuk menyimpulkan bahwa Risma akan diusung oleh partai banteng di Pilgub DKI Jakarta 2022 mendatang. Namun, melakukan kalkulasi politik, nampaknya akan sulit bagi PDIP untuk menjadikan Risma sebagai “Jokowi Kedua”.

Pasalnya, dalam survei Indo Barometer, ditemukan bahwa Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan masih menempatkan diri sebagai Kepala Daerah yang paling populer untuk menjadi capres di Pilpres 2024. Mendapatkan angka sebesar 91,7 persen, skor Anies jauh di atas Risma yang hanya berada di posisi ketiga dengan skor 49,9 persen.

Tidak hanya itu, Anies juga diketahui memiliki basis massa berbagai kelompok Islam yang disebut-sebut setia mendukung mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Dengan demikian, jika Anies kembali maju di Pilgub DKI Jakarta, itu tentu menjadi ganjalan besar bagi Risma untuk menjadi orang nomor satu di Ibu Kota Negara. Tidak hanya karena adanya faktor Anies, konteks majunya Risma sebenarnya juga memiliki perbedaan sewaktu PDIP mengusung Jokowi waktu itu.

Lantas perbedaan apakah yang sekiranya membuat Risma sulit mengulang cerita sukses Jokowi yang menyapu bersih 3 kontestasi elektoral?

Risma dan Politik Mercusuar

Keberhasilan Jokowi dalam memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu, tentu tidak terlepas dari peran media massa yang terus memberitakan keberhasilannya dalam mengembangkan mobil Esemka dan dirinya yang terpilih sebagai Wali Kota terbaik ketiga di dunia versi Yayasan Wali Kota Sedunia (The City Mayors Foundation).

Atas dua prestasi tersebut, media massa kemudian secara tidak langsung berperan sebagai alat elite partai politik untuk mengendalikan opini publik tanpa harus melalui paksaan fisik. Jurnalis asal Amerika Serikat (AS), Walter Lippmann menyebut hal tersebut sebagai manufacture of consent – pembuatan persetujuan – yakni manipulasi opini yang dilakukan agar publik selaras dengan agenda elite.

Konteksnya bukan pada menyebutkan bahwa prestasi Jokowi adalah buatan elite, melainkan menciptakan efek persetujuan di tengah publik bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut adalah sosok yang sangat berprestasi dan menjadi jawaban atas sekelumit persoalan yang ada.

Terlebih lagi, dengan adanya mobil Esemka yang memiliki wujud fisik, itu memenuhi konsep collective unconscious atau alam bawah sadar kolektif dari pencetus psikologi analitis, Carl Gustav Jung. Itu adalah konsep yang menjelaskan bagaimana secara alamiah manusia dapat memiliki kesamaan dalam memaknai suatu simbol (fisik).

Menariknya, collective unconscious terlihat semakin kuat dibangun oleh Jokowi ketika memilih untuk fokus membangun infrastruktur, di mana itu adalah prestasi yang paling mudah untuk diidentifikasi. Terbukti, dengan berbagai tol yang telah dibangun, itu menjadi bukti prestasi kinerja yang menjadi “dagangan kampanye” yang sangat mumpuni sewaktu Pilpres 2019 lalu.

Secara politik, strategi tersebut disebut sebagai “politik mercusuar”, di mana itu pernah dilakukan oleh Soekarno ketika “ngotot” menjadi tuan rumah Asian Games 1962, kendati kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya tidak mumpuni saat itu.

Amin Rahayu dalam tulisannya Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya, menyebutkan bahwa motivasi terbesar Soekarno untuk menjadi tuan rumah adalah untuk menunjukkan Indonesia adalah “bangsa besar” meski baru saja merdeka.

Senada, sejarawan Restu Gunawan juga menyebutkan bahwa Soekarno selalu mengangankan Indonesia menjadi “mercusuar dunia” dengan Jakarta sebagai pusatnya, di mana Asian Games 1962 (keempat) sebagai momen awal pembangunan fisik (Infrastruktur) besar-besaran di Jakarta.

Sebetulnya, Anies Baswedan sendiri juga mulai terlihat menggunakan strategi politik mercusuar yang terlihat dari usahanya dalam menyelenggarakan Formula E di Monas ataupun dengan membangun berbagai Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang instagramable atau memberi porsi besar pada persoalan estetika.

Kini pertanyaannya adalah, apakah Risma telah memiliki prestasi yang dapat begitu diangkat oleh media massa seperti Jokowi? Ataukah ia telah melakukan politik mercusuar yang dapat menciptakan efek collective unconscious yang kuat seperti Jokowi?

Sampai saat ini nama Risma memang telah melambung karena sorotan berbagai media massa terhadapnya dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, merujuk pada survei Indo Barometer, terlihat jelas popularitas Risma sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan berbagai pihak selama ini.

Risma Overrated?

Tidak hanya persoalan popularitasnya yang masih kurang untuk menjadi saingan berat Anies, namun terdapat pula skeptisisme tersendiri terhadap kinerja Risma dari beberapa pihak.

Pasalnya, kendati Surabaya adalah ibu kota dari Jawa Timur, nyatanya kota tersebut tidak mampu menempatkan diri sebagai kota dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)  tertinggi di Jawa Timur ataupun menjadi salah satu yang tertinggi di nasional.

Hal tersebut terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 yang menunjukkan Surabaya berada di posisi ke-16, dengan PDRB sebesar Rp 132,48 juta. Angka itu tertinggal jauh dari kota dari Jawa Timur lainnya, Kediri yang berada di posisi ke-3, dengan PDRB sebesar Rp 291,48 juta.

Keberhasilan Kediri tersebut memang tidak terlepas dari peran Industri tembakau yang masih mendominasi kontribusi PDRB Kediri dengan adanya keberadaan PT Gudang Garam Tbk. Namun, menurut Kepala Bagian Pemerintahan Kota Kediri, Paulus Luhur Budi Prasetya kontribusi perusahaan rokok tersebut telah mengalami tren penurunan seiring dengan lesunya industri rokok.

Menurutnya, salah satu faktor terbesar yang menggerakkan ekonomi Kediri adalah Program Pemberdayaan Masyarakat (Prodamas) yang menciptakan usaha sekunder yang mencapai lebih dari 80 persen, di mana itu adalah yang paling tinggi di Jawa Timur.

Program Prodamas sendiri berhasil dimanfaatkan untuk membentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE), hingga Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang tumbuh subur di Kediri.

Membandingkan dengan Surabaya, terdapat tiga sektor yang memberi kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu perdagangan, hotel dan restoran, serta angkutan/transportasi.

Merujuk pada posisi Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur, ketiga sektor tersebut sebenarnya adalah sektor lumrah dan memang semestinya menjadi sumber pendapatan.

Tidak hanya persoalan ekonomi, terdapat pula persoalan karakter yang sepertinya menjadi ganjalan bagi Risma.

Pasalnya, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tersebut justru membiarkan penghinanya dipolisikan, sekalipun kemudian laporan tersebut telah dicabut oleh Risma. Membandingkan dengan Anies misalnya, terlihat jelas kasus serupa sampai sekarang belum pernah terjadi.

Singkat kata, itu adalah indikasi yang menunjukkan bahwa Risma boleh jadi belum memiliki kesiapan mental untuk menghadapi berbagai “kampanye negatif” ataupun “kampanye gelap” apabila nantinya maju di Pilgub DKI Jakarta 2022 ataupun di Pilpres 2024.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, dengan merangkum berbagai variabel yang ada, Risma sepertinya belum memiliki probabilitas setinggi Jokowi untuk mendulang sukses di Pilgub DKI Jakarta, ataupun Pilpres nantinya.

Akan tetapi, politik bak roda yang berputar. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan Risma selanjutnya di beberapa tahun mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version