Dalam dua bulan terakhir, Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno telah mengganti direksi di lebih dari 5 BUMN. Terbaru, pergantian kepemimpinan di PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan PT Pertamina mendatangkan protes dari banyak pihak. Namun Rini memang sakti, ia tak bergeming!
PinterPolitik.com
“An empty stomach is not a good political adviser.”
– Albert Einstein –
[dropcap]S[/dropcap]osok Rini Soemarno mungkin menjadi salah satu menteri paling kuat di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya dalam 3 tahun terakhir, tak satu pun reshuffle kabinet menyentuh posisi wanita kelahiran Maryland, Amerika Serikat ini, sekalipun kebijakan-kebijakannya dianggap kontroversial oleh banyak pihak. Tak sedikit desakan dan guncangan politik – bahkan juga berasal dari PDIP sebagai partai penguasa – mampu menyingkirkan Rini dari kursi kepemimpinan di Kementerian BUMN.
Kini, kebiasaannya gonta-ganti direksi BUMN kembali disorot. Dalam 2 bulan terakhir, Rini mengubah direksi di beberapa BUMN, mulai dari PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja, PT Asuransi Jiwasraya, Holding Perkebunan (PTPN III), hingga kontroversi pemberhentian dan pengangkatan kembali Dirut PT KAI, serta perombakan direksi PT Pertamina.
Seperti biasa pula, aksi-aksi ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak. Perombakan direksi Pertamina misalnya mendapatkan protes keras dari serikat pekerja di perusahaan tersebut. Bahkan, untuk aksinya di PT KAI dan PTPN III, Rini dituduh melakukan “pembangkangan” terhadap presiden.
Yang lebih sadis Rini Soemarno memberhentikan 3 Direksi Pelindo IV krn mrk melaporkan dirutnya yg diduga melakukan korupsi. Bahkan dugaan korupsi Dirut Pelindo IV terkait dengan pembatalan tender mega proyek Makassar New Port yg akhirnya dimenangkan oleh PT Bumi Karsa
— KorupsiPelindo (@Port_Reform) February 22, 2018
Pengamat politik Lukman Hakim menyebut Rini melanggar ketentuan karena menunjuk dirut PT KAI tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau melalui Tim Penilai Akhir (TPA). Atas aksinya tersebut, Rini dinilai layak untuk dicopot dari jabatannya sebagai menteri. Belakangan, pasca insiden kecelakaan kerja di beberapa proyek infrastruktur, beredar kabar bahwa mantan istri Didik Soewandi itu juga sedang berencana merombak direksi PT Waskita Karya.
Terlepas dari persilangan kepentingan di belakang para penentangnya, kebijakan-kebijakan Rini ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah mantan Presiden Direktur PT Astra Internasional ini memang “sakti” dan begitu berkuasa sehingga tidak mudah digoyahkan dari pucuk kepemimpinan di Kementerian BUMN?
Apalagi, jika menilik ke belakang, begitu banyak persoalan yang terjadi pada BUMN-BUMN – misalnya kasus PT Pelindo II, PT Garuda Indonesia, dan lain-lain – namun tak satu pun yang berdampak pada kekuasaan Rini. Seberapa “sakti” seorang Rini Soemarno?
Rini, Menteri Sakti!
Menjadi seorang Menteri BUMN bukanlah pekerajaan yang bisa dianggap enteng. Pasalnya, jika ditotal dengan semua perusahaan plat merah di bawahnya, aset Kementerian BUMN diperkirakan mencapai Rp 7.035 triliun.
Jumlah ini telah lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2016 yang mencapai Rp 12.406 triliun. Dengan total aset yang demikian, jelas lah bahwa Kementerian BUMN adalah kementerian dengan total aset paling besar, sekaligus menjadikan posisi puncak di kementerian ini sebagai kursi yang punya kuasa.
Hal ini sekaligus juga yang membuat posisi puncak di Kementerian BUMN menjadi kursi yang panas. Namun, dalam 3 tahun terakhir, Rini berhasil mengamankan posisinya tersebut dan tetap menjadi orang nomor satu di Kementerian BUMN.
Padahal, dalam perjalanan kepemimpinannya, terjadi begitu banyak clash of interest atau perbenturan kepentingan dengan berbagai pihak.
Pada tahun 2015 publik disuguhi oleh perbenturan Rini dengan Menteri Koordinator Bidang (Menko) Kemaritiman saat itu, Rizal Ramli terkait kasus PT Pelindo II. Hasilnya? Rizal Ramli dicopot dari posisinya pada reshuffle berikutnya.
Lalu, pada awal tahun 2016 publik disuguhi oleh benturan kepentingan antara dua BUMN besar: PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai buntut dari benturan kepentingan dalam pengelolaan energi panas bumi. Buntutnya, hingga kini hubungan dua BUMN ini masih selalu panas-dingin – pertanyaan lain untuk kepemimpinan Rini.
Kemudian, ada juga konflik yang melibatkan BUMN dengan kementerian lain, misalnya yang terjadi antara PLN dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu dipimpin oleh Sudirman Said, dalam tajuk “perseteruan ayah-anak”. Hasil akhirnya? Pada reshuffle berikutnya, Sudirman Said dicopot dari jabatannya.
Hal yang sama juga terjadi ketika clash of interests terjadi antara Kementerian BUMN dengan Kementerian Perhubungan perihal pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Kyunghoon Kim dalam tulisannya di portal East Asia Forum, menyebut pertentangan antara dua kementerian tersebut mewakili kepentingan negara lain di belakangnya.
Menurutnya, Rini berdiri di belakang kepentingan Tiongkok atas proyek Kereta Api Cepat tersebut, sementara Ignasius Jonan yang menjabat sebagai Menteri Perhubungan berdiri di belakang kepentingan Jepang. Hasil akhirnya? Reshuffle berikutnya Jonan dicopot dari jabatannya – walaupun kemudian mendapatkan kursi sebagai Menteri ESDM.
Sekalipun banyak variabel alasan lain di belakang persoalan-persoalan tersebut, namun pencopotan beberapa menteri yang bertentangan dengan Kementerian BUMN sudah menunjukkan bahwa Rini Mariani Soemarno bukanlah menteri “biasa”. Begitu banyak persoalan yang terjadi di BUMN-BUMN, namun tak satupun yang berpengaruh pada posisi saudari dari mantan Direktur Utama Pertamina dan Petral, Ari Soemarno ini.
Selain itu, Rini juga sempat “berseteru” dengan PDIP, sekalipun awalnya dianggap sebagai orang yang dekat dengan sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri. Beberapa pihak menyebut, perseteruan ini terjadi karena Rini memberikan “jatah” kursi komisaris BUMN lebih banyak kepada relawan-relawan Jokowi yang notabene bukan orang-orang partai.
Rini bahkan sempat “dimusuhi” oleh DPR dan dilarang mengikuti pertemuan-pertemuan dengan lembaga tersebut, sehingga harus digantikan sementara waktu oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Jika persoalan-persoalan ini menimpa menteri lain, sangat besar kemungkinan menteri bersangkutan akan dicopot. Namun, hal itu tidak terjadi pada Rini. Semua pertentangan itu tidak mampu menurunkan Rini dari posisinya sebagai “juragan” BUMN.
Tentu pertanyaannya adalah, mengapa Rini begitu kuat?
Rini dan Hendropriyono: Kesayangan Jokowi?
Ada begitu banyak faktor yang bisa menjelaskan “kesaktian” Rini. Namun, Wahyudi Soeriaatmadja dalam tulisannya untuk portal asal Singapura The Strait Times, menyebut Rini adalah orang yang dekat dan didukung oleh Jenderal Purnawirawan (HOR) A.M. Hendropriyono. Kedekatan ini sudah terlihat ketika Rini ditunjuk menjadi bagian dari tim transisi Jokowi sebelum mantan Gubernur Jakarta itu menjabat sebagai presiden.
Bukan rahasia lagi jika Hendropriyono adalah salah satu mantan jenderal yang mendukung Jokowi dan berperan dalam kemenangan mantan Wali Kota Solo itu pada Pilpres 2014. Hendropriyono juga disebut sebagai pihak yang mendukung posisi Rini dalam tim transisi itu, sekalipun banyak yang mengkritik keputusan tersebut.
Jika benar demikian, maka sangat beralasan mengapa posisi Rini tidak tergoyahkan dalam kabinet Jokowi. Hendropriyono adalah satu bagian dari kekuasaan Jokowi yang ikut mempengaruhi jalannya pemerintahan sang presiden, selain tokoh lain macam Luhut Binsar Pandjaitan, Wiranto, Jusuf Kalla, hingga Megawati Soekarnoputri, yang kesemuanya mewakili kepentingan politik dan bisnis.
Adanya Hendropriyono akan menjadi argumentasi tak terbantahkan mengapa seorang Rini Soemarno tetap bertahan di kabinet, sekalipun berselisih dengan DPR, PDIP, hingga dengan menteri-menteri lainnya. Apalagi, entah kebetulan atau bukan, putra Hendropriyono, Diaz Hendropriyono juga diangkat menjadi Komisaris BUMN PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel).
Bagaimanapun juga, Hendropriyono adalah salah satu purnawirawan militer yang masih punya kekuatan politik yang sangat besar. Jika mendukung penuh Rini, maka sangat mungkin “Bapak Intelijen Indonesia” itulah yang menjadi alasan “kesaktian” sang Menteri BUMN.
Rini juga mungkin masih punya kekuatan lain, misalnya terkait hubungannya dengan pengusaha macam keluarga Soeryadjaya – berbekal latar belakangnya yang pernah duduk di pimpinan perusahaan Astra. Namun, kedekatannya dengan Hendropriyono boleh jadi adalah faktor yang paling utama menunjang posisi politik sang menteri.
Selain karena faktor dukungan Hendropriyono, Rini juga termasuk salah satu menteri yang berada di inner circle Jokowi. Hal itu yang menyebabkan banyak pihak menyebutnya sebagai salah satu “menteri kesayangan” Jokowi. Terlepas dari kapasitas pribadinya, boleh jadi kedekatan dengan Jokowi ini akan membuat posisi Rini aman, setidaknya hingga akhir kekuasaan Jokowi.
Apalagi, Rini disebut-sebut sebagai tokoh utama yang berdiri di belakang para relawan Jokowi. Kebijakannya mengangkat banyak komisaris BUMN dari kalangan relawan Jokowi, juga menjadi salah satu alasan posisinya akan didukung oleh kelompok relawan Jokowi.
Nama-nama barisan relawan Jokowi tersebut, antara lain Fadjroel Rachman yang menjadi Komisaris Adhi Karya, Imam Sugema sebagai Komisaris Utama Perusahaan Gas Negara (PGN), Paiman Rahardjo di posisi Komisaris PGN, Diaz Hendropriyono menjadi Komisaris Telkomsel, Cahaya Dwi Rembulan Sinaga menjadi Komisaris Independen Bank Mandiri, Pataniari Siahaan menjabat sebagai Komisaris Independen BNI, Hilmar Farid menjadi Komisaris PT Krakatau Steel, dan masih banyak lagi.
Dengan barisan relawan Jokowi di belakangnya, Rini tentu punya posisi politik yang kuat untuk bisa bertahan menghadapi gempuran oligarki politik di pemerintahan dan DPR. Ditambah dukungan dari Hendropriyono, maka sepertinya Rini akan menjadi menteri yang untouchable alias tidak akan tersentuh.
Pada akhirnya, Rini akan tetap menjadi bagian dari inner circle Jokowi. Bagi Jokowi, Rini adalah salah satu faktor penunjang kepentingan politiknya, namun bisa juga berpotensi menjatuhkan dirinya, tergantung di mana kaki sang menteri berpijak nantinya. Yang jelas, sebagai salah satu orang yang ikut berperan memenangkan Jokowi di 2014 – seperti kata Albert Einstein di awal tulisan ini – Rini bukanlah orang yang “perutnya kosong”. Bukan begitu? (S13)