Site icon PinterPolitik.com

Rieke “Korban” Strategi Teatrikal PDIP?

Politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka (kiri) diikuti Ketua DPP PDIP Aria Bima (kanan) di kompleks DPR/MPR RI Jakarta.

Politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka (kiri) diikuti Ketua DPP PDIP Aria Bima (kanan) di kompleks DPR/MPR RI Jakarta. (Foto: aktual)

Pencopotan Rieke Diah Pitaloka oleh PDIP dari jabatan esensial di parlemen menuai tanda tanya tersendiri, utamanya terkait soliditas internal partai sampai saat ini. Namun demikian, apakah rotasi partai tersebut hanya bagian dari lanjutan drama untuk mempertahankan citra PDIP sebagai partai penguasa saat ini?


PinterPolitik.com

Manuver partai politik  (parpol) di parlemen selalu menarik perhatian tersendiri. Tidak hanya dari sisi intrik politisnya, tetapi juga dari esensi parpol itu sendiri sebagai pembawa marwah suara rakyat.

Seperti yang sama-sama publik ketahui, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai pemuncak kontestasi pemilu 2019 lalu. Namun demikian, seiring berjalannya roda pemerintahan, baik di ranah legislatif maupun eksekutif, partai berlambang banteng justru dinilai masih jauh dari panggang dalam merepresentasikan kepentingan dan urgensi kebutuhan rakyat.

Hal ini tampaknya mulai disadari internal partai saat dinamika terkini membuat salah satu kader terbaik yang mereka miliki, Rieke Diah Pitaloka, terpaksa didepak dari kursi Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Meskipun belum ada penjelasan rinci mengenai latar belakang pencopotan tersebut selain rotasi jabatan seperti yang disampaikan anggota Baleg dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan, tafsir terkait semakin membesarnya polemik RUU HIP itu sendiri disinyalir menjadi alasan terkuat. Rieke sendiri merupakan Ketua Pantia Kerja (Panja) RUU HIP yang saat ini terpaksa terhenti pembahasannya karena polemik yang agaknya terus menggelinding liar.

Reputasi mantan pemeran Oneng dalam Sitkom Bajaj Bajuri sebagai salah satu kader terbaik partai sendiri tak bisa terbantahkan. Hal ini ia tunjukkan dengan kesuksesan dua periode beruntun membawa dirinya dan PDIP meraup suara masif di pemilu legislatif, serta peran positif dalam lolosnya berbagai regulasi, hingga acapkali tampil merakyat dalam memperjuangkan berbagai kasus seperti kaum buruh dan kasus Baiq Nuril.

Namun intrik kekinian yang mengemuka memunculkan pertanyaan tersendiri terkait ihwal apa yang sebenarnya terjadi dengan PDIP dengan pencopotan Rieke sebagai sosok berkaliber mumpuni dari jabatan strategis tersebut. Serta apakah intrik ini hanyalah seri lanjutan dari berbagai “drama” partai belakangan ini untuk sebuah kepentingan tertentu?

Miskalkulasi Akut?

Tak bisa dipungkiri, PDIP menjadi yang paling disoroti ketika menjadi dalang utama dibalik usulan RUU HIP yang menuai respon minor nan keras dari berbagai elemen karena dianggap “mengusik” Pancasila serta memberikan pemakbulan rangkap jabatan TNI/POLRI aktif dalam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Elizabeth May dalam publikasinya yang berjudul Losing Confidence: Power, Politics, and The Crisis in Canada Democacy menyoroti fenomena implikasi tekanan minor ataupun krisis yang berpotensi besar membuat pemegang kekuasaan maupun entitas pendukungya kehilangan kepercayaan diri.

Hilangnya kepercayaan diri tersebut menurut May disebabkan ketika sebuah manuver dari pemegang kekuasaan ataupun entitas penyokongnya tadi, bersentuhan dengan reaksi negatif publik akibat miskalkulasi politik yang kompleks.

Dalam konteks ini PDIP sebagai pengusul RUU HIP dinilai melakukan miskalkulasi yang seharusnya sejak awal mereka ketahui terkait peluang resistensi akibat poin sensitif yang menyinggung ideologi bangsa dalam kerangka regulasi tersebut.

Respon minor tak semata-mata hanya datang dari masyarakat yang belum membaca dan memahami poin per poin RUU itu saja. Mereka yang memilik akses untuk menganalisa kerangka regulasi itu seperti kalangan praktisi hukum hingga entitas keagamaan pun nyatanya turut bereaksi keras dan mempertanyakan logika hukum Pancasila yang dijadikan dan diolah jadi undang-undang.

Padahal sebagai partai pengusul RUU HIP, PDIP dinilai penuh dengan kader berkaliber mumpuni yang seharusnya dapat membaca situasi dan sensivitas isu, serta respon publik kala mendengar isu yang menyerempet ideologi Pancasila. Terlebih lagi, selama ini PDIP merupakan episentrum perhatian pihak-pihak yang selama ini menuding partai tersebut identik dengan persinggungan ideologi tertentu yang terlarang.

Entah karena disengaja untuk sebuah tujuan spesifik atau memang kesalahan kalkulasi kompleks seperti yang disampaikan May, namun yang jelas, gelagat mulai hilangnya kepercayaan diri PDIP secara organisasi semakin menyeruak ke permukaan seiring terjerembabnya masa depan pembahasan RUU HIP yang berujung intrik di Senayan kala partai menggulingkan salah satu kader terbaiknya, Rieke Diah Pitaloka dari pimpinan Baleg DPR.

Yang menjadi menarik, intrik pencopotan Rieke dari pimpinann Baleg DPR tampak menjadi seri lanjutan dari episode dramatis yang terjadi di internal sekaligus muncul dari kader PDIP pada beberapa dinamika politik yang terjadi di tanah air.

Lantas, benarkah “drama” PDIP dengan berbagai turbulensi internal serta manuver kadernya sendiri pada beberapa kesempatan terakhir yang menyedot perhatian publik memiliki tujuan dan kepentingan tertentu? Jika benar, demi perihal apakah itu?

Taktik Penyelamatan Citra?

Paul Schroeder dalam tulisannya yang berjudul The Future of the GOP: An Organized Hypocrisy melihat sebuah tren sajian hipokrit yang terstruktur oleh Partai Republik di Amerika Serikat (AS) untuk meredam serangan dan komplain atas kebijakan yang dianggap buruk.

Meskipun memang dalam dunia politik dan demokrasi, Dhruba Narayan Ghosh dalam Hypocrisy in Democratic Politics menyebut absennya keberadaan sesuatu yang hipokrit dari para politisi maupun partainya adalah sebuah kemustahilan.

Lebih lanjut, Schroeder menyebut sajian hipokrit yang terstruktur tersebut sebagai organized hipocrisy yang menjadi strategi “kemunafikan” untuk menjaga tujuan otentik partai tetap tak terlihat meskipun seolah ada upaya untuk sedikit menguak tujuan itu sendiri demi menjaga citra dan reputasi partai.

Dalam konteks PDIP, tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa secara organisasi mereka sedang terdesak dengan tekanan dan sentimen minor dari publik ketika kader-kadernya yang ada di pemerintahan cenderung kontraproduktif sehingga baik secara langsung dan tidak langsung dinilai berpengaruh pada citra partai.

Pendongkelan Rieke dari kursi pimpinan Baleg DPR meskipun dikatakan hanya sebagai rotasi biasa, di sisi lain agaknya justru sedikit menyingkap sebuah strategi organized hypocrisy seperti yang dikatakan Schroeder bahwa PDIP sedang berusaha keluar dari tudingan negatif terkait polemik RUU HIP.

Adopsi konsep dramaturgy method atau metode dramaturgi dari Erving Goffman dalam tulisannya yang berjudul Presentation of Self in Everyday Life, dapat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan impresi dari dua panggung yang berbeda yakni, front stage dan back stage, di mana menjadi tempat bagi aktor politik berinteraksi.

Dramaturgy method ini tampaknya terlihat dari beberapa dinamika yang berkaitan dengan PDIP. Sebut saja saat salah satu kadernya yang juga legislator di Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu mengkritik keras kebijakan kolega partainya sendiri yakni Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly terkait adanya dua perwira aktif di lembaganya.

Sebelumnya, Masinton juga mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait jamaknya utang pemerintah, hingga wanti-wanti akan kepentingan oligarki di Istana pada Perppu Corona. Namun demikian, dua kritik tersebut seolah bak angin lalu belaka dan tak ada perubahan positif konkret yang terjadi kemudian.

Belum lagi drama ancaman reshuffle dan pembubaran lembaga oleh Presiden Jokowi yang belakangan ini cenderung terkesan anti klimaks karena tidak ada langkah signifikan dari para anak buahnya serta respon dari Jokowi sendiri yang justru melunak.

Tak ayal dengan landasan dramaturgy method PDIP tersebut, kesan organized hypocrisy tampak memang sedang diperagakan oleh partai untuk melarikan diri dari sentimen negatif publik terhadap partai, yang sayangnya pada sisi berbeda jika dilihat dengan lebih seksama justru menjadi bumerang tersendiri ketika tak tampak perubahan dan perbaikan konkret.

Dan khusus pada kasus pencopotan Rieke dari pimpinan Baleg DPR, dramaturgy method dari sisi back stage seperti yang di sebutkan Goffman juga turut menampilkan kesan bahwa sedang ada yang tidak berjalan dengan semestinya di internal partai, ketika Rieke sebenarnya mendapat dukungan dari putra Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, yakni Prananda Prabowo untuk menggolkan RUU HIP.

Dengan kata lain, berdasarkan konsep organized hypocrisy, pencopotan Rieke dan kesan ketidakharmonisan internal tersebut tak lain dapat menjadi gambaran umum bahwa ending dari hiruk pikuk ini akan mereda dengan sendirinya, yang di sisi lain justru meninggalkan tanda tanya tersendiri terkait apakah tujuan dan kepentingan sesungguhnya di balik dinamika yang ada.

Yang jelas, jika memang organized hipocrisy sedang dilakukan oleh PDIP semata-mata hanya untuk memperbaiki citra partai, cepat atau lambat segala kemudaratan yang ada dinilai akan terlihat jika berkaca dari kurang apiknya sajian strategi tersebut pada berbagai intrik di permukaan yang berkorelasi dengan “serpihan” fakta lainnya terkait dinamika partai. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version