HomeHeadlineRidwan Kamil Pasti Menang di DKI?

Ridwan Kamil Pasti Menang di DKI?

Mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2024 dianggap menjadi pilihan tepat bagi Ridwan Kamil (RK) dibandingkan menjadi calon presiden (capres) ataupun calon wakil presiden (cawapres). Bahkan, RK tampaknya bisa menang mudah. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Meski kerap masuk bursa capres maupun cawapres 2024, peluang Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) dianggap sangat kecil untuk menang, bahkan untuk diusung oleh partai politik. Nasibnya dinilai akan lebih baik jika berani mempromosikan diri sebagai Gubernur di DKI Jakarta.

Rilis terbaru survei Charta Politika, misalnya, menempatkan nama Ridwan Kamil sebagai sosok dengan elektabilitas tertinggi kedua setelah Sandiaga Uno sebagai cawapres.

Sebelumnya, Kang Emil, sapaan akrabnya, beberapa kali juga masuk ke daftar tokoh yang memiliki elektabilitas cukup baik sebagai capres 2024.

Meski begitu, predikat cukup baik masih belum cukup saat elektabilitas RK belum mampu bersaing  dengan tiga nama capres lain yang belakangan semakin mengerucut dalam bursa, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Satu yang menilai peluang RK sangat kecil untuk maju sebagai capres maupun cawapres 2024 adalah Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno.

Menurutnya, posisi cawapres pun masih belum pasti dikarenakan RK masih harus bersaing dengan nama-nama besar lain seperti Sandiaga, Agus Harimurti Yudhoyono, hingga Erick Thohir.

image 83

“Secara elektabilitas, nama Emil bukan the one and only. Masih banyak opsi-opsi lain yang diperhitungkan oleh partai politik (parpol),” tegas Adi.

Serupa, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan bahwa tidak mudah bagi RK untuk diusung oleh parpol, baik sebagai capres maupun cawapres.

Di saat yang sama, Ujang melihat RK justru memiliki kesempatan yang lebih besar apabila ingin kembali maju sebagai orang nomor satu di Jawa Barat untuk periode kedua.

Namun, terdapat satu skenario yang kiranya jauh lebih baik bagi karier politik jangka panjang RK dibandingkan saran Ujang, yaitu dengan mengadu nasib di Jakarta pada 2024 sebagai suksesor Anies.

Lantas, mengapa jalan terjal seolah merintangi RK untuk menjadi RI-1 maupun RI-2 di 2024? Dan seberapa besar peluang Ridwan Kamil di Pilgub DKI Jakarta 2024?

RK Terlalu Pintar?

Hingga detik ini, nama RK hampir selalu ada dalam setiap rilis bursa capres/cawapres 2024 sejumlah lembaga survei. Akan tetapi, berbeda dengan Anies yang misalnya menjadi capres terkuat di Rakernas Partai NasDem, RK belum sekalipun digaungkan oleh parpol manapun.

Inilah yang membedakan RK dengan kandidat lain, yakni ketiadaan kendaraan politik yang benar-benar tampak serius menyokongnya.

Terlebih, jika berbicara cawapres. Preseden Ma’ruf Amin yang menjadi cawapres di detik-detik akhir pada Pilpres 2019, membuat pemilihan kandidat RI-2 seolah kurang begitu memerhatikan elektabilitas dan hal spesifik lain.

image 84

Selain itu, belakangan juga muncul fenomena politik baru di masyarakat yang melihat bahwa kandidat tanpa parpol seolah lebih baik dibanding kandidat yang berasal dari parpol.

Baca juga :  Bahlil "Keterlaluan", Airlangga Dirindukan?

Fenomena itu kerap diistilahkan dengan deparpolisasi. Berbeda dengan orang yang tidak percaya politik yaitu apolitis, saat deparpolisasi terjadi, kepercayaan terhadap politik masih ada.

Akan tetapi, ketidakpercayaan muncul terhadap sistem kepartaian yang dirasa tidak mempunyai efek bagi masyarakat.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan deparpolisasi terjadi antara parpol dan pemilih yang disebabkan oleh dua hal, yakni afeksi psikologis dan rasional.

Deparpolisasi seolah menihilkan peran parpol dalam demokrasi yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia.

Pasca Reformasi, akibat dari deparpolisasi ini, tingkat kedekatan pemilih dengan partai politik merosot tajam. Pemilih semakin sinis terhadap parpol karena tidak menyalurkan kepentingan mereka.

Muaranya, yang dicari pemilih dalam sebuah kontestasi elektoral kerap kali hanya calon pemimpin yang populer dengan elektabilitas yang tinggi.

RK yang notabene bukan berasal dari parpol, mungkin saja dilihat oleh parpol berpotensi menajamkan fenomena deparpolisasi.

Tak hanya itu, sosoknya yang tampak cerdas boleh jadi menimbulkan keengganan parpol untuk mengusungnya karena impresi kurang bisa berkompromi, terutama di level kepemimpinan nasional.

Lalu, jika 2024 bukan waktu yang tepat bagi RK untuk menjadi capres maupun cawapres, apakah titian politik menjadi DKI-1 adalah yang paling ideal baginya?

image 82

RK Menang Telak?

Dalam dunia politik, timing atau momentum menjadi hal yang cukup esensial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dikemukakan, sebagaimana halnya yang dijabarkan Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics.

Menurut Rubio, timing sangat esensial dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.

Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.

Dalam konteks RK, momentum untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta di tahun 2024 kiranya juga dapat dimaksimalkan demi karier politiknya. Mengapa demikian?

Pertama, tahun 2024 dan Jakarta agaknya menjadi momentum dan tempat yang paling tepat bagi batu loncatan karier politik RK. Dengan berkiprah di ibu kota yang merupakan sentral perhatian politik nasional, RK tampaknya bisa mencuri perhatian lebih.

Terutama untuk membangun citra terbaik sebelum mantan Wali Kota Bandung itu naik kelas ke level nasional di tahun 2029.

Kedua, RK masih memiliki panggung politik hingga tahun depan untuk memberikan impresi positif sebelum promosi ke ibu kota.

Ketiga, menjadi Gubernur DKI Jakarta di 2024 juga kiranya dapat menjadi momentum tepat bagi RK untuk memperbanyak modal politiknya.

Terkait hal itu, Kimberly L. Casey dalam Defining Political Capital, menjabarkan bahwa modal politik dapat dipetakan menjadi tujuh modal, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Sementara itu, Richard D. French dalam Political Capital menjabarkan bahwa kalkulasi jangka panjang serta berkesinambungan terhadap modal politik, terutama atas aset-aset potensial yang dimiliki aktor politik menjadi sangat penting.

French mengedepankan pertimbangan variabel siklus ekspektasi khalayak dan siklus pengaruh dalam pertimbangan modal secara politik dari setiap aktor yang ada di dalamnya.

Dibandingkan menjadi capres/cawapres di 2024, RK kiranya memang cenderung lebih tepat untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan modal politik yang ia miliki saat ini.

Dengan latar belakang profesional sebagai arsitek dan perencanaan wilayah perkotaan, RK juga belum lama ini diakui sebagai sosok yang paling mumpuni untuk memimpin ibu kota.

Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) beberapa waktu lalu menyatakan RK sebagai tokoh yang paling memahami isu di Jakarta berdasarkan survei kepada para ahli tata kota. Survei itu sendiri dilakukan CSIS pada 29 Maret hingga 12 April 2022 lalu.

Dia mengalahkan nama-nama lainnya seperti Erick Thohir, Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, hingga Ahmad Sahroni dalam survei CSIS.

Selain itu, mengingat parpol yang bisa saja resisten terhadapnya di level nasional, RK barangkali bisa mulai membangun kepercayaan di level ibu kota dengan sisi lain karakteristiknya, yakni fleksibilitas di hadapan entitas politik.

Ya, dalam Pilgub Jabar 2018, RK menjadi kandidat dengan parpol pengusung terbanyak dengan haluan politik paling beragam. Tercatat ada enam parpol multi-ideologi yang mengusungnya, yaitu Partai NasDem, PPP, PKB, Partai Hanura, PSI, dan Partai Berkarya.

Tak hanya itu, menariknya, survei CSIS yang menasbihkan RK di posisi teratas tokoh paling memahami isu Jakarta tadi dipaparkan di diskusi publik yang digelar Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta pada 22 Agustus lalu.

Dengan pemetaan itu, RK bisa saja menjadi kandidat yang paling banyak diusung parpol pada Pilgub DKI Jakarta 2024. Bukan tidak mungkin dirinya bisa menang telak, terutama saat melihat potensi sosok rival.

Ya, dengan kalkulasi sokongan parpol di atas, praktis RK hanya tinggal berhadapan dengan Ahmad Riza Patria yang santer jadi andalan Partai Gerindra di Pilgub DKI Jakarta 2024.

Partai Golkar yang tampak masih bimbang dengan nihilnya popularitas Bupati Tangerang Ahmed Zaki yang telah diberi amanat partai untuk bertarung di Jakarta, bisa saja berubah haluan dengan menyokong RK.

Pun demikian dengan Partai Demokrat. Ketiadaan kader, jika AHY maju sebagai capres/cawapres mungkin bisa membuat partai bintang mersi juga mendukung RK.

Oleh karena itu, Pilgub DKI Jakarta tampaknya tidak akan kalah pamor dari Pilpres dalam pesta demokrasi dua tahun mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?