Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, publik dan media ramai membicarakan nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Namun, ada nama lain yang tampaknya masih “tersembunyi”, yakni Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK).
“I’m on the right track, baby. I was born this way” – Lady Gaga, “Born This Way” (2011)
Pernahkah kalian merasa bingung soal pilihan makanan yang ingin dikonsumsi. Belum lagi, rasa bingung akan “memanas” ketika diharuskan memilih tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk teman atau pasangan.
Seakan-akan, rasa tanggung jawab untuk memilih jenis makanan yang tepat terletak di bahu – menjadi beban yang berat apabila nantinya teman atau pasangan merasa kurang puas dengan pilihan yang diambil.
Di saat bingung mau makan di mana, biasanya, referensi yang ada di media sosial (medsos) pun menjadi jawaban. Meski begitu, informasi yang ada di platform medsos seperti Google Maps belum tentu selalu menjadi jawaban yang tepat.
Untuk mendapatkan pilihan yang tepat –tempat makan yang nyaman, sepi, dan makanan yang enak, perlu menambahkan satu frasa untuk keyword yang dimasukkan di kolom pencarian medsos seperti Instagram dan TikTok. Frasa itu adalah hidden gem – atau permata yang tersembunyi dalam Bahasa Indonesia.
Dalam berbagai kamus, frasa ini kerap didefinisikan sebagai suatu keindahan yang tersembunyi. Di kamus Wiktionary, misalnya, hidden gem didefinisikan sebagai sesuatu hal yang memiliki nilai atau keindahan yang tidak terlihat secara langsung – yang mana mendapatkan pengakuan lebih sedikit dari yang seharusnya didapatkan.
Meski biasanya frasa ini kerap digunakan untuk restoran, rumah makan, atau tempat wisata yang tersembunyi, frasa “hidden gem” ini juga digunakan untuk beberapa objek bernilai lainnya yang mendapatkan pengakuan minim – mulai dari buku, gim, film, podcast, dan lain sebagainya.
Bukan tidak mungkin, frasa ini juga bisa menggambarkan apa yang terjadi dengan Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil yang hingga kini masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat (Jabar). Bagaimana tidak? Meski sebelumnya kerap muncul di hasil-hasil survei calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) potensial, RK kini semakin jarang dibicarakan.
Publik dan media kini lebih banyak berfokus pada nama-nama bakal capres (bacapres) seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Selain nama-nama itu, publik dan media juga lebih sibuk membicarakan nama-nama bakal cawapres (bacawapres) yang terdiri atas Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa, dan mantan Panglima TNI Jend. (Purn.) Andika Perkasa.
Ke mana kah nama RK pergi? Mungkinkah nama RK kini hanya menjadi “hidden gem” yang semakin tersembunyi? Bila memang kini menjadi sebuah “hidden gem”, mengapa nama RK bisa saja menjadi “gem” yang paling menjanjikan pada pemilihan-pemilihan umum dalam beberapa tahun ke depan?
RK Adalah “Hidden Gem”?
Menjadi hal yang umum bahwa semua orang memiliki bakat dan potensi. Potensi sekecil apapun pasti bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih besar – yang mana akan berujung pada pengakuan di masyarakat.
Jika mengacu pada definisi frasa “hidden gem” di atas, istilah ini kerap dipahami sebagai sebuah nilai atau keindahan yang tidak mendapatkan pengakuan yang sesuai. Bukan tidak mungkin, potensi yang dimiliki oleh tempat, benda, atau orang tersebut belum mendapatkan eksposur yang cukup sehingga tidak mendapatkan pengakuan cukup.
Artinya, potensi itu sudah ada meski belum terekspos. Ketika seorang anak berbakat dalam menari (dance), misalnya, potensi itu bisa dilatih dan dibesarkan menjadi sebuah pengakuan besar – seperti dengan mengikuti acara pencarian bakat yang ditayangkan di saluran televisi nasional.
Analogi yang samapun dapat diterapkan dalam potensi yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Andrea Tredrea dalam tesisnya yang berjudul How to Identify Potential Leaders Internally and Train Them for Success, misalnya, mencoba menjelaskan bagaimana potensi yang dimiliki oleh seorang individu dapat dikembangkan untuk mengisi posisi-posisi eksekutif di sebuah perusahaan.
Mungkin, dalam politik, hal ini bisa diukur dengan konsep modal politik (political capital) yang digunakan oleh Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital dengan menggunakan pendekatan Bordieuan. Menurut Casey, modal apapun – mulai dari modal ekonomi, modal institusional, modal sosial, modal pendidikan, dan sebagainya – yang dimiliki dapat ditransformasikan menjadi modal politik.
Lantas, bagaimana dengan kasus RK? Tentunya, RK memiliki banyak modal – atau potensi – yang cukup untuk diperhitungkan di kontestasi perebutan kursi eksekutif di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebagai mantan Wali Kota Bandung dan Gubernur Jabar, RK memiliki pengalaman yang cukup panjang.
Belum lagi, RK kini juga memiliki modal sosial melalui jejaring kepartaiannya – yang mana kini menjadi bagian dari Partai Golkar. Modal sosial ini secara tidak langsung mendukung latar belakang pendidikannya (credentials) yang begitu panjang.
Boleh jadi, RK merupakan “hidden gem” di antara nama-nama lain di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pasalnya, meski memiliki modal politik dan kerap muncul di berbagai survei bursa capres-cawapres
Namun, dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengapa nama RK seakan-akan tenggelam bila dibandingkan dengan nama kepala daerah – dan mantan kepala daerah – lainnya seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan? Tidak hanya itu, RK pun tampaknya tidak terlalu mengincar posisi capres atau cawapres di Pilpres 2024. Mengapa demikian?
“Pelan-pelan, Pak Ridwan Kamil~”
Seperti yang diketahui, RK dalam sejumlah pernyataannya tampak lebih tertarik untuk berkompetisi di kontestasi eksekutif regional, yakni untuk posisi Gubernur DKI Jakarta atau untuk mengincar jabatan Gubernur Jabar kembali.
Bukan tidak mungkin, keputusan RK untuk mengincar posisi-posisi tersebut adalah keputusan yang strategis. Pasalnya, RK juga perlu mempertimbangkan banyak faktor dalam menjalankan dan mengembangkan ambisi politiknya.
Dalam teori ambisi politik yang dikembangkan oleh Joseph A. Schlesinger dalam bukunya yang berjudul Ambition and Politics: Political Careers in the United States, dijelaskan bahwa politisi yang mengincar posisi atau jabatan tertentu akan melakukan tindakan dan keputusan politik sesuai dengan posisi atau jabatan yang diincar.
Dalam kata lain, bila diaplikasikan secara sederhana di kancah perpolitikan Amerika Serikat (AS), gubernur New York akan bertindak layaknya seorang capres sedangkan gubernur daerah lain – seperti Mississipi dan South Dakota – tidak akan bertindak demikian.
Bila diterjemahkan ke kancah perpolitikan Indonesia, gubernur yang bertindak layaknya seorang capres adalah mereka yang pernah menjabat sebagai gubernur ibu kota, yakni DKI Jakarta, Hal ini terlihat dari beberapa gubernur DKI Jakarta sebelumnya, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Anies Baswedan.
Bisa jadi, RK kini merangkai strategi secara pelan-pelan untuk mengincar stepping stone (batu loncatan) selanjutnya, yakni Gubernur DKI Jakarta. Bukan tidak mungkin, RK akhirnya harus memperhatikan langkah-langkah taktis yang dilakukannya untuk memenuhi ambisinya – bila ingin mencapai jabatan eksekutif tertinggi di Indonesia.
Well, hidden gem juga akan tetap hidden (tersembunyi) bila tetap kurang terlihat (visible) di antara pesaing-pesaingnya. Kunci utamanya adalah dengan menjadi lebih visible di antara para pemangku kepentingan dalam dinamika elektoral – entah itu dengan memperkuat desain interior (baca: modal politik) atau dengan membuat keindahan eksterior dan façade menjadi lebih indah (baca: elektabilitas dan popularitas).
Bila berkaca ke penjelasan Schlesinger, semua ini kembali ke bagaimana RK membangun ambisi politiknya. Seperti Lady Gaga yang begitu percaya akan apa yang dilakukannya dalam kutipan lirik lagu “Born This Way” (2011) di awal tulisan, RK-pun bisa saja percaya bahwa dirinya sudah on the right track alias jalan yang tepat. Bukan begitu, Kang Emil? (A43)