Meski baru terpilih sebagai Gubernur Jabar, nama Ridwan Kamil mulai difavoritkan sebagai capres 2024.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ilkada serentak 2018 telah berakhir dengan segala dinamikanya. Beberapa berakhir dengan air mata, beberapa yang lain berakhir dengan optimisme akan masa depan yang dianggap cerah. Salah satu optimisme disebut-sebut lahir dari Bumi Pasundan, Jawa Barat.
Bagi beberapa orang, hasil Pilgub Jabar 2018 memberikan harapan baru bagi kepemimpinan nasional. Ridwan Kamil, sang gubernur terpilih dianggap sebagai sosok baru yang bisa mengisi kursi RI-1 di 2024. Bagi mereka, ia adalah sosok tepat untuk menjadi capres 2024.
Terlalu dini memang untuk meramal nasib enam tahun yang akan datang. Akan tetapi, kiprah pria yang kerap disapa Emil ini memang tergolong menarik. Kepemimpinannya sebagai Wali Kota Bandung dianggap sebagai angin segar dan membawa banyak kebaruan di Ibu Kota Jabar tersebut. Kini, saat ia terpilih sebagai Gubernur Jabar, ia diharapkan bisa membawa kebaruan tersebut di tingkat provinsi. Tidak hanya itu, ia juga diharapkan bisa membawa perubahan di tingkat nasional sebagai presiden.
Saat ini, ia belum resmi duduk di kursi Jabar-1, tetapi harapan pada dirinya sudah jauh membentang hingga 2024. Mengapa Emil bisa begitu istimewa di mata banyak orang? Apa yang ia tawarkan dalam langkahnya menuju capres 2024?
Diterima Banyak Kalangan
Kehadiran Emil di kancah politik nasional memang menjadi fenomena. Tidak banyak yang berpikir arsitek terkemuka tersebut dapat sukses di dunia politik. Ada beberapa faktor yang membuat suami dari Athalia tersebut dapat mudah berkembang dalam politik.
Salah satu keunggulan Emil adalah kemampuan ia untuk beradaptasi dengan perbedaan. Pengalamannya yang pernah mengembara di negeri orang membuatnya lebih mudah beradaptasi dengan budaya yang berbeda.
Hal ini tampak misalnya dari kepiawaiannya untuk menjalin hubungan dengan kelompok Islam. Dalam berbagai kesempatan, ia kerapkali menunjukkan kemesraan dengan kelompok-kelompok ulama ataupun santri.
Hal paling nyata dari kondisi ini adalah kemauannya untuk mencari pasangan dari golongan tersebut. Pada Pilgub 2018, ia berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum, orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan berasal dari partai Islam, PPP. Saat menjadi Wali Kota Bandung, ia juga didampingi tokoh dari partai Islam yaitu Oded Muhammad Danial yang berasal dari PKS.
Jadi kayaknya nih 2024 kita punya 2 tokoh yg potensial sbg Capres baru, yaitu @ganjarpranowo dan @ridwankamil bersama tokoh lainnya.
Asyekkk ??
Tahun 2024 nanti era Mega, Amien Rais, SBY, Jokowi, Prabowo, JK sudah selesai.
Selamat datang para calon pemimpin baru bangsa ?
— Nadirsyah Hosen (@na_dirs) June 27, 2018
Meski dekat dengan kelompok Islam, Emil juga tidak dijauhi oleh kelompok-kelompok yang lebih sekuler. Dalam beberapa kasus, ia bahkan tidak ragu menunjukkan keberpihakannya pada isu-isu yang dianggap sensitif bagi kaum beragama.
Ada sebuah momen ketika Emil berani pasang badan untuk sebuah pertunjukkan monolog Tan Malaka di kota yang ia pimpin. Pertunjukan tersebut semula hampir batal karena diprotes oleh sekelompok ormas yang tidak senang ada pertunjukan berbau komunis dan sejenisnya. Tindakan tersebut tergolong berisiko dari segi popularitas, tetapi Emil tampak tidak begitu peduli.
Kondisi itu menunjukkan bahwa Emil memang bisa menerima berbagai jenis budaya. Cukup aman untuk mengatakan bahwa Emil adalah sosok yang toleran terhadap perbedaan. Jeffrey Hutton dalam artikel yang ia tulis di South China Morning Post bahkan menyebut Emil adalah harapan bagi toleransi dan pluralisme.
Emil sendiri mengakui bahwa ia memang mengadaptasikan kedua pandangan tersebut dalam karir politiknya. Ia menyebut bahwa politik di negeri ini kerap terbagi menjadi kelompok nasionalis dan Islam. Keseimbangan dari dua unsur itu yang ia coba penuhi dalam mengejar karir politik. Hal itu yang membuat ia cenderung cukup solid dalam membendung isu dari kedua sisi.
Dari sisi itu, Emil dianggap sebagai tokoh baru dalam politik tanah air. Direktur CSIS Philips J. Vermonte menyebut Emil sebagai generasi baru bagi kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, wajar jika ada orang yang segera mendukung Emil sebagai capres 2024.
Pengalaman Internasional
Emil juga dianggap tidak akan sulit membangun pergaulan dengan dunia internasional. Masa mudanya banyak dihabiskan di negeri orang seperti Amerika Serikat (AS) dan juga Hong Kong. Karyanya sebagai arsitek juga dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia.
Saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung, ia juga kerap berusaha membangun hubungan dengan investor dari mancanegara. Tidak hanya kerap menjamu kedatangan tamu dari negeri orang, ia juga kerapkali pergi menjemput bola mengenalkan Kota Bandung ke berbagai negara.
Secara spesifik, almamater Emil di dunia internasional juga tergolong mentereng. Ia mendapatkan gelar master di bidang desain urban dari University of California Berkeley, AS, salah satu institusi pendidikan yang cukup disegani di dunia.
Kondisi-kondisi tersebut dapat membuat Emil tidak akan kesulitan mendapatkan restu dari negara-negara luar negeri. Jika disertai dengan citranya yang toleran dan pluralis, Emil tampak akan lebih mudah bergaul dengan dunia internasional ketimbang kebanyakan politisi negeri ini.
Jika diperhatikan, almamater Emil pernah memiliki sejarah panjang di negeri ini. Di masa Orde Baru, lulusan Berkeley banyak mengisi kabinet di negeri ini. Kampus tersebut menjadi tulang punggung utama tim ekonomi Indonesia di bawah Soeharto. Julukan “Mafia Berkeley” kerap diberikan kepada menteri-menteri tersebut.
Merujuk pada hal itu, kepiawaian alumnus Berkeley merengkuh kekuasaan boleh jadi sudah cukup teruji. Jalur menuju posisi tinggi di negeri ini sudah pernah diberikan oleh para “Mafia Berkeley” tersebut. Oleh karena itu, Emil bisa saja melanjutkan kiprah dan mengembalikan hegemoni alumnus kampus tersebut di pemerintahan negeri ini sebagai capres 2024.
Ikuti Jejak Jokowi
Jika akhirnya Emil mengambil tiket menuju Istana Negara, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut dapat dikatakan memiliki karir politik yang berjenjang. Ia seperti memiliki tahapan khusus dalam karir politiknya, mulai dari wali kota, gubernur, hingga presiden.
Lintasan karir serupa pernah dilakukan petahana orang nomor satu di negeri ini, Joko Widodo (Jokowi). Jokowi merintis karir politik dimulai dengan menjadi Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, dilanjutkan dengan menjadi presiden.
Emil sendiri tidak menampik bahwa Jokowi membuka jalan bagi kesempatan berjenjang seperti itu. Menurutnya, demokrasi saat ini membuka rute baru bagi politisi menuju Istana. Ia menyoroti bahwa dengan bekerja sebagai pimpinan daerah, popularitas lebih mudah diraih sehingga kesuksesan politik dapat lebih terbuka.
Tidak hanya di Indonesia, politik berjenjang seperti itu lazim dilakukan di seluruh dunia. Di negeri Paman Sam misalnya, 18 dari total 44 presidennya pernah mencicipi kursi sebagai gubernur. Secara persentase, jumlah tersebut jadi yang terbanyak dengan 42 persen.
Jika diperkecil lagi perbandingannya, tidak banyak pemimpin dunia yang memiliki keistimewaan karir berjenjang mulai dari wali kota, gubernur, hingga presiden. Di AS, jenjang tersebut hanya dimiliki oleh Grover Cleveland, Calvin Coolidge dan Andrew Johnson.
Tampaknya tokoh2 yang bertarung dalam Pilpres 2024 bakal ramai: ada Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan juga AHY
— Rustam Ibrahim (@RustamIbrahim) June 27, 2018
Hal ini menunjukkan bahwa Emil – dan Jokowi – sebagai wali kota memang memiliki perbedaan khusus yang membuat mereka dapat dianggap mumpuni dari segi kepemimpinan. Sebagaimana disebut Emil, menjadi wali kota tampak menjadi jalur yang paling mudah untuk menunjukkan diri bekerja di depan masyarakat.
Benjamin Barber dalam bukunya If Mayors Ruled the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities menangkap fenomena menanjaknya sosok-sosok wali kota di seluruh dunia. Menurut Barber, mayor atau wali kota akan muncul sebagai kekuatan baru yang menentang negara. Wali kota, menurut Barber, menjalankan pemerintahan secara lebih pragmatis jauh dari tekanan nasional dan internasional. Oleh karena itu mereka memang terlihat lebih fokus bekerja ketimbang mementingkan urusan politik partisan.
Merujuk pada Barber tersebut, Emil bisa saja menjadi sosok penantang serius untuk kepemimpinan nasional. Memimpin sebagai wali kota membuat Emil lebih mudah dicintai karena memang terlihat lebih banyak bekerja.
Kondisi serupa berlaku saat menjadi gubernur. Dalam pandangan Larry J. Sabato, seorang gubernur memiliki pengalaman lebih lengkap untuk menjalankan sebuah pemerintahan. Kondisi ini jelas menguntungkan Emil dalam langkah menuju Istana.
Terlihat bahwa Emil tergolong memiliki atribut cukup lengkap jika ingin maju sebagai capres. Pemikiran terbuka, mampu bergaul di tingkat internasional, dan jenjang politik yang mentereng membuat ia dapat menjadi kandidat yang diperhitungkan di 2024. Oleh karena itu, boleh jadi tidak berlebihan jika ada orang yang sejak dini menggandang Emil sebagai capres 2024. (H33)