Anggota Komisi IX DPR RI yang juga politisi senior PDIP, Ribka Tjiptaning menolak vaksinasi Covid-19 pemerintah dengan sejumlah alasan yang cukup substansial. Lantas, mengapa sikap Ribka itu disampaikan jelang vaksinasi nasional dan telah dimulai hari ini secara simbolis oleh Presiden Jokowi?
Intrik politik yang bergulir di parlemen kembali memantik perhatian publik. Kali ini dengan derajat yang cukup serius, ketika konteksnya terkait dengan vaksinasi Covid-19 yang telah dimulai pemerintah melalui suntikan pertama kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini.
Hulu intrik itu berasal dari suara yang disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning, ketika secara tegas menyebut akan menolak vaksinasi Covid-19 pemerintah.
Hal tersebut Ia utarakan saat kemarin Komisi IX melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito, dan Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir.
Basis argumen yang dikemukakan politisi kawakan PDIP ini pun cukup substansial dan tampak selaras dengan keresahan sebagian kalangan. Khususnya sudut pandang yang kontradiktif dengan optimisme program vaksinasi yang digadang-gadang dapat menjadi game changer pandemi dan dampak turunannya.
Ribka tampak menyuarakan aspirasi keresahan mengenai keamanan vaksin, riwayat potensi minor vaksinasi yang tidak direncanakan dengan matang, sorotan terhadap potensi polemik alokasi sejumlah vaksin dengan banderol yang berbeda-beda di kemudian hari, hingga mewanti-wanti pemerintah jangan sampai terjadi bisnis vaksin Covid-19.
Satu yang juga cukup tegas dan menyita atensi ialah, saat Ribka mengatakan lebih baik membayar denda – yang mulai dan akan diterapkan pemerintah baik daerah maupun pusat – dibandingkan menerima injeksi vaksin tersebut.
Baca juga: Artis, Senjata Pamungkas Vaksinasi Jokowi?
Lantas menjadi cukup mengejutkan dan menimbulkan keheranan ketika kritik dan narasi tersebut berasal dari politisi PDIP sebagai partai politik (parpol) penguasa, yang notabene eksis di balik agenda vaksinasi Covid-19 pemerintah pusat.
Itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan tersendiri, mengapa kiranya Ribka melontarkan narasi yang kadung menjadi konsumsi “memikat” publik yang berpeluang membentuk persepsi tertentu, di saat agenda vaksinasi Covid-19 secara nasional akan berlangsung?
Aspirasi Luhur atau Siasat Khusus?
Beragam reaksi seketika hadir merespons pernyataan dan sikap Ribka yang dinilai cukup mengejutkan. Ada yang sependapat, namun ada pula yang mengkritisi politisi PDIP itu.
Salah satu kritik datang dari influencer dr. Tirta Mandira Gundhi atau yang beken dengan sapaan dr. Tirta. Di akun Twitternya, Ia merasa heran ketika kini Komisi IX menampilkan sikap berbeda, mengingat pada Desember lalu sempat meminta kepada Menkes saat itu agar pejabat yang divaksin terlebih dahulu.
Itulah yang kemudian membuka tafsir bahwa kemungkinan sikap Ribka merupakan bagian dari sebuah drama politik tertentu. Dalam The Dramaturgy of Politics, Richard M. Merelman mengutip konsep dramaturgy atau dramaturgi Erving Goffman – sosiolog terkemuka Amerika Serikat (AS) kelahiran Kanada – dalam konteks politik.
Merelman menjabarkan bahwa dramaturgi memang dapat dilakukan oleh para aktor politik, dalam artian menampilkan sesuatu yang mungkin berbeda di atas panggung berbanding apa yang terjadi di belakang panggung.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana mengelola penyampaian impresi kepada khalayak, yang Merelman sebut sebagai auditor terhadap para representasinya masing-masing di ranah politik.
Manajemen impresi seperti itu dimaksudkan untuk diterima sebagai sesuatu yang truthful atau dapat dipercaya serta kredibel, yang muaranya ialah membentuk atau menyeimbangkan citra positif bagi sang aktor politik maupun kelompoknya.
Kemungkinan dramaturgi itu mungkin saja terjadi dalam hal narasi Ribka, mengingat sejumlah politisi PDIP secara track record kerap terkesan menampilkan hal serupa.
Mulai dari Puan Maharani yang pada 2012 lalu sempat menangis di rapat paripurna pembahasan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berujung walk out PDIP. Hingga kesan drama di balik pencopotan Rieke Diah Pitaloka dari posisi pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR, ditengah kondisi PDIP yang citranya sedang turun akibat polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP), di mana mantan aktris itu menjadi ketua panitia kerja (panja) pembahasannya.
Baca juga: Vaksin Covid-19, Indonesia Proyek Beta?
Belum lagi nama Tri Rismaharini yang tak jarang dengan karakternya terkesan menampilkan drama tersendiri, baik ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, maupun saat menjadi Menteri Sosial (Mensos) dengan blusukannya belakangan ini.
Pada konteks Ribka, dramaturgi politik juga mungkin sedang ditampilkan untuk menyelaraskan sikap PDIP atas sejumlah keresahan ataupun keraguan publik yang memang eksis terhadap vaksinasi Covid-19 pemerintah.
Menyelaraskan dalam artian bahwa, PDIP secara organisasi di kemudian hari bisa saja mengklaim dua impresi berbeda, yakni telah menghadirkan concern terhadap vaksinasi jika memang berujung polemik atau menimbulkan kemudaratan di kemudian hari melalui intrik Ribka.
Dan di sisi lain, PDIP bisa juga mengklaim sebuah kesuksesan ketika program vaksinasi Covid-19 yang disimbolisasikan oleh Jokowi sebagai orang pertama yang divaksin hari ini, akan berjalan lancar ke depannya.
Kecenderungan interpretasi dramaturgi juga tampaknya tak bisa dihindari, saat kritik maupun intrik Ribka juga mungkin hanya akan menguap begitu saja. Karena realitanya, kontrak pengadaan 329 juta dosis vaksin dari sejumlah produsen berbeda, telah difinalisasi oleh pemerintah.
Kendati demikian, tafsiran tersebut hanya satu dari kemungkinan bahwa di sisi lain sesungguhnya Ribka juga dapat pula benar-benar serius dengan sikapnya. Dennis Thompson dalam Political Ethics menjelaskan konsep moralitas politik sebagai praktik yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh politisi dalam menggunakan penilaian moral tentang tindakan maupun sikap politik, dan tak melulu terkait kepentingan pragmatisme politik.
Konteks itulah yang juga kiranya melandasi bahwa yang disampaikan Ribka Tjiptaning dapat berlandaskan moralitas meskipun tampak sangat kontras dengan kebijakan pemerintah di mana partainya sendiri menjadi penguasa.
Dengan latar belakang Ribka sebagai seorang dokter, plus telah malang melintang di sebagai wakil rakyat yang terjun langsung dalam bidang kesehatan masyarakat, pemahaman atas dinamika dan problematika vaksinasi di Indonesia seyogyanya memang secara moral harus Ia sampaikan sebagai aspirasi esensial.
Terlebih bukan kali ini saja Ribka mengkritisi pemerintah, seperti saat dirinya menjadi sosok sentral yang tak sepakat dengan sistem maupun kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Terlepas dari dua interpretasi itu, sikap Ribka telanjur menghiasi pemberitaan dan konsumsi publik. Lantas, dampak seperti apa yang kiranya dapat terjadi nantinya?
Ambiguitas Regulasi
Bagaimanapun, secara langsung maupun tidak langsung, sikap Ribka seolah dapat menciptakan narasi fear mongering atau penciptaan rasa takut tersendiri di masyarakat atas vaksin Covid-19.
Barry Glassner dalam Narrative Techniques of Fear Mongering mengatakan, dari terciptanya culture of fear, politisi, dan pejabat pemerintah dapat menggunakan kecemasan kolektif itu untuk keuntungan tersendiri.
Baca juga: Denda Vaksinasi, Antiklimaks Karier Anies?
Setelah rasa takut itu tercipta, mereka dapat memanfaatkannya untuk berbagai hal seperti kepentingan elektoral, mendulang benefit finansial bagi kampanye tertentu atau tujuan lainnya, maupun mendorong program atau kepentingan lain yang cenderung meningkatkan keuntungan hingga kekuatan koersif negara.
Dengan menjabarkan faktor substansial di balik penolakannya terhadap vaksin Covid-19, Ribka sampai pada postulat tegas bahwa dirinya menyatakan lebih baik membayar denda dibandingkan menerima suntikan vaksin.
Sikap Ribka sendiri tak dapat dilepaskan dari ultimatum pemerintah tentang ancaman denda hingga pidana jika menolak vaksinasi Covid-19. Selain DKI Jakarta yang telah memiliki Perda untuk itu, pemerintah pusat tampak tak mau kalah.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (HAM) Omar Sharif Hariej, yang menyebut bahwa UU Kekarantinaan Kesehatan akan digunakan untuk menindak penolak vaksin dengan denda maupun pidana.
Persoalan ini menjadi terkesan ambigu ketika pemerintah di awal pandemi enggan menggunakan regulasi tersebut.
Hal itu juga seolah menguak bahwa pemerintah tampaknya akan menggunakan justifikasi kewajiban vaksin demi kepentingan luas, dibandingkan hak asasi atas tubuh setiap individu, persis seperti yang dikemukakan ethichist Oxford University, Alberto Giubilini dalam Should the Covid-19 vaccine be mandatory.
Dan pada akhirnya, kecenderungan itu menciptakan kesan yang oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick sebut dalam Law and Society in Transition, sebagai hukum represif.
Kini, muara yang dikhawatirkan dari berbagai tendensi yang ada dan telah tercipta ialah, eksisnya prioritas opsi pembayaran denda demi vaksin yang lebih terjamin efektivitasnya di kalangan masyarakat tertentu.
Dan di saat yang sama, membuka kemungkinan pula bagi permintaan vaksin dengan kualitas terbaik secara eksklusif yang ujungnya ialah komersialisasi vaksin Covid-19. Namun tentu itu bukanlah yang diharapkan untuk terjadi. (J61)
Baca juga: Jokowi Dalam Pusaran Proksi Vaksin?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.