Melihat Prabowo yang akhir-akhir ini tampil tanpa didampingi beberapa partai koalisinya, memunculkan spekulasi, mungkinkah Koalisi Adil dan Makmur tidak lagi berfokus pada kemenangan sang jenderal?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]asca heboh kasus Ratna Sarumpaet, rumor bahwa ketidaksolidan Koalisi Adil dan Makmur Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mulai tampak di permukaan dan semakin kencang berhembus. Pasalnya, hal ini kontras jika dibandingkan dengan Koalisi Indonesia Kerja Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin yang tampak lebih solid. Hal ini terlihat dari kesamaan suara dalam merespons berbagai isu, serta peran representatif partai koalisi yang lebih proaktif dalam kampanye.
Lemahnya Koalisi Adil dan Makmur sebenarnya sudah terbaca sejak lama. Bahkan secara fundamental, koalisi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang bisa dibilang tak kuat. Share on XTerlebih, hasil survei terakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut elektabilitas Prabowo-Sandiaga masih cenderung stagnan dan tak berubah.
Mungkinkah hal ini menandakan tidak bekerjanya partai-partai koalisi sebagai mesin utama dalam mendulang suara di Pemilu? Dan benarkah rumor yang menyebutkan bahwa Prabowo adalah capres yang “lemah” dan hanya dimanfaatkan oleh koalisinya?
Riak-Riak Ketidaksolidan
Lemahnya Koalisi Adil dan Makmur sebenarnya sudah terbaca sejak lama. Bahkan secara fundamental, koalisi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang bisa dibilang tak kuat.
Beberapa indikator cukup menggambarkan kondisi ini, misalnya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kerap tak sepaham bahkan terlihat sering berbeda pandangan terkait beberapa hal. Sejak awal koalisi ini dibangun pun keretakan itu memang sudah sangat nyata di depan mata.
Saya percaya Prabowo tidak haus kekuasaan. Mungkin malah sudah capek jadi capres. Letih.
Yang jadi masalah: orang-orang di sekitarnya lah yang haus. Dan Prabowo lemah terhadap mereka. https://t.co/rFU4yP1xDo
— Poltak Hotradero (@hotradero) October 8, 2018
Dalam kasus mahar politik di balik kesepakatan parpol koalisi pendukung Prabowo yang menjadikan Sandiaga sebagai cawapres misalnya, juru bicara PKS Muhammad Kholid sempat menuntut permintaan maaf dari Partai Demokrat yang dianggap menggulirkan tudingan yang kala itu ramai disebut dengan istilah ”jenderal kardus”.
Ketidaksamaan suara di tubuh Koalisi Adil dan Makmur terus berlanjut saat kesepakatan penetapan wakil gubernur DKI Jakarta pengganti Sandiaga tak kunjung mencapai titik temu.
Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi meminta supaya memperkokoh koalisi menjelang Pilpres 2019, Partai Gerindra sebaiknya memberikan jatah wakil gubernur DKI Jakarta kepada partainya.
Namun, Gerindra justru mengusung Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, M. Taufik sebagai kandidat terkuat untuk posisi kursi DKI-2 itu.
Hal serupa juga terjadi pada Demokrat yang disebut cenderung rapuh dalam dukungannya kepada Prabowo. Kerapuhan ini semakin terkuak lewat survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA baru-baru ini.
Survei itu menyebutkan bahwa Partai Demokrat dinilai memiliki pendukung yang paling tidak militan dan suaranya terpecah di antara keempat partai pendukung lainya dalam koalisi Prabowo.
Peneliti senior LSI Danny JA, Adrian Sopa menyebut pendukung Partai Demokrat yang memilih Prabowo-Sandi hanya 49,4 persen dan yang memilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 33,3 persen. Ini menunjukkan bahwa konstituen Partai Demokrat yang mendukung Jokowi jumlahnya cukup besar – ironis dengan posisi partai yang ada dalam koalisi Prabowo.
Babak baru ketidaksolidan koalisi ini juga terlihat ketika terjadi perbedaan pandangan antara Gerindra dan Demokrat menyoal pertemuan IMF-World Bank. Gerindra dan beberapa politisi oposisi lain secara keras mengkritik event yang disebut menghabiskan anggaran negara di tengah bencana alam.
Padahal, belakangan diketahui bahwa event 3 tahunan tersebut digagas oleh Ketum Partai Demokrat sekaligus Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Konteks ini seolah menampilkan aksi “serang teman sendiri”.
Yang terbaru, ketidakharmonisan hubungan koalisi Demokrat-Gerindra-PKS juga semakin terlihat pada malam Prabowo Subianto menggelar konferensi pers soal kasus Ratna Sarumpaet. Saat itu, ia hanya ditemani Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Djoko Santoso dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais.
Tidak adanya pembelaan dari Demokrat maupun PKS ketika kasus hoaks Ratna terbongkar juga menyiratkan seolah ada jarak yang terjadi antara dua partai itu dengan Prabowo dalam menyikapi kasus tersebut.
Tidak tampaknya Demokrat dan PKS dalam aksi-aksi Prabowo belakangan serta kecenderungan lebih dekatnya sang jenderal dengan PAN, semakin menguatkan sentimen di tubuh koalisi oposisi ini. Pasca pemeriksaan Amien Rais terkait penyebaran kasus hoaks Ratna misalnya, Prabowo bahkan melakukan pembelaan terhadap ulama sekaligus politikus tersebut dengan berjanji akan menurunkan sebanyak 300 advokat.
Lalu bagaimana sebenarnya fenomena ketidaksolidan koalisi ini dijelaskan?
Jika merujuk pada teori koalisi konvensional, ketidaksolidan partai koalisi adalah konsekuensi tidak adanya ikatan ideologis yang kuat yang membentuk koalisi tersebut. Richard Katz dan Peter Mair dalam tulisanya The Cartel Party Thesis: A Restatement mengemukakan bahwa kecenderungan tujuan utama partai-partai melakukan koalisi adalah untuk menjaga kepentingan mereka tanpa mengindahkan kesamaan ideologis dan platform politik, serta hanya untuk melanggengkan kepentingan bersama mereka.
Namun, kesepakatan kepentingan tersebut sepertinya tidak sepenuhnya tercapai dalam koalisi Prabowo Sandi. Hal ini didukung oleh pemikiran John Forbes Nash, ilmuwan peraih nobel ekonomi yang dikenal dengan kosnep Nash Equilibrium.
Konsep ini berprinsip pada asumsi bahwa dalam setiap kegiatan transaksi atau pun negosiasi – dalam konteks ini adalah negosiasi politik dalam sebuah koalisi – pertimbangan untung rugi menjadi aspek yang penting.
Untuk mencapai titik keseimbangan koalisi atau kondisi yang disebut Nash Equilibrium itu, kesepakatan yang ideal tidak harus menguntungkan semua pihak yang terlibat. Yang terpenting dalam pendekatan ini adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat mendapatkan bagian dalam pencapaian kepentingan dan tidak mempermasalahkan berapa banyak kepentingan yang sudah terakomodasi. Jadi dalam hal ini, win-lose condition dapat diterima.
Jika melihat riak-riak konflik dan ketidaksesuaian pandangan yang sering terjadi dalam Koalisi Adil dan Makmur, seolah menunjukkan belum kuatnya konsolidasi dan kesepakatan tujuan bersama antaraktor. Terlihat bahwa setiap aktor koalisi berusaha untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan masing-masing dan menolak adanya prinsip win-lose menurut Nash tersebut. Sehingga tidak pernah terjadi keseimbangan koalisi yang saling menguntungkan yang pada akhirnya merugikan Prabowo sebagai sentral koalisi.
Permainan yang Tak Kooperatif ?
Melihat fenomena-fenomena tersebut, muncul spekulasi, mungkinkah Koalisi Adil dan Makmur memang tidak lagi berfokus pada kemenangan Prabowo?
Faktanya, jika melihat rilis hasil survei terbaru SMRC, tidak ada kenaikan suara secara signifikan terhadap elektabilitas pasangan Prabowo-Sanadiaga. Elektabilitas pasangan ini hanya mencapai 29,8 persen.
Presentase tersebut tidak berbeda jauh dengan survei sebelum-sebelumnya. LSI Denny JA di awal tahun 2018 merilis elektabilitas Prabowo-Sandiaga juga hanya capai 29,5 persen. Sementara hasil survei Poltracking yang dilakukan pada 27 Januari sampai 3 Februari 2018 lalu menempatkan keterpilihan Prabowo pada angka 26,1 persen.
Survei lain dari Cyrus Network yang dilakukan pada 27 Maret hingga 3 April menempatkan keterpilihan Prabowo di angka 21,8 persen. Sementara survei Indikator Politik yang dilakukan pada 25-31 Maret 2018 justru menempatkan elektabilitas Prabowo hanya sebesar 19,2 persen.
Meski ada tren kenaikan elektabilitas dari hasil survei berbagai lembaga tersebut, namun presentasinya tak signifikan. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa tidak ada peran signifikan yang dilakukan oleh koalisi dalam mendongkrak elektabilitas Prabowo-Sandi. Dapat diasumsikan mesin-mesin politik Prabowo-Sandi – dalam konteks ini partai-partai pendukung dalam koalisinya – belum bekerja secara maksimal.
Lalu mungkinkah partai-partai pendukung Prabowo sebenarnya hanya berlomba mengamankan kepentingan elektoral masing-masing di tingkatan legislatif?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dasar pembentukan koalisi antara partai-partai politik adalah pertimbangan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang akan mereka peroleh.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Bingham Powell Jr dalam bukunya Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses tawar-menawar politik jangka pendek dalam sebuah koalisi dituntut untuk jeli melihat peluang dan ancaman dalam Pemilu berikutnya.
Dalam konteks tersebut, menjelang Pilpres 2019, posisi Prabowo sebagai pemimpin koalisi dianggap lemah. Dengan peluang keterpilihan yang kian kecil, partai-partai pengusung Prabowo ini bisa jadi sadar bahwa mereka akan kalah.
Tapi mereka masih memiliki kepentingan memaksimalkan suara Pemilu Legislatif di 2019. Sehingga mereka terkesan tak ingin terlalu fokus untuk pemenangan Pilpres. Karena, kepentingan politik jangka panjang yakni Pilpres 2024 lebih menjanjikan dibandingkan Pilpres tahun depan dengan Jokowi sebagai lawan politik yang seolah tidak terbendung.
Bergabungnya mereka dalam koalisi sangat mungkin hanya untuk memenuhi syarat bertarung di Pilpres 2024, mengingat partai yang tidak mengusung capres-cawapres pada di 2019, tidak diperbolehkan untuk mencalonkan kandidatnya pada Pemilu berikutnya.
Fokus partai pada Pileg juga beralasan mengingat saat ini jumlah partai yang berkontestasi semakin banyak, sementara parliamentary threshold juga telah mencapai 4 persen. Artinya, dengan kondisi Pemilu serentak, partai mau tidak mau harus memprioritaskan nasibnya dahulu, ketimbang capres-cawapres yang ia dukung.
Benalu dan penumpang gelap di balik 02Drama Rusaknya Sanubari menunjukkan bahwa koalisi 02 dipenuhi dengan benalu dan…
Posted by Alto Luger on Monday, October 8, 2018
Pada titik ini, keseimbangan Nash yang telah dijelaskan sebelumnya, pada akhirnya memunculkan sintesis yang disebut Nash Equilibrium Paradox, di mana dalam sebuah permainan, setiap aktor akan selalu menginginkan keuntungan yang paling besar. Pertanyaanya, siapakah pihak yang nantinya akan mendapat keuntungan paling besar dalam koalisi Prabowo-Sandi? Menarik untuk ditunggu. (M39)