Emak-emak disebut-sebut sebagai salah satu kelompok yang paling aktif dalam Pemilu 2019. Bahkan, setelah Pemilu usai, emak-emak tetap aktif mengawasi jalannya proses penghitungan suara.
PinterPolitik.com
“Okay, ladies, now let’s get in formation, ‘cause I slay” – Beyoncé, penyanyi asal Amerika Serikat (AS)
Sebelum Pemilu, berbagai kelompok emak-emak memang aktif menyuarakan keluhan-keluhannya. Barisan Emak-emak Militan (BEM) misalnya, melakukan demonstrasi di depan Istana Merdeka terkait mahalnya harga bahan-bahan pokok.
Berbagai keluhan emak-emak ini tidak luput dari perhatian salah satu paslon dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sandi misalnya cukup sering menggunakan kisah-kisah yang dialami oleh emak-emak yang pernah ditemuinya untuk mengkritik kebijakan pemerintah.
Beberapa kelompok emak-emak pun berakhir menjadi pendukung bagi Prabowo-Sandi, seperti Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi (PEPES). Prabowo sendiri memberikan apresiasi khusus pada gerakan emak-emak pendukungnya dan menyebut kelompok ini sebagai gerakan yang paling militan.
Namun, usainya Pemilu 2019 tidak membuat berbagai kelompok emak-emak mengecilkan suaranya. Aktivisme emak-emak terlihat masih menyala dengan terlaksananya berbagai demonstrasi terkait isu kecurangan dalam penyelenggaran Pemilu 2019.
Perempuan Indonesia Bergerak ,melakukan aksi damai di depan Istana, di Jalan merdeka selatan menuntut keadilan, tolak pemilu curang, dan bentuk tim usut kematian anggota KPPS, semuanya demi NKRI HARGA MATI! #GerakanKedaulatanRakyat @prabowo @sandiuno @fadlizon @Fahrihamzah pic.twitter.com/BhnLSNsFsE
— w u l a n | #PartaiEmakPEPES |Tukang Bubur (@swullll) May 16, 2019
Demonstrasi yang terjadi di depan Istana Merdeka beberapa waktu lalu misalnya, diinisiasi oleh 200 perempuan berpakaian serba hitam yang menamai dirinya sebagai Perempuan Indonesia Bergerak (PIB). Aksi tersebut ditujukan untuk menolak hasil penghitungan dan sistem hitung (Situng) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain PIB, beberapa kelompok emak-emak lainnya turut turun ke jalan guna menyuarakan penolakan terhadap kecurangan Pemilu 2019. Aliansi Mak-mak Tolak Pemilu Curang misalnya, melakukan demonstrasi di depan KPU untuk menuntut pelaksanaan Pemilu yang adil.
Faktanya, di beberapa negara, gerakan emak-emak pernah menjadi tonggak sejarah yang lebih besar, terutama ketika isu yang diangkat benar-benar merepresentasikan kegelisahan di kelompok gender tersebut.
Dengan melihat gigihnya aktivisme emak-emak dalam mengawasi proses penyelenggaraan penghitungan suara pasca-Pemilu 2019, pertanyaannya adalah apakah mungkin gerakan emak-emak ini mampu membawa perubahan di tengah-tengah polemik dugaan kecurangan?
Menuju Revolusi Emak-emak?
Dalam sejarah, gerakan emak-emak memiliki peran dalam peristiwa-peristiwa penting di berbagai negara. Bahkan, gerakan-gerakan yang awalnya didasari pada peran perempuan sebagai ibu rumah tangga juga dapat membawa perubahan besar.
Revolusi Prancis misalnya, disebut-sebut sebagai peristiwa dan perubahan penting bagi gelombang kebebasan dan kemerdekaan di berbagai belahan dunia. Revolusi ini disebut-sebut berhasil akibat gerakan kelompok muda yang, menurut Nicolas Déplanche dalam tulisannya yang berjudul “From Young People to Young Citizen,” dikucilkan oleh pemerintah negaranya.
Namun, di balik peristiwa besar itu, terdapat peran kelompok emak-emak yang menjadi momen penting dalam sejarah revolusi tersebut. David Garrioch dalam tulisannya yang berjudul “The Everyday Lives of Parisian Women and the October Days of 1789” menjelaskan bahwa kelompok perempuan yang berisikan penjual ikan dan buah di pasar bergerak untuk menduduki Istana Versailles.
Garrioch menjelaskan bahwa protes kelompok perempuan ini didorong oleh kesadaran politiknya atas kondisi yang terjadi, yaitu krisis ekonomi dan krisis pangan. Protes tersebut pun menjadi tepat sasaran karena keluarga kerajaan pada saat itu memiliki koneksi yang erat dalam industri perdagangan gandum.
Garrioch juga menjelaskan bahwa protes dari kelompok perempuan tersebut memiliki legitimasi yang tepat karena adanya pemahaman bahwa isu krisis pangan lebih menjadi domain perempuan dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, perempuan lebih merasa punya tanggung jawab untuk bertindak terkait krisis pangan.
Protes sosial oleh perempuan yang dimulai dari permasalahan pangan dan papan pada tingkat akar rumput dapat menjadi percikan bagi revolusi. Share on XPara demonstran perempuan ini akhirnya berhasil masuk ke Istana Versailles dan meminta Raja Louis XVI dan keluarganya untuk memindahkan pemerintahan monarki kembali ke Paris. David Mountain menjelaskan bahwa dengan persetujuan sang raja untuk pergi ke Paris, ia sama saja menyerah pada keinginan revolusi warga Paris.
Peristiwa tersebut pun menjadi salah satu kemenangan besar bagi Revolusi Prancis. Protes atas krisis pangan pun tetap berlanjut di Paris pada tahun 1793 hingga membentuk kelompok yang bernama Société Républicaines-Révolutionnaires untuk turut berjuang dalam Revolusi.
Perjuangan perempuan dalam revolusi tersebut juga mirip dengan apa yang dilakukan kelompok emak-emak di Jepang pada beberapa dekade lalu. Di negara berlambangkan matahari tersebut, terdapat Asosiasi Ibu-ibu Rumah Tangga Jepang yang secara aktif menyuarakan suara emak-emak terkait keamanan produk pangan, polusi industri, pajak, dan kesehatan anak-anak.
Biasanya asosiasi tersebut menyuarakan protesnya pada perusahaan-perusahaan produk pangan. Namun, pada tahun 1989, asosiasi tersebut memiliki keinginan politik lain, yaitu menurunkan Perdana Menteri (PM) Jepang Sōsuke Uno.
Keinginan politik asosiasi tersebut dimulai dengan adanya skandal perselingkuhan sang PM yang disebut-sebut membayar seorang geisha untuk layanannya. Protes pun banyak dilayangkan oleh kelompok-kelompok perempuan di berbagai daerah, seperti di Okoyama dan Hiroshima, dan banyak diberitakan oleh media.
Pada saat itu, ketidakpercayaan masyarakat Jepang terhadap pemerintah juga sedang tinggi akibat adanya skandal dari PM sebelumnya. Akhirnya, guna menghindari kontroversi berlebih, Sōsuke Uno memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Jika melihat apa yang terjadi di Prancis dan Jepang, apakah mungkin gerakan emak-emak di Indonesia mampu melakukan hal serupa? Apakah gelombang perubahan akan terjadi terkait isu kecurangan Pemilu 2019?
Perjuangan perempuan dalam Revolusi Prancis dan jatuhnya PM Jepang Sōsuke Uno ini sejalan dengan penjelasan Guida West dan Rhoda Lois Blumberg dalam buku yang berjudul Women and Social Protest. West dan Blumberg menuliskan bahwa protes sosial yang dimulai dari permasalahan pangan dan papan pada tingkat akar rumput dapat menjadi percikan bagi revolusi.
Tentunya, gerakan emak-emak Indonesia dalam konteks Pemilu 2019 juga berawal dari keluhan-keluhan terkait pangan. Jika mengacu pada penjelasan West dan Blumberg, serta melihat pada apa yang terjadi di Prancis dan Jepang sebelumnya, bukan tidak mungkin gerakan emak-emak Indonesia bisa memberikan kontribusi penting bagi revolusi dan perubahan.
Percikan gerakan perempuan di Indonesia juga sudah terlihat dari berbagai aksi kelompok emak-emak yang menuntut pihak-pihak penyelenggara Pemilu 2019 untuk menjalankan proses-proses yang jujur dan adil. Mungkin, tidak salah apa yang dikatakan Prabowo. Gerakan tahun ini bisa jadi merupakan gerakan milik emak-emak.
Politisasi Emak-emak?
Dalam konteks Pilpres 2019, emak-emak memang banyak tampil dalam menunjukkan dukungan politiknya. Jika PEPES tampil untuk mendukung Prabowo-Sandi, terdapat juga kelompok emak-emak lainnya yang mendukung kubu Joko “Jokowi” Widodo-Ma’ruf Amin, yaitu Emak Militan Jokowi.
Beberapa politisi juga sering menyatut dan menyinggung emak-emak dalam pernyataan dan retorika politiknya. Selain Prabowo dan Sandi, Ketum PAN Zulkifli Hasan juga menggunakan istilah “emak-emak” untuk mengkritik pemerintahan Jokowi.
Berbeda dengan koalisi Prabowo-Sandi yang lebih sering menggunakan istilah “emak-emak,” Jokowi sempat lebih memilih menggunakan istilah “ibu bangsa” untuk menyebut perjuangan dan kiprah perempuan dalam pembangunan Indonesia. Sebutan itu timbul akibat dari penolakan Ketua Kongres Wanita Indonesia Giwo Rubianto Wiyogo terhadap istilah “emak-emak.”
Selain itu, bila kita perhatikan kembali, beberapa kelompok dan gerakan emak-emak digerakkan oleh para politisi sendiri. Aksi PIB di Istana Merdeka misalnya, dipimpin dan dikoordinasi oleh seorang politisi, yaitu Monica Armi Soraya. Perempuan yang aktif terlibat dalam organisasi Bidadari Indonesia – sebelumnya Bidadari Anies-Sandi – merupakan caleg Gerindra dari Jakarta Barat.
Dengan ramainya pelibatan entitas emak-emak oleh para politisi, berbagai pertanyaan timbul terkait apakah suara emak-emak hanya menjadi korban politisasi atau murni aspirasi dari tingkat terbawah?
Hurriyah, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pencatutan dan pelibatan emak-emak dalam pernyataan dan retorika politisi adalah upaya para kandidat untuk memperoleh suara dari kelompok perempuan. Perempuan dapat menjadi lumbung suara yang penting karena jumlahnya yang cukup besar dan karakter perempuan yang dinilai lebih loyal.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Dyah Ayu Kartika dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dalam tulisannya di New Mandala, kampanye politik para politisi masih berfokus pada peran dominan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dianggap malah menenggelamkan aktivisme perempuan yang mendorong kebebasan individu bagi perempuan Indonesia.
Kartika menjelaskan bahwa pola pikir patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai orang tua dan ibu rumah tangga membuat identitas perempuan-perempuan Indonesia melekat pada individu-individu lain, yaitu suami dan anak-anaknya. Permasalahan-permasalahan perempuan lainnya yang krusial – seperti perlindungan dari kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan kesetaraan gender – pada akhirnya menjadi terabaikan.
Meskipun begitu, pelibatan perempuan dalam kontestasi politik ini bagaimanapun dapat menjadi hal yang menguntungkan bagi kepentingan perempuan terkait ekonomi. Dengan pelibatan ini, seperti yang dijelaskan Paul Chaney dalam tulisannya yang berjudul “The Substantive Representation of Women,” perwakilan perempuan secara substantif dapat meningkatkan perhatian terhadap isu perempuan.
Optimisme yang senada juga dituliskan oleh Febriana Firdaus di The Interpreter. Firdaus menjelaskan bahwa setidaknya perempuan Indonesia kini dapat menikmati kekuatannya dalam memengaruh publik yang disertai dengan posisi-posisi strategis yang dipegang.Sebab, seperti yang dinyanyikan oleh sang diva Beyoncé, para perempuan memang perlu bergerak dalam satu formasi. Dengan begitu, gerakan perempuan akan menjadi lebih kuat dalam menyuarakan kepentingan perempuan, bukan begitu? (A43)