Revolusi mental yang didengungkan pemerintahan Jokowi sejak Pilpres 2014 dinilai belum maksimal. Revolusi tersebut diklaim sebagai ‘adopsi’ atas revolusi mental di zaman Soekarno. Benarkah demikian? Lalu masihkah relevan di masa kini?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]G[/dropcap]erakan revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo untuk mengatasi berbagai persoalan mentalitas, karakter dan kepribadian bangsa Indonesia terus menuai kritik. Kritikan itu datang dari Fadly Zon dan Fahri Hamzah yang memang dikenal sebagai ‘tukang kritik pemerintah’. Fadly Zon mengklaim gagasan revolusi mental Jokowi berakar dari tradisi paham komunis. Sementara itu, Fahri Hamzah menilai revolusi mental belum terealisasi karena belum ada kejelasan visi dari program ini. Menyimak penggalan pernyataan-pernyataan ini, apakah betul revolusi mental di era Jokowi belum berhasil dan apakah benar ada keterkaitan dengan ideologi komunisme?
Bukan Revolusi tapi Degradasi
Transisi Kekuasaan pasca orde baru saat itu, dilihat sebagai harapan baru untuk menghantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, sejauh ini masih belum menampakkan perubahan yang berarti. Kasus-kasus hukum seperti mega korupsi e-KTP dan BLBI yang hingga kini belum kelar, pelarangan mendirikan gereja di daerah Ciledug dan Bekasi, berbagai aksi main hakim sendiri, atau kasus suap yang melibatkan para petinggi negara menjadi bukti bahwa revolusi mental belum berjalan maksimal, justru makin terdegradasi dan berpotensi memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, perekonomian Indonesia belum bisa dikatakan mandiri karena masih dipengaruhi kepentingan pihak asing. Tengok saja kegiatan tambang Freeport dan pembangunan MRT hingga akitvitas ekspor gula dan garam. Ini merupakan borok yang telah menggerogoti sistem demokrasi Indonesia dan perlu diobati secara intensif melalui kerja sama antara pemerintah, elit politik, para akademisi dan masyarakat umum. Kita memang membutuhkan perubahan, tapi apakah harus lewat revolusi mental? Lantas dari mana muncul gagasan tentang revolusi mental tersebut?
Revolusi : Upaya Menolak ‘Lupa’
Revolusi mental Indonesia muncul pertama kali di era Soekarno. Gagasan ini mulai tampil ke permukaan pada tahun 1957 dan terangkum dalam konsep Trisakti yang mengandung makna berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Konsep ini secara politis dilihat sebagai jalan tengah Soekarno untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh kapitalisme dan liberalisme yang dihembuskan Amerika dan Eropa kala itu.
Makna berdaulat dalam politik berkaitan dengan upaya mengembalikan kedaulatan dan martabat Indonesia di kancah international sehingga dapat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang menguntungkan dengan negara-negara industri besar. Sementara itu, maksud mandiri dalam ekonomi mengandung pengertian bahwa pemerintah harus cerdik mengelola kekayaan alam Indonesia agar mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Maka, tidak mengherankan bila di zaman itu Soekarno menolak kehadiran pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia karena ia tahu imbasnya pasti akan merugikan masyarakat.
Mengenai makna berkepribadian dalam budaya memiliki tujuan untuk melawan sifat ‘lupa’ yang telah akut dalam sanubari rakyat Indonesia. Ini menjadi salah satu cara untuk menyadarkan bangsa Indonesia akan jati dirinya sebagai bangsa besar dan kaya akan keanekaragaman suku, budaya dan bahasa yang terangkum dalam konsep wawasan nusantara.
Visi Soekarno untuk melakukan perubahan di masa itu berbenturan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang baru saja merdeka. Hal ini diakui Soekarno sebagai sesuatu yang tak mudah, sebab memperbaiki kerusakan mental dan moral lebih sukar daripada memperbaiki kerusakan material serta butuh waktu yang tak singkat. Dengan demikian, salah satu cara melakukan revolusi adalah upaya untuk menolak ‘lupa’. Menolak lupa akan jati diri, lupa akan sejarah dan ciri khas bangsa yang bercirikan welas asih dan gotong royong.
Mati Suri di era Orde Baru dan Reformasi
Memasuki masa orde baru makna revolusi mental malah menjadi absurd bahkan ‘sengaja’ dilupakan karena ‘diadudombakan’ dengan konsep Nasakom milik Soekarno yang bermuatan komunis. Paham komunis dalam Nasakom dipakai sebagai propaganda untuk menggulingkan Soekarno. Tentu saja, ini strategi kaum kapitalis asing di masa itu untuk bisa masuk mengeruk isi bumi Indonesia. Kemunculan para kaum kapitalis inilah yang diklaim sebagai cikal bakal kemunduran bagi sistem pemerintahan dan perekonomian Indonesia. Dengan demikian, gagasan revolusi mental yang begitu ‘jemawa’ di era Soekarno ‘mati suri’ sebelum direalisasikan.
Sementara itu, di masa reformasi justru lebih parah lagi. Revolusi mental malah terlupakan. Pemerintah masa itu hanya fokus pada amandemen UUD 1945 dan sejumlah peraturan lain, namun mengabaikan aktualisasinya dalam kehidupan bersama. Hal ini tentu saja belum cukup mampu mengeluarkan Indonesia dari masalah ketimpangan, baik di sektor ekonomi maupun pemerintahan.
Masa reformasi diklaim belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik Indonesia, justru masih menyimpan ‘warisan busuk’ dari masa orde baru, seperti korupsi, budaya intoleransi, diskriminasi hingga pelanggaran HAM. Gagasan revolusi mental justru baru dikemukakan kembali pada masa pemerintahan Jokowi.
Kembali Bergaung di Era Jokowi
Di era Jokowi, gagasan revolusi mental kembali bergaung. Gagasan ini dirangkum dalam konsep Nawacita yang menjadi bagian dari kampanye dalam pencalonan sebagai presiden pada tahun 2014 silam. Jokowi diduga ‘mencontek’ konsep Trisakti di era Soekarno yang kala itu masih dipengaruhi konsep Nasakom. Benarkah demikian?
Sebelum menentukan relevansi antara revolusi di zaman Soekarno dan di masa kini, kita perlu mengurai persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini. Kita sebenarnya tengah berhadapan dengan model penjajahan baru yakni neokolonialisme, imperialisme hingga neoliberalisme. Berbeda dengan penjajahan di era Soekarno yang menuntut ada penguasaan langsung, skema penjajahan di masa kini menggunakan cara halus dengan memberikan tekanan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Dalam hal ini peranan media informasi sangat vital untuk mempengaruhi mindset (pola pikir), attitude (sikap) dan life style (gaya hidup) masyarakat. Tak hanya itu, penerapan demokrasi di masa kini juga cenderung bias dan tak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena ada campur tangan pihak asing dalam sistem perekonomian hingga pemerintahan di Indonesia. Itulah persoalan pokok Indonesia saat ini. Konteks dan persoalannya jauh berbeda dengan era Soekarno bukan? Lalu masihkah revolusi mental-nya Soekarno relevan dengan situasi saat ini?
Melihat dari waktu, situasi, hingga problemnya saja jelas berbeda. Maka, bisa dikatakan konsep Trisakti Soekarno tidak lagi tepat untuk masa kini. Hal ini disebabkan karena telah timbul ‘gap’ tak kasat mata sejak masa Soeharto hingga kini. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk berdamai dengan masa lalu. Sejarah bangsa ini perlu diungkapkan secara jujur dan terbuka kepada publik yakni melalui pendidikan di sekolah, terutama mengenai sejarah antara rezim orde lama dan orde baru. Hal ini menjadi aksi untuk melawan ‘lupa’ dan sekaligus upaya mengembalikan ‘jati diri’ bangsa yang selama ini telah dicemari oleh berbagai paham asing yang tak khas Indonesia.
Memang saat ini, aktualisasi dari konsep Nawacita belum berjalan maksimal. Akan tetapi, kita tak bisa menuduh pemerintah gagal. Ada bukti bahwa gagasan Nawacita sedang berproses menuju arah yang baik. Hal ini dapat dilihat pada bidang pertahanan keamanan yang cukup sukses meredam terorisme, gerakan separatis dan radikalisme. Di bidang infrastruktur, pemerintah juga membuka akses jalan tol lintas Sumatera dan lintas Papua, mengadakan listrik di daerah Ambon hingga Papua sebagai upaya untuk penyamarataan pembangunan wilayah timur dan barat. Di bidang pendidikan, memberikan bantuan beasiswa bidikmisi kepada putra-putri daerah sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian, sikap menuduh pemerintah gagal adalah sesuatu yang terburu-buru. Apalagi dengan seenaknya mengklaim revolusi Jokowi meniru revolusi Soekarno dan lebih celaka lagi bila mengidentikkan revolusi mental Jokowi dengan komunisme, bukankah ini adalah dua hal yang jauh berbeda? Maka, pemerintah dan masyarakat perlu menguak kebenaran sejarah bangsa agar kelak tak menyesatkan generasi yang akan datang. Kita harus berani melawan ‘lupa’ dan bersedia untuk menjadi agen perubahan sebab tugas membangun bangsa ini bukan hanya tugas pemerintah semata. Bukankah demikian? Bagaimana menurut anda? (dari berbagai sumber/K-32)