Usulan revisi UU TNI yang masih dalam pembahasan internal Cilangkap namun kadung beredar belakangan menuai polemik. Dua di antaranya dikarenakan usulan yang datang dari Mabes TNI seolah menggambarkan bahwa institusi kebanggaan rakyat itu ingin mempertegas kedudukannya serta hendak meminta kewenangan langsung dalam pengelolaan institusi, khususnya anggaran. Lantas, mengapa impresi itu bisa terjadi?
Proses revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai polemik setelah draf yang beredar memuat beberapa poin yang memantik perdebatan.
Beberapa di antaranya adalah kesan ingin mempertegas kedudukannya yang enggan diperlakukan lagi sebagai subordinat dari sejumlah aspek seperti anggaran, payung hukum, dan hal lain yang bersifat birokrasi.
Poin itu turut menjadi sorotan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta).
Secara spesifik, koalisi mengajukan enam poin kritik. Pertama, usulan mengenai perluasan fungsi TNI dinilai dapat membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai sebagai ancaman keamanan negara.
Kedua, kesan meminimalisir komando Presiden atas TNI dianggap berbahaya karena melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis. Padahal, kewenangan Presiden telah diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
Ketiga, mempermudah serta perluasan dan penambahan jenis dari 14 menjadi 19 Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dinilai akan merenggut kontrol DPR.

Keempat, terlepas dari eksistensi aspek yang beririsan maupun yang dianggap tak relevan, penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 18 kementerian/lembaga berpotensi melemahkan profesionalisme TNI yang hakikatnya dididik untuk berperang.
Kelima, terdapat klausul yang dinilai dapat memberikan impunitas bagi prajurit TNI saat berhadapan dengan pidana umum.
Terakhir, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan) juga turut disorot karena TNI dianggap memiliki keleluasaan pengelolaan anggaran yang berpotensi minim akuntabilitas.
Merespons polemik yang muncul, Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menyebut usulan itu masih dibahas di internal dan belum mendapat persetujuan Panglima TNI.
Terbaru, Menhan Prabowo Subianto juga turut bersuara dan menyiratkan bahwa revisi UU TNI belum dibutuhkan saat ini karena masih relevan.
Namun, sekali lagi, satu poin menarik adalah ikhtisar dari polemik yang muncul seolah menggambarkan inisiatif tertentu dari TNI untuk terlibat lebih aktif dan terlepas dari birokrasi dalam menentukan posturnya sendiri.
Di sisi lain, politisasi TNI juga menjadi rawan terjadi saat perluasan posisi di kementerian/lembaga dan OMSP, misalnya, hanya berdasarkan pertimbangan presiden.
Jika hal itu benar, tentu satu pertanyaan sederhana mengemuka, yakni mengapa TNI seolah berusaha terlepas dari subordinat birokrasi saat ini, terutama di tengah proses kontestasi politik 2024?
TNI, Jangan Khawatir?
Jika dirunut waktu peristiwanya, kemunculan polemik revisi UU TNI seakan saling berkelindan dengan satu ekspresi menarik dari Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo.
Dalam sebuah kolom tulisan berjudul Etika Menuju 2024 yang dipublikasikan Kompas.com pada 10 April 2023 lalu, Mayjen Kunto menyinggung kemungkinan TNI untuk sedikit maju mengambil posisi โ demi pertahanan dan keamanan Indonesia โ setelah menyoroti kondisi mengkhawatirkan perpolitikan tanah air belakangan ini.
Menariknya, terlepas dari korelasi langsung atau tidak dengan postulat Mayjen Kunto, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono setelahnya mengingatkan agar kejadian perang saudara (konflik militer dengan paramiliter) yang terjadi di Sudan tidak terjadi di tanah air.

Konteksnya, Panglima TNI memerintahkan agar para komandan satuan TNI harus bertanggungjawab atas amanah yang diberikan dengan risiko apapun.
Kendati tampak tak memiliki irisan secara kasat mata, runutan pernyataan Mayjen Kunto, pengingat dari Laksamana Yudo, hingga usulan revisi UU TNI kiranya menjadi variabel yang tidak begitu saja bisa dipisahkan.
Tak menutup kemungkinan, sederet ekspresi itu menggambarkan curhat, keresahan, dan kegelisahan yang selama ini terpendam dari para elite militer aktif.
Terlebih, yang terkait peluang TNI untuk sedikit banyak masuk ke dalam konstelasi politik dalam perluasan peran yang dicakup dalam usulan revisi UU.
Perubahan mengenai tambahan pos jabatan di kementerian/lembaga, misalnya, yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi permasalahan pelik soal bottleneck karier para perwira.
Akan tetapi, solusi memperluas kursi ke ranah sipil yang tak relevan agaknya bukan merupakan jawaban yang tepat dan komprehensif untuk menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Evan Laksmana dalam sebuah analisis berjudul Why Indonesiaโs New Natuna Base Is Not about Deterring China, mencatat, antara 2011 dan 2017, TNI memiliki sekitar 30 jenderal dan 330 perwira menengah (letnan kolonel dan kolonel) yang menunggu lowongan jabatan.
Jumlah itu pun seolah tak banyak berubah saat wacana memperpanjang masa pensiun TNI pada 2022 lalu.
Jika berkaca pada jurnal berjudul Generating Reforms and Reforming Generations: Military Politics in Indonesiaโs Democratic Transition and Consolidation yang ditulis Siddharth Chandra dan Douglas Kammen, disebutkan tantangan semacam itu akan memiliki konsekuensi kontraproduktif bagi TNI di masa mendatang.
Konsekuensi itu antara lain menggerogoti moral organisasi, meredam profesionalisme, hingga memperburuk konflik-konflik di internal militer.
Di sisi berbeda, saat usulan revisi UU TNI menuai polemik serta muncul presumsi angkatan bersenjata rawan dipolitisasi, TNI boleh jadi justru berupaya tak dipolitisasi dengan tak lagi berada dalam subordinat lembaga yang dipimpin oleh aktor-aktor hasil proses politik.
Kendati, meski terdapat sudut pandang peran yang konstruktif seperti profesionalitas tanpa kepentingan apapun, hal itu agaknya menimbulkan paradoks tersendiri.
Itu dikarenakan, beberapa posisi strategis seperti Panglima TNI pun kini tak jarang ditentukan secara tidak langsung oleh proses dan โrestuโ para aktor hasil proses politik, persis sebagaimana disiratkan Chandra dan Kammen.
Dengan realita saat ini, pernyataan Prabowo bahwa UU TNI masih relevan agaknya memang memiliki justifikasi tertentu. Dan, untuk sementara ini TNI kiranya memang harus mempercayakan hal itu kepada sang Danjen Kopassus ke-15. Mengapa demikian?

Percayakan ke Prabowo?
Sebuah proses politik dalam demokrasi yang terkait dengan militer โ meski memiliki plus minus tersendiri โ dapat menjadi penengah dan rem untuk mencegah sebuah angkatan bersenjata melakukan hal di luar kewenangannya dengan kekuatan iherennya, seperti kudeta dan lain sebagainya terhadap โsupremasi sipilโ.
Dengan pengalamannya sebagai living legend militer, politik, dan pemerintahan, Prabowo bisa saja melihat sesuatu di balik sikap kurang sepakatnya terhadap revisi UU TNI saat ini. Dan itu tampaknya tak sekadar mengenai potensi kewenangan Menhan yang โdilangkahiโ.
Prabowo kemungkinan telah berada dalam apa yang disebut sebagai mature idealism atau idealisme matang. Idealisme ini percaya bahwa sesuatu tak akan berjalan ideal dan persis seperti yang dibayangkan tanpa memikirkan secara utuh kalkulasi praktiknya secara komprehensif.
Dalam konteks polemik revisi UU TNI, kendati memiliki nilai ideal bagi TNI untuk tak lagi berdiri subordinat, potensi gesekan yang kontraproduktif bagi stabilitas politik dan pemerintahan bisa saja sangat mudah untuk terjadi dan itu yang dilihat oleh Prabowo.
Oleh karena itu, dengan kinerjanya yang jamak dinilai cukup apik sejauh ini sebagai Menhan, TNI dan para pihak terkait yang terlibat dalam inisiasi revisi UU TNI kiranya dapat meninjau ulang beleid yang dianggap minor tersebut.
Dalam beberapa persoalan seperti bottleneck yang berupaya dijawab dengan perluasan peran prajurit aktif di kementerian/lembaga, misalnya, sangat mungkin kiranya untuk diurai secara komprehensif, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.
Seperti mengurangi kuota rekrutmen prajurit dan mengintensifkan peran para perwira untuk mengampu jabatan yang lebih relevan.
Di sisi lain, para aktor politik dan pemerintahan juga kiranya wajib memperbaiki perilakunya, seperti benar-benar profesional dengan tak terus mengabdi pada entitas politik setelah menjabat, membangun pola interaksi dengan masyarakat secara beradab dan menjunjung tinggi norma dan etika, dan lain sebagainya.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Politik Meresahkan, TNI Mulai Gelisah? pun telah dijabarkan mengenai kondisi ideal yang masih sangat mungkin diciptakan bersama demi membuat TNI tetap profesional.
Bukankah jika semua pihak, baik militer, aktor politik dan pemerintahan, dan rakyat menyadari serta mengaktualisasikan kebaikan-kebaikan itu dalam berbangsa dan bernegara, Indonesia akan menjadi negara yang hebat? (J61)