Site icon PinterPolitik.com

Revisi UU Melumpuhkan KPK ?

Foto: Rayapos.com

Tercatat sejak wacana revisi UU KPK ini muncul pada tahun 2010 lalu, usulan ini telah mengalami tarik ulur yang luar biasa panjang dan seolah menjadi mainan politik.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]C[/dropcap]orruption is worse than prostitution. Karl Kraus (1874-1936) – seorang jurnalis, penulis, serta satiris dari Austria – jelas tidak dalam keadaan mabuk setelah menghabiskan segelas Whisky Dalmore 62 dan dalam keadaan 100% sadar saat menuliskan kata-kata tersebut. ‘Korupsi lebih buruk dari prostitusi’, mungkin bagi sebagian pihak kata-kata ini masih mengundang perdebatan. Tetapi, kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Berantas prostitusi? Tutup saja tempatnya! Nah, kalau korupsi? Apa kita mau tutup tempatnya juga? Mana tempat korupsi yang mau kita tutup lebih dulu?

Cerita prostitusi dan korupsi Karl Kraus ini seolah kembali menghangat di tengah gencar-gencarnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, di balik gerilya KPK tersebut, perhatian publik disita dengan kembali mencuatnya wacana revisi UU KPK. Wacana ini kembali dikeluarkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di saat KPK sedang mengusut kasus besar dalam tajuk ‘Skandal Korupsi e-KTP’ yang diduga menjerat banyak anggota DPR. Apakah hal itu berarti bahwa dua hal ini saling berhubungan? Dalam pernyataannya, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 ini tidak terkait dengan skandal mega korupsi ini.

“Tidak ada kaitannya. Sosialisasi itu untuk menampung aspirasi,” demikian pernyataan Fadli Zon di gedung DPR RI. Apa benar demikian? Sulit bagi publik untuk tidak menilai bahwa dua kasus ini tidak saling berhubungan, apalagi jika melihat banyaknya anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus e-KTP.

Jelas saja wacana ini mendapat protes dan tentangan dari banyak pihak. Protes terbaru datang dari Forum Rektor Indonesia yang secara tegas menolak wacana revisi UU KPK. Protes juga muncul di situs change.org yang menggalang dukungan petisi online menolak revisi UU KPK. Saat terakhir diakses, tercatat sudah ada 60 ribu lebih dukungan untuk petisi online ini.

Wacana revisi UU KPK – yang ternyata sudah mulai disosialisasikan ke kampus-kampus – seolah kembali membuka lembaran panjang perjalanan wacana revisi UU KPK yang sejak tahun 2010 sepertinya tidak pernah kesampaian – seperti panjangnya tagihan kartu kredit yang menunggak dan menunggu untuk dibayarkan. Publik tentu bertanya-tanya, apakah revisi UU KPK ini memang benar-benar dibutuhkan? Atau jangan-jangan hanya sekedar mainan politik para politisi kita yang terhormat?

Revisi UU KPK: Mainan Politik?

Tercatat sejak wacana revisi UU KPK ini muncul pada tahun 2010 lalu, usulan ini telah mengalami tarik ulur yang luar biasa panjang dan seolah menjadi mainan politik. Jika dihitung-hitung, sudah hampir puluhan kali wacana revisi UU ini digulirkan, namun tidak pernah sampai pada tahap selesai. Berikut ini perjalanan wacana revisi UU KPK sejak tahun 2011.

Sulit untuk mengatakan bahwa wacana-wacana revisi UU KPK itu muncul dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan kasus politik dan hukum yang terjadi dalam skala nasional. Pada Oktober 2011 misalnya, DPR mengemukakan kembali wacana revisi UU KPK dengan poin-poin yang akan direvisi. Padahal, terakhir kali revisi UU ini dibahas adalah pada Januari 2011 – ada jarak 8 bulan lebih di antara dua aktivitas pembahasan tersebut.

Mengapa butuh 8 bulan untuk membahas revisi itu? Mungkinkah DPR sedang sibuk, banyak mengerjakan Undang-Undang dan studi banding ke luar negeri? Hanya DPR yang tahu. Tetapi, tunggu dulu, bukankah pada September hingga awal Oktober 2011 kita juga menyaksikan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dipanggil oleh KPK dalam pemeriksaan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans)?

Kita tentu ingat dengan perempuan-perempuan cantik berpakaian putih-putih yang mendatangi gedung KPK dengan membawa spanduk bertuliskan ‘I love Banggar’ atau ‘Jangan Fitnah Banggar’ sebagai protes terhadap aksi tersebut. Apakah pengguliran kembali wacana revisi UU KPK beserta poin-poin yang ingin direvisi berhubungan dengan kasus Banggar DPR ini? Apa mungkin aksi DPR menggulirkan kembali wacana revisi UU KPK adalah untuk memecah fokus KPK dalam investigasi kasus korupsi suap di Kemenakertrans?

Aksi Perempuan –perempuan yang mendatangi gedung KPK untuk memprotes pemeriksaan KPK atas pimpinan Banggar DPR pada Oktober 2011 (Foto: dok. istimewa)

Hal yang sama bisa dilihat pada Juli 2015 lalu, saat Presiden Joko Widodo membatalkan rencana pemerintah membahas revisi UU KPK dalam prolegnas 2015. Namun, berselang 4 hari kemudian, seluruh fraksi di DPR sepakat untuk memasukan revisi UU KPK dalam prolegnas prioritas 2015. Bahkan, ada lima isu krusial dalam naskah revisi UU KPK, yaitu pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan pengaturan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan. Hal ini seolah menggambarkan bahwa tidak ada semangat yang sama untuk pemberantasan korupsi antara eksekutif dan legislatif. Bahkan terkesan UU KPK digunakan sebagai sarana politik antara DPR dan pemerintah untuk saling menekan.

Kemudian, pada Januari hingga Februari 2016, wacana revisi UU KPK kembali digulirkan. Pada saat yang sama DPR dan pemerintah juga membahas RUU Tax Amnesty yang merupakan UU prioritas usulan pemerintah. Maka, banyak pihak menilai revisi UU KPK merupakan ‘barter’ demi memuluskan RUU Tax Amnesty. Hal tersebut pernah disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar. UU KPK seolah disandera oleh DPR dan pemerintah. Semua tergantung pada situasi dan kepentingan, siapa yang akan memainkan UU tersebut dan untuk tujuan apa.

Wacana revisi UU KPK seolah menjadi mainan politik. Ketika ada isu tertentu atau ketika KPK sedang mengusut kasus yang menjerat banyak politisi kelas kakap, maka wacana ini seolah digunakan untuk memecah fokus masyarakat dan tentu saja fokus penyidikan kasus-kasus korupsi tersebut. Selain untuk menyerang KPK, revisi UU KPK seolah menjadi alat politik antara pemerintah dan DPR. Politisasi revisi UU KPK ini sesungguhnya sangat kontra produktif terhadap semangat pemberantasan korupsi nasional dan mengganggu kinerja KPK. Selama hal yang seperti ini terus terjadi, maka pemberantasan korupsi tidak akan pernah berakhir.

Mencopot ‘Taring’ KPK?

Agaknya sulit untuk tidak mengaitkan kasus e-KTP ke dalam wacana revisi UU KPK. Pasalnya, kasus e-KTP diduga melibatkan banyak anggota DPR, termasuk juga ketua DPR, Setya Novanto. Hal tersebut bahkan langsung diungkapkan oleh Priyo Budi Santoso – sekretaris Dewan Pertimbangan Partai Golkar – setelah bertemu dengan Setya Novanto dan mengatakan bahwa revisi UU KTP adalah salah satu hal yang disinggung dalam pertemuan tersebut. Selain itu, sosialisasi revisi UU KPK seolah memanfaatkan momentum e-KTP di dalamnya dan dilakukan sebulan sebelum kasus e-KTP disidangkan. Apakah ini sebuah kebetulan biasa?

Revisi UU KPK oleh banyak pihak dinilai akan melemahkan KPK. Dalam jangka pendek, tentu saja kalau disetujui, revisi UU KPK ini akan menyita perhatian KPK dan membuat fokus KPK terbagi antara revisi UU dan penyidikan kasus korupsi. Sementara, untuk jangka panjang, revisi UU KPK dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Ada 4 hal utama yang sedang disosialisasikan oleh DPR terkait revisi UU KPK, antara lain tentang dewan pengawas, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), adanya aturan tentang penyadapan, serta tentang perekrutan penyidik KPK.

Poin-poin revisi itu akan membatasi ruang gerak KPK dan secara tidak langsung juga menghambat ruang gerak pemberantasan korupsi. Mungkin saja kalau direvisi, ke depannya tidak akan ada lagi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Revisi UU KPK seolah seperti mencopot ‘taring’ KPK yang selama ini membuat takut para koruptor.  Jika KPK saja sudah tidak punya taring, maka korupsi akan menjadi lawan yang tidak bisa dikalahkan.

Plata o Plomo?

Tingkah para politisi yang menggunakan wacana revisi UU untuk melawan KPK ini mengingatkan kita pada cara-cara yang dilakukan oleh kartel-kartel narkoba di Kolombia. Kartel Medellin – penguasa 80 % pasokan kokain ke Amerika Serikat – yang dipimpin oleh Pablo Escobar Gaviria (1949-1993) kerap menggunakan pesan plata o plomo (‘perak’ atau ‘peluru’) saat berhadapan dengan otoritas penegak hukum. Plata berarti ‘perak’ – bisa disamakan dengan uang suap, sementara plomo berarti ‘peluru’ – bisa disamakan dengan nyawa. Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah idiom ‘carrot or stick’ yang memiliki makna yang kurang lebih sama.

Wacana revisi UU KPK ini seolah seperti ancaman plata o plomo yang dikeluarkan oleh DPR terhadap KPK. Jika terlalu jauh ‘mengobok-obok’ DPR dalam kasus e-KTP, bisa jadi KPK tidak akan berumur panjang – hal yang ditakutkan oleh para pembuat petisi dalam change.org.

Pembatasan wewenang KPK melalui revisi UU KPK merupakan wacana untuk menggeser KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi – demikian yang disampaikan oleh anggota-anggota DPR. Namun, tanpa kewenangan-kewenangan untuk melakukan penyadapan misalnya, KPK hanya akan menjadi macan ompong – ibaratnya macan ‘lucu-lucuan’ di Koramil Cisewu – yang tidak melambangkan kegagahan dan keperkasaan sebuah lembaga penegak hukum.

Dengan menggunakan wacana revisi UU KPK untuk menggertak upaya KPK membongkar kasus e-KTP, sesungguhnya DPR benar-benar telah dengan sendirinya membenarkan persepsi publik atas lembaga ini sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Trik plata o plomo yang digunakan juga akan dengan sendirinya memperburuk citra DPR. Harapannya tentu saja dalam pemilihan anggota legislatif berikutnya, masyarakat jadi lebih bisa memilah-milah tokoh yang akan dipilih menjadi wakil rakyat.

Masa Depan Perang Melawan Korupsi

Wacana plata o plomo yang dilakukan oleh DPR ini juga sebenarnya sedang dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo. Bagaimana pun juga, isu ini bisa dipakai DPR untuk juga presiden. Sekarang tergantung presiden Jokowi akan berpihak kepada siapa: DPR atau masyarakat yang tidak ingin KPK diganggu-gugat. Bagaimana pun juga presiden memiliki kekuatan 50 % dalam revisi UU KPK. Jika presiden tidak setuju, maka DPR pun tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya juga tergantung pada lobi-lobi politik antara Presiden Jokowi dengan DPR: mana yang lebih jago memainkan situasi.

Jokowi dalam berberapa kesempatan cenderung lebih memilih untuk berdiri di belakang masyarakat. Namun, situasi akan berubah kalau lobi yang dilakukan oleh DPR jauh lebih kuat. Beberapa hari yang lalu, kita menyaksikan pertemuan antara pimpinan DPR dengan Presiden Jokowi pasca acara pelantikan para Duta Besar. Dengan semakin dekatnya waktu sidang kasus e-KTP, maka lobi-lobi seperti ini akan semakin sering terjadi. Saat ini semua ada di tangan Presiden Jokowi, bahkan DPR bisa jadi juga memainkan strategi plata o plomo kepada presiden. Publik tentu berharap presiden tetap memihak rakyat banyak dan konsisten dengan komitmen pemberantasan korupsi.

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Pimpinan DPR RI setelah acara pelantikan para Duta Besar Indonesia (Foto: dok.istimewa)

Harus diakui, revisi UU KPK adalah sebuah upaya untuk melemahkan lembaga ini. Jika jadi direvisi, maka hal tersebut adalah kemunduran yang luar biasa besar bagi semangat pemberantasan korupsi. Mungkin bagi bangsa ini lebih mudah untuk memberantas prostitusi ketimbang memerangi korupsi. Pada akhirnya, kita harus mengakui kebenaran kata-kata Karl Kraus, dan kalau memang ingin adil, mengapa tidak tutup saja lumbung koruptor itu? (S13)

Exit mobile version