Rencana revisi UU KPK oleh DPR dikecam banyak pihak karena berpotensi melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut. Di luar itu, wacana ini boleh jadi kental dengan nuansa rasa takut.
Pinterpolitik.com
“KPK di ujung tanduk.” Itulah kata-kata yang dilontarkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo untuk menggambarkan kondisi komisi anti-rasuah itu saat ini. Wacana revisi UU KPK oleh DPR menjadi biang keladi dari ancaman kehancuran KPK seperti yang digambarkan Agus tersebut.
Wacana revisi UU tersebut memang membuat banyak pihak yang mendambakan pemberantasan korupsi ketar-ketir. Bagaimana tidak, sejumlah keistimewaan lembaga anti-korupsi itu terancam dilucuti oleh wakil rakyat di Senayan secara tiba-tiba.
Kondisi KPK di ujung tanduk itu kemudian membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk segera bertindak. Yang membuatnya ironis adalah, sebenarnya partai-partai pengusung ide revisi UU KPK ini sebenarnya adalah partai-partai utama pendukung Jokowi.
Memang, ada indikasi bahwa pemerintah sendiri sebenarnya mengetahui dan dalam kadar tertentu terlibat dalam wacana revisi UU tersebut. Meski demikian, dalam revisi UU tersebut sebenarnya ada dua kekuatan utama pemerintahan yang berpotensi saling beradu. Hal ini belum termasuk dengan KPK sendiri yang kewenangannya akan dikebiri.
Lalu seperti apa sebenarnya permainan kekuatan dalam wacana revisi UU KPK ini? Adakah alasan khusus mengapa UU tersebut harus direvisi secara tiba-tiba?
Kontroversi Revisi
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba para wakil rakyat di DPR mewacanakan revisi UU KPK di penghujung masa jabatan mereka. Sebuah waktu yang cukup unik, mengingat minimnya pergerakan legislasi lembaga tersebut selama hampir lima tahun menjabat.
Yang jadi masalah sebenarnya bukan hanya soal waktunya saja. Di waktu yang sempit dan tiba-tiba tersebut, berdasarkan draf yang beredar, revisi itu berpotensi membuat KPK berada dalam kondisi yang benar-benar lemah.
Ada beberapa poin yang dianggap bisa melemahkan KPK sebagai lembaga anti-korupsi dalam rencana revisi tersebut. Salah satu yang paling banyak menyita perhatian adalah tentang keberadaan Dewan Pengawas.
Dalam kondisi yang normal, keberadaan dewan tersebut tentu bisa dianggap wajar. Sebagai lembaga yang berpotensi menjadi superbody, keberadaan dewan semacam itu boleh jadi tergolong krusial. Meski demikian, dalam wacana revisi yang mengemuka, Dewan Pengawas tersebut akan dipilih melalui mekanisme di dalam DPR.
Kondisi tersebut dapat membuat DPR memiliki kuasa terhadap langkah yang dilakukan oleh KPK. DPR akhirnya punya cukup kontrol untuk menempatkan orang-orang pilihan mereka di dalam Dewan Pengawas, sehingga agenda DPR bisa saja terus diselaraskan.
Dewan Pengawas ini sendiri nantinya memiliki peran yang cukup penting. Salah satu yang dianggap melemahkan KPK adalah soal penyadapan. Nantinya, penyadapan yang dilakukan lembaga anti-rasuah itu harus seizin Dewan Pengawas yang notabene adalah orang-orang pilihan DPR.
Paranoid Kekuatan
Ada sebuah tulisan di laman Foreign Affairs berjudul Power and Paranoia in Caracas, ditulis oleh Ivan Briscoe, Program Director for Latin America and the Caribbean at the International Crisis Group. Tulisan itu menggambarkan dinamika kekuatan yang ada di Venezuela di tengah krisis yang melanda negara di Amerika Latin tersebut.
Briscoe menggambarkan bahwa solusi dari krisis Venezuela bisa saja terjadi. Meski demikian, ada satu hal yang menyebabkan solusi tersebut tidak bisa terwujud, yaitu ketakutan. Rasa takut yang dimaksud sendiri adalah ketakutan dari satu elite kepada elite lainnya.
Meski tidak sama persis, kondisi yang mirip sebenarnya boleh jadi dapat dilihat dalam kasus wacana revisi UU KPK. Sepintas, wacana revisi UU KPK memang terlihat bagian dari upaya DPR untuk mengebiri kewenangan KPK. Meski demikian, potensi pengebirian itu bisa jadi merupakan gambaran dari paranoid atau ketakutan DPR atas kekuatan dari pihak lain.
Sob, kenapa si revisi UU KPK itu melemahkan KPK? Paling tidak ada 9 catatan krusial nih, simak dalam grafis berikut ini yaa#TolakRevisiUUKPK #SaveKPK pic.twitter.com/h4SsrRkIpm
Secara spesifik, yang paling jelas nampak tentu saja kekuatan dari KPK menjadi sumber ketakutan dari lembaga legislatif tersebut. Hal ini tergolong wajar, mengingat banyak kolega sekantor anggota DPR saat ini harus digelandang ke Gedung KPK di Kuningan, Jakarta Selatan.
KPK dalam hal ini memilki kekuatan dan kekuasaan yang mengancam pihak-pihak tertentu di dalam DPR. Kekuatan dan kekuasaan seperti inilah yang membuat DPR memilki paranoid kepada lembaga yang kini dipimpin oleh Agus Rahardjo tersebut.
Dengan adanya revisi UU KPK, DPR dapat mengontrol rasa takut mereka kepada KPK melalui Dewan Pengawas. Segala gerak-gerik KPK yang dianggap bisa mengganggu DPR kemungkinan besar bisa tak mendapat persetujuan Dewan Pengawas.
Adu Rasa Takut
Di luar itu, langkah DPR untuk merevisi UU tersebut juga boleh jadi terkait dengan rasa paranoid mereka kepada institusi lain. Dalam konteks ini, kamar eksekutif secara khusus Jokowi, boleh jadi adalah sumber ketakutan lain dari lembaga legislatif tersebut.
Rasa paranoid itu boleh jadi bersumber dari sikap Jokowi yang diduga menggunakan KPK untuk melakukan strategi jerat rangkul. Ada indikasi bahwa partai-partai ditekan oleh sang presiden dengan menggunakan KPK sebagai perpanjangan tangannya. Indikasi penggunaan penegak hukum ini diungkapkan misalnya oleh Tom Power.
Dengan melakukan revisi UU KPK, maka dalam kadar tertentu, DPR bisa mendapatkan kontrol yang cukup untuk menjinakkan KPK. Lebih jauh, dengan kontrol ini mereka bisa saja meredam strategi jerat rangkul yang berasal dari kamar eksekutif.
KPK menganggap sukses pemberantasan korupsi yang tidak saja gagal tetapi mulai merusak kepastian hukum dan keselamatan sistem presidensialisme kita. KPK dengan Serikat pegawai yg bagai perusahaan swasta itu sibuk berburu di kebun binatang. Tidak membantu presiden dlm pencegahan.
Secara spesifik, partai-partai pengusul revisi UU KPK ini sendiri adalah partai-partai pengusung utama Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu. Hal itu dapat mengindikasikan bahwa partai-partai ini tak lagi sepenuhnya ingin menyerahkan kekuatan kepada Jokowi. Di sinilah indikasi paranoid itu ada.
Partai-partai seperti Golkar dan PDIP kerap kali menjadi tumbal dari gerak agresif KPK. Dalam kadar tertentu, gerak agresif KPK ini bisa menjinakkan sikap partai-partai tersebut dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan Jokowi. Dari sini, tergambar bahwa setelah partai-partai itu terjerat, mereka berpotensi terangkul untuk kemudian lebih selaras dengan Jokowi.
Dalam konteks tersebut, partai-partai itu boleh jadi ingin menyiapkan tameng tatkala dugaan strategi jerat-rangkul ini digunakan Jokowi melalui KPK. Melalui Dewan Pengawas, pergerakan semacam itu dapat diredam sejak dini sebelum menjadi duri bagi partai-partai tersebut.
Di luar itu, rasa takut itu sebenarnya boleh jadi ada di kubu Jokowi sendiri. Partai-partai di DPR bisa saja menggerogoti kekuatannya sebagai presiden melalui berbagai instrument, termasuk melalui revisi UU KPK ini.
Jika melihat poin-poin yang ada di dalam revisi, ada salah satu poin yang akan membuat KPK tak lagi bersifat independen dan menjadi lembaga pemerintah pusat. Tak hanya itu, para pegawai KPK juga harus menjadi bagian dari struktur negara dengan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Merujuk pada hal tersebut, presiden yang semula dianggap telah memiliki kontrol informal terhadap KPK, kini dapat memiliki kontrol yang lebih besar karena KPK telah berada dalam satu bagian sebagai lembaga pemerintah pusat.
Revisi UU KPK kental dengan nuansa rasa takut dari DPR sebagai lembaga yang kerap jadi sasaran pemeberantasan korupsi Share on XDengan kontrol tersebut, Jokowi sebagai pemegang kekuatan eksekutif bisa saja menggunakan KPK untuk menekan rasa paranoidnya kepada partai-partai yang ada di DPR. Partai-partai yang dianggap menyulitkan langkahnya bisa saja harus berurusan dengan KPK yang secara struktural telah berada di bawah pemerintah pusat.
Tentu semua itu boleh jadi masih sebatas spekulasi. Meski demikian, sulit untuk tidak melihat bahwa ada nuansa ketakutan dalam revisi UU yang tiba-tiba dan terburu-buru.
Pada akhirnya, sulit sebenarnya bagi masyarakat untuk menerima jika KPK nantinya dijadikan sebagai tameng bagi perasaan paranoid elite-elite politik di negeri. Jika revisi hanya dijadikan pengobat rasa takut semacam itu, maka wajar jika harapan masyarakat tentang pemberantasan korupsi menjadi sirna. (H33)