Kemunculan wacana revisi UU ITE usai ribut-ribut mengenai kritik terhadap pemerintah seperti sebuah rangkaian fenomena yang telah direncanakan. Jika benar demikian, kira-kira apa tujuan di baliknya? Benarkah semata demi menegakkan rasa keadilan publik seperti yang dikatakan Presiden Jokowi?
Masyarakat mungkin belum lupa dengan nama Prita Mulyasari, seorang ibu yang terpaksa berurusan dengan polisi hanya karena mengkritik pelayanan sebuah rumah sakit swasta melalui milis pada tahun 2008 silam. Perkara yang menjerat Prita ini menjadi salah satu kasus pertama yang mengawali preseden buruk terhadap implementasi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sedari awal UU tersebut memang dianggap sebagai salah satu sumber masalah bagi kebebasan berpendapat di era reformasi. Pasalnya beleid itu kerap dijadikan senjata untuk memperkarakan pengkritik ke ranah pidana.
Setelah direvisi pada tahun 2016 silam, permasalahan yang ditimbulkan UU ITE nyatanya tidak berhenti. Penggunaan aturan tersebut malah dianggap semakin brutal karena mulai menyasar para pengkritik kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebut saja perkara yang menjerat sutradara sekaligus jurnalis Dandhy Dwi Laksono karena mengunggah foto warga Papua yang diduga menjadi korban kekerasan aparat di Wamena dan Jayapura.
Setelah menjabat selama dua periode, Presiden Jokowi sendiri baru secara spesifik mengomentari implementasi UU ITE belakangan ini. Tak tanggung-tanggung, Ia bahkan membuka peluang untuk meminta DPR melakukan revisi terhadap UU tersebut jika memang dianggap tak memberikan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Sontak wacana tersebut mendapat sambutan positif, termasuk hampir semua fraksi di Parlemen. Mereka semua sepakat bahwa implementasi UU ITE selama ini masih banyak menuai masalah.
Menyikapi hal ini, maka yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa wacana ini baru dilemparkan Presiden baru-baru ini? Padahal UU ITE sendiri sudah sejak lama memakan banyak korban dan menjadi objek kritik publik.
Sudah Direncanakan?
Jika kita flashback ke belakang, sebelum berkomentar terkait UU ITE, Presiden lebih dulu memberikan pernyataan yang meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik kinerja birokrasi. Sontak publik yang terpancing mulai menyoroti keberadaan UU ITE yang memang jamak dianggap sebagai ancaman terhadap kritik.
Di tengah-tengah polemik itu, kemudian muncul kontroversi-kontroversi lain yang menyertainya. Misalnya saja tudingan radikal kepada Din Syamsuddin, hingga kritik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kepada pemerintah.
Di tengah situasi menguatnya polemik soal kritik, Presiden Jokowi seolah memahami kegundahan masyarakat dengan muncul dan memberikan angin surga bahwa Ia membuka peluang untuk melakukan revisi terhadap UU ITE.
Melihat indikasi yang ada, ada dugaan bahwa wacana revisi UU ITE ini memang sudah diagendakan oleh pemerintah. Rangkaian polemik yang terjadi sebelum munculnya wacana revisi tersebut bisa jadi merupakan manuver Presiden untuk menggalang dukungan melalui opini publik.
Christopher Wlezien dan Stuart N. Soroka dalam Public Opinion and Public Policy menyebut bahwa hubungan antara opini publik dan kebijakan publik merupakan hal mendasar bagi representasi politik. Menurutnya opini publik adalah variabel independen yang dapat mendorong perubahan kebijakan publik.
Selain itu mereka juga menyebut bahwa prinsip fundamental dari pemerintahan yang demokratis adalah menjadikan kebijakan sebagai ekspresi dari opini. Atau lebih tepatnya, kebijakan publik adalah ekspresi dari preferensi publik.
Dengan menciptakan situasi yang terlihat seperti telah terjadi penyelarasan antara wacana revisi UU ITE dengan preferensi publik, maka menjadi wajar jika kemudian hal tersebut mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Namun apa kira-kira tujuannya? Benarkah tujuan Presiden benar-benar murni ingin menegakkan rasa keadilan masyarakat seperti yang Ia sampaikan?
Demi Warisan Politik?
Keputusan Jokowi yang melemparkan wacana revisi UU ITE di periode terakhirnya menjabat sebagai Presiden boleh jadi berkaitan dengan warisan politik (political legacy) yang akan ditinggalkannya.
Terkait dengan hal tersebut, Christian Fong, Neil Maholtra, dan Yotam Margalit dalam Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates meyakini bahwa politisi juga memiliki motivasi untuk membentuk warisan politik yang ditinggalkannya.
Pasalnya, bukan tidak mungkin warisan politik ini dapat memengaruhi perdebatan politik dan kebijakan di masa mendatang. Dengan begitu, seorang pemimpin atau politisi dapat memiliki pengaruh politik meski telah meninggalkan jabatannya.
Warisan politik positif terkait produk legislasi juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, di akhir masa jabatannya, pemerintah dan DPR sepakat untuk menerbitkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memuat ketentuan bahwa pemimpin daerah dipilih secara langsung melalui DPRD, bukan rakyat.
Sontak hal tersebut memantik kritikan publik. Banyak pihak tak sepakat pemilihan dilakukan melalui DPRD.
Untuk mengatasi polemik tersebut, Presiden SBY lantas mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2014 yang isinya mencabut kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan daerah. Keputusan SBY tersebut disambut positif karena dianggap mengikuti aspirasi masyarakat.
Kendati demikian, dalam konteks Jokowi, sejak awal dirinya menjabat sebagai Presiden jamak diyakini bahwa pembangunan ekonomi adalah fokus utama pemerintahannya. Ini terlihat dari betapa getolnya Presiden membangun infrastruktur-infrastruktur yang tak hanya menguntungkan dari segi praktikal, tapi juga dari segi politis.
Di periode pemerintahan yang kedua kini, orientasi terhadap ekonomi juga terlihat masih menjadi kiblat arah kebijakan pemerintah.
Hal ini bisa ditafsirkan dari kebijakan-kebijakan Jokowi yang mengejar penguatan ekonomi, misalnya saja terkait pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) ataupun kebijakan-kebijakan seputar pandemi Covid-19 yang masih tarik ulur antara penanganan krisis kesehatan atau krisis ekonomi.
Orientasi yang kuat ke arah ekonomi ini, menurut Jacqui Baker dalam The Middle Class President membuat pemerintahan Jokowi sama sekali tak memiliki fokus pada penguatan kualitas demokrasi di Indonesia. Itu lah sebabnya selama menjabat sebagai kepala negara, Jokowi tak segan-segan menggunakan instrumen hukum untuk merepresi para pengkritiknya.
Dalam konteks korelasi antara ekonomi dan demokrasi, Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl dalam What Democracy Is and Is Not berpendapat bahwa demokrasi tidak selalu lebih efisien secara ekonomi daripada bentuk pemerintahan lainnya.
Ini terjadi lantaran dalam sistem demokrasi, pengambilan suatu kebijakan terbilang lambat dikarenakan melibatkan lebih banyak aktor dan pemangku kepentingan. Hal itu kemudian menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk membuat suatu kebijakan menjadi lebih tinggi.
Entah berangkat dari argumen Schmitter dan Karl atau tidak, namun yang jelas pemahaman semacam itu sepertinya sempat dianut oleh Jokowi. Ini tergambar dari pernyataannya pada 2017 lalu yang menyebut bahwa negara-negara maju sudah mulai mendiskusikan mengenai kehidupan di masa depan, namun Indonesia masih sibuk berdebat satu sama lain.
Lalu jika memang ekonomi adalah fokus utama pemerintahan Jokowi, lalu mengapa kemudian Presiden belakangan ini terlihat mulai fokus pada agenda-agenda perbaikan demokrasi, salah satunya dengan melempar wacana revisi UU ITE?
Rebranding Ala Jokowi
Tak dapat dipungkiri, jika terus dibiarkan, pemidanaan terhadap para pengkritik pemerintah memang dapat menjadi noda dalam warisan politik Jokowi.
Namun, mantan Wali Kota Solo itu masih dapat menggunakan beberapa strategi guna meminimalisir dampak tersebut, salah satunya dengan melemparkan wacana revisi UU ITE. Jika memang benar hal itu yang sedang terjadi, maka Jokowi bisa dikatakan tengah melakukan political rebranding atau rebranding politik.
Konteks rebranding politik ini pernah dilakukan oleh mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair setelah kebijakannya bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dalam upaya Invasi Irak pada 2005 silam mendapat sorotan tajam publik.
Margaret Scammell dalam Political Brands and Consumer Citizens menjelaskan bahwa reputasi Blair dan partainya benar-benar hancur pada tahun 2005 akibat kasus Perang Irak karena media-media massa semakin gencar melontarkan kritik kepada Blair.
Untuk mengatasi hal ini, Blair kemudian memainkan strategi rebranding terhadap dirinya dan partainya dengan cara membangun marketing politik dan koneksi yang lebih personal dengan publik.
Di titik ini, mungkin dapat dipahami bahwa wacana revisi UU ITE adalah upaya rebranding politik dari Presiden Jokowi. Namun di sisi lain, mulai fokusnya pemerintahan Jokowi terhadap isu-isu perbaikan demokrasi bisa juga mengindikasikan kebuntuan pemerintah dalam mengatasi persoalan lainnya, yakni persoalan ekonomi dan pandemi Covid-19.
Ini semakin masuk akal sebab seiring dengan masih carut marutnya penanganan pandemi, sejumlah indikator ekonomi nasional juga masih terpuruk dan belum menemui titik terang.
Penurunan pertumbuhan ekonomi 2020 yang mencapai -2,07 persen, tertinggi sejak 1998, proyeksi ekonomi kuartal I 2021 yang masih negatif, hingga pemberitaan mengenai terus melonjaknya utang pemerintahan di era Jokowi yang kini mencapai Rp 6.074 triliun adalah sekelumit permasalahan yang agaknya masih menghantui perekonomian Indonesia dan sejauh ini belum diketahui kapan hal itu dapat teratasi.
Oleh karena adanya potensi gagalnya Jokowi dalam meninggalkan legacy ekonomi yang positif, maka menjadi masuk akal jika kemudian Presiden mencoba menggeser fokusnya pada isu perbaikan kualitas demokrasi melalui wacana revisi UU ITE, terlepas dari apakah revisi tersebut benar-benar mampu memperbaiki kualitas demokrasi atau tidak.
Pada akhirnya, yang tahu persis agenda sebenarnya di balik wacana revisi UU ITE hanyalah pihak terkait sendiri. Mari berharap saja, revisi yang mulai dibahas ini benar-benar mengutamakan kepentingan publik, dan dapat membuat iklim demokrasi menjadi lebih baik, sehingga tak perlu lagi ada pihak yang mesti berurusan dengan jerat pidana hanya karena mengemukakan pendapatnya. Menarik untuk disimak kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.