Reuni 212 dalam kadar tertentu bisa menjadi sebuah agenda politik jangka panjang dengan mewujud seperti revolusi senyap.
Pinterpolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]euni 212 memang sudah selesai, namun perbincangannya tidak berkesudahan hingga hari ini. Misalnya saja perdebatan soal angka peserta yang hadir,hingga interpretasi tentang tingkat elektabilitas para kandidat Pilpres 2019 setelah reuni berlangsung.
Meskipun demikian, patut disepakati bahwa Reuni 212 adalah peristiwa penting dalam lanskap sosial politik di Indonesia. Bahkan sejumlah elite politik dari koalisi calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, juga tak kalah antusias dalam menghadiri acara ini. Sebut saja Zulkifli Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ahmad Heryawan, Eddy Soeparno, hingga Anies Baswedan menjadi tamu kehormatan.
Namun, hal yang menarik justru datang dari cuitan akun Twitter Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief, yang menyebut Reuni 212 ibarat pisau bermata dua. Menurut Andi, peristiwa itu bisa dimaknai sebagai reaksi terhadap Pilpres 2019, namun juga bisa mengarah pada koreksi total – bisa diterjemahkan sebagai sebuah revolusi.
Lebih lanjut, Andi juga mengungkapkan – dengan gaya mirip ultimatum – bahwa revolusi diam (senyap) saat ini memang tidak memiliki tuntuan koreksi menyeluruh, sehingga bisa dipastikan konsentrasi massa pada Reuni 212 itu bukanlah yang terakhir. Ia meyakini bahwa akan ada momentum-momentum lain yang akan menggerakkan aksi massa serupa bisa terulang.
Lantas pertanyaannya adalah, apakah memang Reuni 212 itu hanya sekedar event tahunan, reaksi terhadap pemerintahan Jokowi, atau memiliki dimensi sosial politik yang lebih dalam, misalnya sebagai tanda sebuah konsolidasi politik dalam bentuk revolusi senyap, yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia?
Menembak Jokowi
Naif rasanya jika tak mengaitkan Reuni 212 dengan tujuan politis. Hal itu dapat dilihat dari sisi historis, waktu, dan wacana atau narasi yang dibuat. Dari aspek sejarah, gerakan 212 bermula dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang pada tahun 2016 sedang berkampanye politik.
Inilah titik masuk bagi lawan politik Ahok dan Jokowi untuk menyerang keduanya secara sistematis. Pada akhirnya Ahok kalah dalam pemilihan yang digelar awal 2017. Setidaknya dari aspek historis, Reuni 212 adalah gerakan politik yang bercampur gerakan moral.
Dari segi waktu, gerakan ini semakin aktif menjelang Pemilu 2019. Setidaknya dalam kurun waktu dua tahun terlihat memang gerakan tersebut telah menjadi kampanye politik yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni.
Reuni 212 bisa jadi akan bertransformasi menjadi revolusi senyap. Share on XKemudian, wacana yang dibangun oleh elite Presidium Alumni (PA) 212, yakni membangun propaganda di media sosial dan di media arus utama, merupakan narasi kekuasaan. Wacana yang diangkat pada umumnya adalah kritik dan serangan terhadap pemerintah dan institusi negara yang saat ini bekerja.
Kelompok ini telah menjadi gerakan oposisi politik yang ingin memperjuangkan kekuasaan dan menghendaki pemerintahan Jokowi berakhir pada Pilpres 2019. Dengan kata lain, Reuni 212 yang digelar Minggu lalu merupakan oposisi politik untuk melawan pemerintahan saat ini, sekaligus membawa agendanya masing-masing.
Lebih jauh, momen tersebut menjadi konsolidasi politik dari berbagai kelompok umat Islam untuk jangka yang panjang (long term period) sebagai upaya untuk mensegregasi aktor-aktor politik mapan di negeri ini. Sementara agenda terhadap pemerintahan Jokowi dan Pilpres 2019 merupakan agenda jangka pendek mereka (short term period).
Aksi PA 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama menjalin kisah dengan Prabowo serta partai politik pendukungnya hanyalah kontrak politik untuk menghadapi Jokowi dan Pilres saja. Namun, sejatinya kelompok-kelompok Islam ini memiliki kepentingan sendiri. Misalnya saja mereka sempat menyebutkan bahwa tidak akan segan-segan “melawan” Prabowo jika tidak mematuhi kontrak politik yang tertuang pada hasil Ijtima Ulama II.
Sebuah Revolusi Senyap?
Lalu, apakah Reuni 212 bisa dianggap sebagai bagian dari sebuah revolusi atau koreksi total dalam kesenyapan, seperti yang disampaikan oleh Andi Arief?
Faktanya, revolusi memang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah umat manusia. Dengan kata lain, revolusi adalah sebuah keniscayaan sejarah, walau kehadiran dan kedatangannya tak bisa diprediksi. Ia datang dalam situasi yang dipilihnya sendiri. Namun, ia juga membuka segala kemungkinan untuk terus diupayakan. Setelah Perang Dunia II memang muncul sebuah lema di Eropa yang dikenal dengan revolusi senyap atau silent revolution.
Ronald Inglehart dalam bukunya beejudul The Silent Revolution: Changing Values and Political Style Among Western Countries menyebutkan bahwa ada dua aspek yang menandakan adanya revolusi diam atau silent revolution, yakni adanya perubahan dari keterbutuhan masyarakat dari nilai-nilai material dan keamanan fisik menjadi pada tataran kualitas kehidupan (quality of life), serta meningkatnya kemampuan-kemampuan politik masyakarat untuk ikut melakukan penetrasi terhadap pengambilan kebijakan.
Lebih lanjut, Ronald menunjukkan bahwa revolusi jenis ini biasanya ditandai tanpa adanya sebuah rekayasa melibatkan aktivitas fisik yang subversif, namun lebih menekankan pada organisir massa dengan jumlah tertentu sebagai kekuatan revolusi itu sendiri.
Dalam konteks Reuni 212, aksi yang disebut untuk ajang silaturahmi umat muslim itu dipercaya oleh mereka terjadi tanpa ada kepentingan politis. Namun, dengan mengerahkan massa sedemikian besar tentu saja ada motif tertentu yang ingin ditunjukkan oleh umat yang dikomandoi oleh Rizieq Shihab tersebut. Rizieq memang terkenal dengan konsepsi mendorong NKRI Bersyariah yang mendorong penerapan syariat Islam di tataran hukum nasional.
Ada penafsiran jika salah satu tujuannya adalah menunjukkan eksistensi Islam adalah dengan cara mobilisasi massa turun ke jalan. Oleh sebab itu, sejalan dengan pendapat Ronald, keberhasilan politiknya harus diawali dengan persiapan yang matang serta strategi kampanye yang tidak bisa diremehkan.
Reuni 212 2018 adalah revolusi diam. Pisau bermata dua, bisa ke Pilpres 2019 bisa juga mengarah pada koreksi total. Karena revolusi diam yang tanpa tuntutan, maka konsentrasi massa itu bukan yang terakhir. Pasti akan muncul tuntutan sejatinya entah kapan momentumnya.
— andi arief (@AndiArief__) December 5, 2018
Dalam kadar tertentu, Reuni 212 memiliki agenda yang lebih dalam, atau dalam bahasa Andi Arief, sebuah koreksi total terhadap sistem. Bisa jadi, hal ini sejalan dengan garis politik yang dimiliki oleh Rizieq Shihab, yang sering ia dendangkan dengan kalimat “ayat suci di atas ayat konstitusi”.
Apa yang disampaikan tentang ayat suci dan konstitusi ini boleh jadi adalah inti dari sikap politik Rizieq.
Ayat suci adalah bagian yang intrinsik dari agama, sehingga kata-kata Rizieq tersebut bisa dimaknai sebagai seruan untuk “menggeser agama ke atas ayat konstitusi”. Rizieq juga menyebutkan bahwa Reuni 212 lahir dari “pertarungan ideologi” antara akidah – atau iman – tentang ayat suci di atas konstitusi, melawan propaganda tentang konstitusi di atas ayat suci.
Kata-kata tersebut tentu saja menarik karena menjadi perwujudan keinganan untuk menggeser haluan negara. Pertanyaannya adalah mungkinkah garis ideologi atau garis politik Rizieq ini dalam kadar tertenu merupakan bagian dari revolusi senyap?
Garis perjuangan politik Rizieq memang bisa dilihat dari tesisnya yang dibukukan dengan judul Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Buku ini memuat intisari pemikiran-pemikiran politik Rizieq yang memang ingin agar Indonesia menjalankan syariat Islam.
Buku yang disarikan dari tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia” itu mengukuhkan bahwa Pancasila yang menjadi dasar NKRI adalah Islami. Namun, hingga saat ini rezim yang berkuasa belum melaksanakan sistem menurut interpretasi Rizieq tersebut.
Oleh karenanya, Rizieq juga pernah menyebut agar perlunya perubahan strategi perjuangan umat Islam di Indonesia. Jalan itu adalah dengan revolusi. Revolusi yang dimaksud adalah revolusi damai, dengan menyiarkan ajaran agama agar penegakan syariat Islam berjalan di Indonesia.
Dalam konteks ini, Rizieq bisa jadi ingin melakukan revolusi senyap sebagaimana garis politik yang ia anut. Kekuatan umat Islam didorong untuk melakuan aksi-aksi “damai”, namun sejatinya penuh dengan unsur politis.
Jika mengacu pada analisa Ronald, apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut lebih dari sekedar nilai-nilai materialisme. Atau dengan kata lain revolusi senyap tersebut tidak berangkat dari persoalan ekonomi sebagaimana yang lazim terjadi pada aksi-aksi revolusi, melainkan lebih pada memperjuangkan nilia-nilai ideologi, dalam hal ini adalah Islam.
Selain itu, dengan mekanisme revolusi senyap ini, mereka lebih leluasa untuk melakukan “penetrasi” terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan dalih “membela” agama Allah. Bisa jadi, eskalasi gerakan ini akan terus meningkat, siapapun yang akan terpilih di 2019 nanti, entah itu Jokowi maupun Prabowo.
Berbahaya Bagi Demokrasi?
Jika mengacu pada awal kemunculannya, revolusi senyap lebih bernuansakan citra positif sebab tidak menggunakan kegaduhan dalam aksi politiknya. Misalnya saja revolusi senyap yang terjadi di Irlandia yang menginginkan diubahnya Undang-Undang aborsi.
Dalam kacamata demokrasi, Reuni 212 dan gerakan politik yang lainnya, merupakan sebuah kewajaran sebab demokrasi mengakomodir hal tersebut. Namun, yang mungkin meresahkan adalah jika revolusi senyap yang akan terjadi menimbulkan segregasi sosial.
Sebab, sebagaimana diketahui, aksi-aksi yang dilakukan kerap kali membawa atribut politik identitas untuk menyatakan pembedaan terhadap lawan politik.
Dampaknya, polarisasi kelompok muslim ini semakin tidak teratur, namun pada saat yang sama, memiliki daya tawar yang mungkin diklaim mewakili kepentingan muslim secara luas dan memungkinkan terjadinya politik transaksional kepada elite politik.
Bahkan, jika ada “peternak” politik yang mengawinkan kepentingannya terhadap sikap politik katakanlah yang digawangi oleh Rizieq itu, bisa saja aksi-aksi yang demikian bukan sekadar unjuk massa umat Islam, tapi bisa lebih lanjut menjadi momentum untuk gerakan politik tertentu.
Dalam konteks ini, bisa saja Reuni 212 – kabarnya akan terjadi lagi di bulan Februari 2019 mendatang – akan membahayakan demokrasi, dan dengan sendirinya akan memberikan pemaknaan terhadap revolusi senyap itu sendiri.
Oleh sebab itu, bisa jadi dugaan revolusi senyap yang terjadi pada Reuni 212 bukanlah isapan jempol belaka. Pertanyaannya adalah akan seperti apa aksi-aksi selanjutnya? Menarik untuk ditunggu. (A37)