Kehadiran Anies Baswedan di Reuni 212 dengan pakaian dinas menimbulkan pertanyaan. Makna simbolik apa yang ingin disampaikan oleh sang gubernur?
Pinterpolitik.com
“[E]very day is election day”
:: Norman Ornstein dan Thomas Mann, penulis The Permanent Campaign and Its Future ::
[dropcap]A[/dropcap]nies Baswedan tiba sekitar pukul 07.08 WIB di area Monas hari Minggu kemarin. Ia tampak mengenakan seragam PDH (pakaian dinas harian) kemeja putih. Kedatangan Anies juga diumumkan melalui pengeras suara oleh Ketua Persatuan Alumni (PA) 212 Slamet Ma’arif. Kala itu Slamet berpesan agar Anies dikawal oleh laskar karena terjebak di pintu Gambir. Setelah 30 menit, Anies tiba di pangung dan memberikan pidatonya.
Dalam kesempatan itu, Anies menyinggung capaian kinerjanya sebagai kepala daerah. Anies mengklaim kepemimpinannya selama setahun ini telah membuahkan hasil, seperti menghentikan reklamasi hingga merealisasikan janji DP 0 rupiah.
Anies menegaskan janji-janji itu bisa diwujudkannya tanpa melalui kekerasan. Ia mengklaim dirinya hanya perlu secarik kertas dan tanda tangan untuk merealisasikan janji tersebut.
Tentu saja kehadiran Anies menarik untuk diperbincangkan. Selain dirinya mendapatkan undangan dari panitia, ia juga merupakan gubernur terpilih dengan dukungan massa Aksi 212 yang kala itu berhadapan dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Nama terakhir adalah lawan Anies yang terkena kasus penodaan agama saat maju sebagai cagub di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, sekaligus alasan Aksi 212 digelar.
Kehadiran Anies menjadi penting sebab sebelumnya beradar kabar bahwa setelah menjadi gubernur, Anies sedikit demi sedikit berpaling dari massa yang pada 2016 membantu dirinya maju sebagai orang nomor satu di ibu kota ini.
Tentu pertanyaannya adalah apakah hal itu yang menjadi tujuan kehadiran Anies di acara Reuni Akbar 212? Lalu, mengapa ia mengenakan pakaian dinas pada acara tersebut?
Mempertahankan Kepercayaan
Bagaimanapun juga, Anies terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, salah satunya dipengaruhi karena adanya aksi berjilid-jilid yang melengserkan Ahok.
Dalam kadar tertentu, Anies turut melakukan apa yang disebut oleh jurnalis Sidney Blumenthal sebagai permanent campaign atau kampanye permanen. Kampanye permanen bisa diartikan sebagai perpaduan antara pencitraan dan strategi kampanye yang mengubah cara memerintah menjadi sebuah instrumen kampanye secara terus-menerus, sehingga dapat menjaga tingkat elektabilitas seorang politisi.
Menurut Profesor dari George Mason University, Hugh Heclo dalam artikel Campaigning and Governing: A Conceptus, semua orang yang telah terpilih pasti akan melakukan upaya agar dapat terpilih kembali pada pemilihan yang akan datang, setidaknya upaya itu bisa mempertahankan elektabilitasnya.
Proses agar menjaga elektabilitasnya ini dibuat dalam bentuk promise making dan promise keeping, di mana dalam situasi tertentu sang politisi menjanjikan program-program bagi kepentingan konstituennya.
Agar dapat terpilih kembali atau menjaga asa di kemudian hari, politisi tersebut berupaya menjalankan program yang pernah dijanjikannya, sehingga konstituen yakin atas hasil kinerja dan akan memilih sang politisi kembali.
Sebetulnya, acara Reuni 212 dapat terlaksana karena Anies. Melalui Pergub DKI nomor 186 tahun 2017, ia mengubah status Monas secara hukum yang sebelumnya dilarang untuk kegiatan keagamaan. Hal ini secara simbolis menunjukkan dukungan Anies terhadap Reuni 212.
GJI mengatakan Anies Baswedan melakukan politik balas budi terkait pemberian izin reuni 212 di Monas dan mendesak Anies mencabut izin tersebut karena acara reuni 212 tidak memiliki nilai sosia terhaadap kepentingan umum warga DKI Jakarta. #Reuni212Politis
— Fariz Nuansa Kharisma (@nuansa_fariz) December 3, 2018
Langkah Anies menghadirkan kembali kegiatan keagamaan di wilayah sekitar tugu setinggi 132 meter ini juga merupakan upayanya dalam memenuhi janji kampanye. Saat kampanye, salah satu janji yang ia jual adalah mengaktifkan kembali Monas untuk kegiatan keagamaan.
Selain itu, kehadiran Anies dalam Reuni Akbar 212 tersebut bisa jadi merupakan upaya untuk mempertahankan kepercayaan terhadap konstituen yang sudah berjasa terhadap dirinya. Anies dalam hal ini seperti kacang yang lupa ingat kulit.
Hal itu juga bisa terlihat dari pembeberannya terkait program kerja yang sudah dihasilkan dalam kurun satu tahun pemerintahannya. Hal ini memiliki pesan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang amanah.
Legitimasi Politik Anies
Baik disadari ataupun tidak, para tokoh-tokoh politik seringkali menggunakan pakaiannya sebagai sarana kampanye dan pernyataan politik. Sebab, politik kekuasaan sering kali membutuhkan alat untuk menunjukkan legitimasi politik. Alat itu bisa dalam bentuk bahasa maupun pakaian. Sehingga, bahasa dan pakaian dapat diguakan sebagai alat sekaligus simbol mempertahankan kekuasaan.
Dalam sebuah tulisan di The New York Times, Vanessa Friedman menyebutkan bahwa pakaian atau fashion dapat menjadi statement politik seseorang terhadap lawan bicaranya. Ia menggunakan contoh istri mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama, Michelle Obama yang kerap menggunakan pakaian untuk diplomasi politik.
Misalnya saja saat ia bertemu dengan Melania Trump untuk pertama kali di Gedung Putih, ada pesan tersembunyi dari gaun ungu bergaris oranye terang yang dipakai Michelle saat itu. Vanessa menilai bahwa warna ungu tua digambarkan sebagai pesan bersatu untuk rakyat AS yang sempat terpecah karena Pemilu.
Ungu adalah gabungan warna biru yang melambangkan Partai Demokrat dan warna merah yang melambangkan Partai Republik. Sementara oranye terang adalah gambaran matahari yang jadi simbol era baru.
Sementara, dalam kasus Anies, ia terlihat memakai pakaian dinas dengan atasan berwarna putih dan celana berwarna biru gelap. Pakaian itu berbeda dengan baju yang dikenakan Anies saat menghadiri acara Reuni 212 pada tahun lalu. Saat itu, Anies memakai baju koko.
Menurut Anies, dengan mengenakan baju dinas, justru menunjukkan kehadirannya di acara itu dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tentu saja pernyatan Anies itu merupakan sikap yang cerdas.
Di satu sisi, sikapnya itu menyiratkan bahwa dirinya berada di luar kepentingan politis Reuni 212 yang dituding oleh banyak pihak berkaitan dengan konteks Pilpres 2019. Di lain sisi, dengan pakaian dinas tersebut ada pesan tersurat bahwa Anies sedang menunjukkan supremasi dirinya terhadap ibu kota negara.
Pakaian dinas tersebut merupakan pakaian resmi yang menjadi identitas gubernur. Anies yang datang menggunakan seragam dinas itu, ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang gubernur yang menjadi pilihan massa yang hadir.
Hal ini juga menjadi pertanda sebagai show of Anies yang pada Pilkada lalu mengalahkan Ahok. Dalam kadar tertentu, sikap Anies ini merupakan sikap politik unjuk kekuatan, terutama di hadapan para konstituennya.
Modal Pilpres 2024?
Agenda Reuni 212 ini sulit bila dikatakan tidak terkait dengan politik. Sebab, yang hadir mayoritas adalah tokoh dari partai politik yang saat Pilgub DKI 2017 mendukung Anies dan kini menjadi pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Kegiatan itu bahkan menjadi sarana penyaluran ekspresi yang tepat bagi kelompok-kelompok yang selama ini merasa tidak mendapatkan tempat di pemerintahan. Maka tak heran, bila sejumlah pejabat dan tokoh politik yang selama ini dikenal kontra terhadap pemerintahan Jokowi terlihat hadir dalam acara tersebut.
Hal itu berlaku pula untuk Anies. Apa yang disampaikan mantan Mendikbud itu bisa dimaknai sebagai upaya untuk mencari dukungan. Sebab, forum seperti itu menjadi momentum yang baik untuk menyampaikan pesan.
Anies lakukan promise keeping saat reuni 212. Share on XTentu saja, aksi curi panggung Anies bisa menjadi alat mencari top of mind awareness yang merupakan istilah marketing untuk melakukan branding sebuah produk. Semakin tinggi nilai produk tertentu dalam benak konsumen, maka akan semakin kuat merek tersebut. Dalam hal ini, Anies sedang memainkan peran ini agar popularitasnya semakin meningkat dengan “laporan pertanggung jawaban” alias ujaran pencapaiannya.
Menurut peneliti dari Columbia School of Journalism, Jonathan Stray, ada keterkaitan antara penyebutan seorang tokoh politik di dalam media dengan popularitas yang akan ia dapatkan. Sejalan dengan Jonathan, Sergio Zyman dalam The End of Marketing as We Know It, mengatakan merek lebih dari sekedar apa yang seorang makan atau minum.
Dalam hal ini Sergio ingin menunjukkan bahwa hal utama dalam membangun sebuah brand adalah dengan menerapkan strategi yang mumpuni, sekalipun hal tersebut tidak populer dan kontroversial.
Dalam konteks Anies, ia sebenarnya sedang memainkan perannya sebagai figur politik yang sedang membangun sebuah citra untuk menaikkan daya tawarnya dalam panggung politik nasional. Anies, meminjam istilah Profesor Kakhaber Djakeli, seolah sedang berperan sebagai “Zorro” dalam upaya membangun brand awareness terkait konteks marketing politiknya.
Zorro bisa dimaknai sebagai seorang politisi yang sangat dinantikan kehadirannya oleh pendukug setianya. Masyarakat sangat berharap banyak padanya, dan dalam kurun tertentu harus menunjukkan hasilnya pada publik. Anies, seperti yang sudah diketahui, didukung oleh massa Reuni 212, “seperti” memiliki kewajiban untuk melaporkan hasil kerjanya dalam kurun satu tahun terakhir. Apalagi kinerja yang dilaporkan merupakan janji politik pada saat kampanye kepada umat Islam, katakanlah seperti program DP rumah nol rupiah, pengehtian reklamasi, serta penutupan tempat maksiat.
Maka dari itu, jika dilihat lebih jauh, sikap Anies tersebut merupakan “tabungan” modal politik yang mungkin digunakan untuk maju kembali pada tahun 2024, sebagai kepala negara, atau wakil kepala negara. Siapa yang tahu? Konteks Pemilu 2024 terbuka untuk semua calon baru, termasuk Anies. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A37)