HomeNalar PolitikReuni 212, Ahok-isasi Jokowi?

Reuni 212, Ahok-isasi Jokowi?

Tujuan mendelegitimasi pemerintahan Jokowi dalam acara Reuni 212 nampaknya memiliki banyak tantangan


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]ejak dini hari pada hari Minggu, 2 Desember 2018, gegap gempita acara Reuni akbar 212 berkumandang di seluruh pelosok Jakarta.

Kawasan Monumen Nasional (Monas) kembali dipadati oleh lautan manusia massa Reuni 212 yang dihadiri oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Monas berhasil diputihkan oleh para peserta yang kompak mengenakan baju serba putih, lengkap dengan atribut seperti bendera merah putih, bendera Palestina, hingga bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Sejumlah elite politik dari koalisi Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, juga tak kalah antusias dalam menghadiri acara ini. Sebut saja Zulkifli Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ahmad Heryawan, Eddy Soeparno, hingga Anies Baswedan menjadi tamu kehormatan.

Tentu Reuni 212 tidak bisa dianggap remeh oleh kubu petahana. Meskipun kegiatan ini pada awalnya sebagai simbol yang bertujuan untuk mempersatukan ukhuwah umat muslim di seluruh Indonesia, semangat gerakan anti pemerintah lebih terasa menyelimuti kegiatan yang melibatkan jumlah massa yang cukup besar ini.

Bahkan harian Singapura The Straits Times, menggambarkan kegiatan reuni 212 sebagai ajang konsolidasi kelompok Islam garis keras dengan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto.

Lalu bagaimanakah dampak politik yang ditimbulkan oleh kegiatan reuni ini? Benarkan pasca reuni 212 kekuatan politik Prabowo akan semakin terkonsolidasikan? Mungkinkah gerakan ini berhasil meng-Ahok-isasi Jokowi di Pilpres 2019 nanti?

Reuni 212, Suara Rakyat atau Suara Politisi?

Meski dilabeli sebagai upaya akomodasi suara umat untuk menciptakan ukhuwah islamiyah, Reuni 212 tetap terasa sebagai panggung bagi Prabowo menjelang Pilpres 2019 dibandingkan dengan. Hal tersebut dipertegas dengan kehadiranya di kawasan Monas pada Minggu kemarin.

Naif jika tak mengaitkan reuni 212 dengan tujuan politis. Begitu ungkapan yang dikeluarkan oleh politisi Gerindra sekaligus wakil ketua DPR RI, Fadli Zon.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Anggota Badan Pemenangan Prabowo – Sandiaga, Andi Arief yang menilai muatan politis pasti tidak terhindarkan dalam acara tersebut.

Dalam aksi tersebut, bisa saja ada tujuan politik yang coba dilakukan oleh para elite politik melalui manipulasi secara psikologis. Bagaimana hal tersebut terjadi?

Kapitalisasi fanatisme agama masyarakat masih menjadi senjata yang pada akhirnya sangat mudah dimanfaatkan oleh politisiOleh karena itu, aksi Reuni 212 tergolong rentan dijadikan mobilisasi gerakan anti pemerintah yang dibalut dengan narasi persatuan umat islam.

Dalam konteks gerakan sosial, hal ini sejalan dengan pendapat Eric Hoffer dalam bukunya yang berjudul The True Believer: Thoughts On The Nature Of Mass Movements  yang berpendapat bahwa  tujuan gerakan massa dapat dipertukarkan meskipun tujuan atau nilai dari masing-masing individu berbeda  dan dalam kadar tertentu, motivasi untuk gerakan massa dapat menyesuaikan dengan kepentingan kolektif yang terbentuk.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dalam Reuni 212 kemarin, narasi persatuan umat dengan mudahnya diisi pula dengan narasi 2019 ganti presiden yang terdengar dari gema yang disuarakan oleh para peserta reuni.

Hoffer menambahkan bahwa gerakan massa biasanya dimulai dengan “keinginan untuk perubahan” yang meluas dari orang-orang yang tidak puas yang menempatkan lokus kontrol mereka di luar kekuasaan.

Sehingga, massa tipe tersebut sudah matang untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan yang menawarkan pilihan dan kemudian melibatkan diri mereka ke dalam aksi kolektif yang lebih besar.

Hoffer menambahkan, sosok pemimpin sangat penting dalam sebuah gerakan massa. Meskipun demikian, mobilisasi gerakan massa harus bertumpu pada hal-hal yang menyentuh realitas masyarakat. Hoffer juga menyebut bahwa gerakan massa biasanya merupakan perpaduan ide-ide nasionalis, politik dan agama.

Terlebih, seruan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab secara frontal telah menyerukan keharusan memilih calon presiden yang direkomendasikan ole Ijtima Ulama, dan secara eksplisit hal ini merujuk pada sosok Prabowo Subianto.

Meskipun kini ia berada di luar negeri, seruan politiknya bisa jadi masih memiliki magnet untuk semakin menguatkan fanatisme dan perasaan kolektivisme bagi peserta yang hadir di Monas, Minggu kemarin, terutama bagi pendukung utama Prabowo.

Selain itu, dampak dari adanya pengerahan masa ini adalah permainan psikologis yang masih menempatkan seolah-olah Prabowo didukung oleh suara umat Islam.

Klaim ini yang coba diglorifikasi oleh Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, yang menyebut bahwa Reuni 212 dapat menyumbang jutaan suara dan juga bisa menarik pemilih baru untuk Prabowo-Sandiaga.

Lalu benarkah bahwa Reuni 212 akan berdampak signifikan bagi peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi? Mungkinkah kubu petahana kini ketakutan menghadapi dampak psikologis pengerahan masa yang begitu luar biasa di hari minggu kemarin?

Ahok-isasi Jokowi?

Tujuan mendelegitimasi pemerintahan Jokowi dalam acara reuni 212 nampaknya memiliki banyak tantangan.

Jika belajar dari kekalahan Ahok, menurut Marcus Mietzner bersama Burhanudin Muhtadi dan Rizka Halida dalam jurnal yang berjudul Entrepreneurs of Grievance Drivers and Effects of Indonesia’s Islamist Mobilization setidaknya ada tiga alasan yang berhasil menjadi senjata politik untuk menumbangkan gubernur petahana, Ahok pada pilkada DKI 2017 melalui aksi bela islam berjilid-jilid.

Pertama adalah mobilisasi Islam yang dilakukan oleh pemimpin layaknya Habib Rizieq dan yang lainya. Kedua adalah sentimen ekonomi yang kembali terbangun antara etnis Tionghoa dan pribumi yang dikerucutkan dalam narasi ketimpangan ekonomi antara muslim dan non-muslim.

Dan yang terakhir adalah adanya entrepreneur politik di belakang aksi demonstrasi yang berharap keuntungan elektoral dari kondisi tersebut.

Ketiga indikator tersebut  menjadi latar belakang kuat dimana berhasil menciptakan narasi kolektif untuk mengecam tindakan penistaan agama yang dituduhkan kepada mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di tahun 2016. Bahkan melengserkannya dari kursi kekuasaan.

Namun, dalam konteks reuni 212, jika memang agenda reuni 212 diarahkan menjadi Ahok-isasi Jokowi, nampaknya harus memenuhi tiga kriteria yang digambarkan Mietzner dan kawan-kawan. Sementara dalam aksi kemarin, tak sepenuhnya tiga kriteria tersebut muncul.

Memang secara eksplisit, sosok Habib Rizieq masih menjadi provokator mobilisasi massa yang secara lantang menyerukan untuk gerakan memilih Prabowo-Sandi dalam gelaran pesta demokrasi tahun depan.

Namun selain itu, narasi sentimental yang lain seperti ketimpangan ekonomi dan adanya elite yang bermain mengkapitalisasi aksi reuni tersebut tidak terlalu signifikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa memang Reuni 212 tak memiliki signifikansi tujuan politik.

Kapitalisasi isu ekonomi untuk tujuan politik tentu sulit untuk dilakukan oleh para penggerak aksi reuni 212 mengingat petahana memiliki cukup alibi  untuk mengonter isu bahwa ekonomi saat ini sedang baik-baik saja atau bahkan sedang membaik.

Sehingga isu ketimpangan sangat sulit untuk dijadikan narasi menyerang petahana.Peluang untuk mengeskalasi menjadi seperti pada kasus Ahok bisa saja terjadi. Hal ini terkait dengan unsur political entrepreneur yang diungkapkan oleh Mietzner dan kawan-kawan.

Benarkah bahwa Reuni 212 akan berdampak signifikan bagi peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi? Share on X

Pada Reuni 212 lalu, memang tidak jelas apakah ada yang memobilisasi massa atau tidak. Akan tetapi, acara tersebut menjadi gambaran bahwa massa 212 sudah terkonsolidasi.

Oleh karena itu, mudah bagi political entrepreneur untuk mengarahkan mereka menjadi sesuatu yang menguntungkan Prabowo secara politik elektoral.

Pada akhirnya, isu bahwa aksi ini hanya sekedar menjadi acara romantisme nostalgia 2016 mungkin saja menjadi lebih relevan. Terlebih, berbagai agenda politik menjadi sedikit tertahan karena terkait dengan aturan kampanye.

Terlepas dari kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan yang kini harus diwaspadai petahana adalah glorifikasi bahwa seolah-olah Prabowo didukung oleh kelompok Islam yang kini sedang memenuhi lini masa media sosial. (M39)

Baca juga :  Semakin Sulit Megawati Percaya Puan?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?

Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hilangkan kewajiban ambang batas presiden (PT). kesempatan Anies untuk “ancam” pengaruh Jokowi?

Semakin Sulit Megawati Percaya Puan?

Kongres 2025 PDIP sudah di depan mata. Akankah ada pergantian pucuk kepemimpinan, atau terlalu dini bagi Megawati Soekarnoputri untuk mencari pengganti dirinya?  

Prabowo & Drama Pinggir Jurang 2025?

Di menit krusial, Presiden Prabowo Subianto akhirnya merespons dua isu penting, yakni vonis “agak laen” kasus korupsi timah dan menegaskan kebijakan pemberlakuan PPN 12 persen. Hal itu agaknya sedikit mengurangi tekanan psikologis kolektif rakyat +62 dalam dimensi sosial, ekonomi, hingga poliik jelang pergantian tahun yang dinilai nyaris berada di titik nadir dan bisa saja menjadi pangkal instabilitas.

Filosofi ‘Kecoa’ ala Anies Baswedan?

Anies Baswedan dinilai bakal jadi salah satu politikus paling “susah dimatikan” kariernya. Bagaimana Anies bisa bertahan tanpa jabatan politik?

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...