Pilkada sudah usai, namun pengerahan massa, isu SARA, politisasi agama, masih saja santer didengungkan. Apakah negara ini akan terjebak kembali dalam tirani mayoritas?
PinterPolitik.com
“Kita semua yang prihatin terhadap perdamaian serta kemenangan penalaran dan keadilan harus benar-benar sadar, betapa kecil pengaruh penalaran dan kemauan baik yang tulus mempengaruhi peristiwa dalam dunia politik.” ~Albert Einstein
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Selasa, 2 Mei kemarin, ada sebuah isu yang kurang menyenangkan muncul dan ramai dibahas publik. Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu mengungkapkan sejumlah fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah di Singkawang dan Salatiga, di mana para murid mengaku enggan dipimpin oleh ketua OSIS yang memiliki keyakinan berbeda dengan mereka.
Dalam acara yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, Henny mengungkapkan kalau ada keengganan murid dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama. Kondisi ini, lanjutnya, merupakan imbas Pilkada DKI Jakarta yang cukup kontroversial. “Pilkada ini, momentum yang imbasnya kemana-mana,” katanya, terkait isu SARA yang menimpa cagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berkeyakinan non muslim.
Penolakan dengan pengerahan massa besar-besaran dan penggunaan ayat untuk menolak pemimpin beda agama, pada akhirnya memberikan pemahaman yang salah pada anak-anak. Pola pikir mereka jadi ikut terbangun dengan konsep intoleransi, yaitu ajaran yang menganjurkan untuk memiliki pemimpin yang seagama. Keyakinan ini, ditakutkan akan mempengaruhi sikap toleransi mereka dalam menjaga kesatuan dan keberagaman.
Menurut penulis buku “Hate Spin”, Cherian George, hasutan kebencian ini sudah menjadi fenomena global. “Kita bisa lihat di beberapa belahan dunia, banyak protes yang mengandung hasutan penghinaan, saat pembangunan tempat ibadah misalnya,” kata George, seperti dikutip Tempo Live yang mengusung tema “Kebencian Berbasis Agama dan Tantangannya bagi Demokrasi”, Selasa (2/3).
Menurutnya, terlalu naif jika kita percaya kalau hasutan kebencian akan berhenti seiring dengan berhentinya masa-masa pemilihan umum. “Pasalnya, ini akan menjadi masalah jangka panjang jika terus dibiarkan,” ujarnya. Ia berpandangan, negara tidak boleh diam dan tidak melakukan apa-apa dalam mengatasi permasalahan tersebut. Meskipun sulit, pemerintah harus bergerak aktif dalam memerangi intoleransi.
Intoleransi Terjadi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS yang Beda Agama https://t.co/GfuoILAnpG
— Kompas.com (@kompascom) May 2, 2017
Kekuatan Rakyat
“The power of the people is much stronger than the people in power.” ~ Wael Ghonim
Kekuatan rakyat lebih kuat daripada orang-orang yang berkuasa, begitulah kata salah satu penggerak demonstrasi pro-demokrasi Mesir, ia menjadi figur internasional karena membantu menyebarkan revolusi negaranya melalui media sosial di tahun 2011. Kekuatan rakyat atau people power, menurut Peneliti Senior Lingkar Survei Indonesia Denny JA, juga bekerja pada Pilkada Jakarta yang baru lalu.
Denny menilai, Pilkada Jakarta kemarin sebenarnya yang bertarung adalah kandidat yang sama sah dan legalnya. “Mereka sama-sama tokoh baik dan tokoh pujaan di mata pendukung masing-masing. Ini bukan Good versus Evil. Ini Baik versus Baik di mata penyokong masing-masing,” terangnya, namun ternyata banyak pihak di luar wilayah pemilih yang juga ingin menggulingkan Ahok, sehingga timbullah gerakan people power.
Denny melihat, Ahok dikalahkan oleh sebuah momen yang tidak direkayasa oleh satu-dua orang, tapi sinergi dari aneka variabel, baik yang dirancang ataupun yang tak terduga. “Walau kinerjanya sebagai gubernur baik, Ahok tidak mencontohkan pemimpin dengan pernyataan publik yang terjaga. Ia seorang manajer kota yang kuat, Tapi Ahok sangat tumpul kecerdasan emosionalnya, membuat pernyataan emosional tak perlu,” terangnya.
Pendapat Denny ini disetujui oleh pengamat politik dari lembaga Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menurutnya di masa kini tekanan publik tak bisa dianggap remeh. Hal tersebut diungkapkan sebagai people power atau kekuatan rakyat melalui aksi unjuk rasa di tanggal-tanggal cantik yang banyak disponsori FPI, FUI, bahkan forum ulama sendiri. Pangi menilai, aksi-aksi massa ini mampu mengintervensi stigma masyarakat, terutama terhadap kasus penodaan agama yang membelit Ahok.
Hati-hati…… https://t.co/uR9skkcLiF
— Junaidi Chaniago (@Junaidi_Chaniag) May 3, 2017
Munculnya Tirani Mayoritas
“Tanggung jawab kelompok mayoritas adalah melakukan suatu eksperimen di bawah pengawasan kelompok minoritas. Apabila kelompok-kelompok mayoritas menyombongkan diri sebagai berhak mengabaikan minoritas, mereka telah menjadi tirani. Mayoritas yang tidak toleran, yang dipengaruhi oleh nafsu ataupun ketakutan, akan menjadi sebab demokrasi kehilangan kebebasannya.”
Kalimat di atas merupakan buah pemikiran dari sosiolog, sejarawan, sekaligus ilmuwan politik asal Prancis, Alexis de Tocqueville. Dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi di Amerika” (1835), ia menyimpulkan bahwa demokrasi yang berprinsip “one people, one vote” bisa menciptakan tirani. Kebebasan yang diberikan kepada tiap individu justru berpotensi menciptakan anarkisme (dalam arti yang negatif). Suara mayoritas bisa menjadi momok menakutkan bagi kesetaraan dan toleransi.
Menurut akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang M.Si, munculnya tirani ini terlihat jelas saat Pilkada DKI lalu, karena memasung hak politik kaum minoritas dari kelompok mayoritas dengan mempergunakan ayat suci untuk menolak pemimpin yang bukan dari agama mayoritas.
“Fenomena Pilkada DKI Jakarta akan memasung hak politik kaum minoritas dan ke depan, akan kita saksikan penolakan kaum minoritas yang hidup di wilayah mayoritas di negeri ini,” kata Ahmad yang juga menilai, kampanye untuk tidak memilih pemimpin non muslim bertentangan dengan semangat demokrasi egaliter.
Hak politik kaum minoritas, menurutnya, terpasung oleh fenomena Pilkada DKI Jakarta lalu. “Elit kita telah melegalkan praktik politik sektarianisme, sehingga yang akan muncul adalah tirani mayoritas atas minoritas,” tukasnya. Ini menciptakan paradoks, di mana kekuatan mayoritas dibutuhkan untuk mempertahankan demokrasi, sementara di sisi lain, tirani mayoritas dapat menghancurkan demokrasi.
Ketua Setara Institut Hendardi juga menyatakan kekhawatirannya, karena saat Pilkada DKI Jakarta lalu, masjid-masjid digunakan untuk kampanye dan penyebaran kebencian atas dasar SARA yang begitu merajalela. “Semestinya elemen-elemen kunci dalam tubuh negara segera menyusun langkah bersama, memastikan situasi serupa tidak terulang dalam Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Legislatif dan Presiden pada 2019,” katanya.
Oleh karena itu, ia mendukung seruan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin tentang ceramah di rumah ibadah yang dirilis 28 April lalu. Hendardi melihat seruan tersebut merupakan salah satu cara untuk menghentikan ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang dapat mengarah pada kejahatan kebencian (hate crime). Termasuk seruan yang melarang penggunaan tempat ibadah sebagai sarana kampanye politik praktis, sebagaimana terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta lalu.
“Seruan sebagaimana dimaksud, tidak mengganggu kebebasan berpendapat dan berekspresi karena kebebasan tersebut merupakan hak yang bisa dibatasi (derogable rights), karena mengandung unsur-unsur yang berpotensi mengganggu ketertiban sosial,” kata dalam keterangan pers, Senin (1/5).
Pedang Bermata Dua Reformasi
“Jika Anda membiarkan suara ekstrim, dari pihak manapun, untuk menguasai diskursus, Anda sedang menunggangi harimau.”
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Sekjen Amnesty International, Salil Shetty ketika berkunjung ke Jakarta, 23 Maret lalu, terkait perlindungan hak-hak warga minoritas dari aliran fundamentalisme yang semakin marak di Indonesia.
Selain kasus Ahok, Shetty juga menyoroti kasus pengusiran penganut Ahmadiyah, Syiah, hingga Gafatar. “Di era Jokowi, kami mencatat sedikitnya 10 kasus, termasuk yang menyeret Gubernur Jakarta. Ini sangat berbahaya. Ibarat harimau dilepaskan, Anda tidak dapat mengendalikannya.”
Sementara Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani melihat, reformasi Indonesia memunculkan tren aneh terkait soal SARA. Semangat kebebasan yang diusung justru menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, membebaskan warga negara memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Namun di sisi lain, kebebasan itu dimanfaatkan oleh kelompok ultra-fundamentalis untuk menekan kelompok lain yang tidak berpandangan sama dengan mereka.
“Kelompok ini menggunakan seluruh saluran demokratis produk reformasi, tetapi untuk memperjuangkan nilai-nilai anti demokratis,” kata Ismail. Sehingga tidak jarang, terjadi perilaku intoleran alias tidak bertenggang rasa yang berujung kepada konflik horizontal. Seakan ada poros baru yang muncul dan perilakunya menyimpang dari cita-cita reformasi.
Api intoleran yang dulu selalu diredam lewat pemaksaan dan penyeragaman oleh pemerintah Orde Baru, menjadi besar karena isu kebebasan yang dibawa reformasi. Akibatnya, kekerasan mengatasnamakan SARA pun terjadi. Pelembagaan intoleransi juga terjadi karena diskriminasi dilegalkan secara hukum. Isu agama pun menjadi lumrah terjadi.
“Sisi sosial kita saat ini memang terancam. Ada politik penyeragaman yang mengatasnamakan agama dan moralitas. Seluruh kegiatan politik sosial ditakar oleh moral publik dan menyeret nama agama, yang nilai moralnya sendiri tidak bisa diverifikasi dengan mudah,” lanjut Ismail.
Dalam pandangan Salil, Indonesia perlu membenahi penerapan HAM di lingkup domestik sebagai langkah awal menuju wajah baru Islam. “Pemerintah perlu menghormati hak-hak kelompok minoritas di dalam negeri, seperti kelompok agama Ahmadiyah, Gafatar, dan Syiah. Mereka memiliki hak yang sama seperti Sunni, Kristen, dan setiap mereka mesti dilindungi,” jelasnya.
Ia juga meminta Jokowi untuk mempromosikan Islam dengan makna sebenarnya, sesuai dengan ajaran agama, bukan dalam bentuk ekstrim. “Indonesia selalu dengan moderat Islam, menerapkan nilai-nilai Islam, menghormati semua agama dengan kesetaraan,” imbuh Salil yang tidak mempermasalahkan penggunaan hukum selama sesuai dengan ketentuan internasional. Berikan pendapatmu!
(Berbagai sumber/R24)