Seri pemikiran Fareed Zakaria #11
Latar belakang di balik normalisasi penuh hubungan diplomatik Israel-Uni Emirat (Arab) UEA semestinya dapat merekonstruksi perspektif Indonesia, termasuk terkait alternatif konstruktif bagi isu Palestina. Lantas, seberapa besar keuntungan dan peluang bagi Indonesia jika membuka hubungan diplomatik dengan Israel?
Kesepakatan bilateral monumental antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) masih menimbulkan beragam respon dan kalkulasi geopolitik dunia meski telah berlangsung lebih dari sepekan.
Dalam sebuah wawancara dengan Fareed Zakaria dalam The Global Public Square (GPS) di CNN baru-baru ini, penasihat senior Gedung Putih, Jared Kushner optimis jika normalisasi hubungan diplomatik kedua negara akan diikuti oleh negara lain di masa yang akan datang.
Kini tinggal tersisa 31 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tidak menjalin hubungan diplomatik dengan negeri Ben Gurion dengan berbagai latar belakang perhitungan matematis secara politik.
Tentu kalkulasi final UEA atas isu Palestina, perseteruan regional dengan Iran, hingga pergeseran visi salah satu negara vital di Timur Tengah menjadi variabel menarik diskursus atas komparasi dan proyeksi serupa bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Di tanah air sendiri, pernyataan resmi pemerintah melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi agaknya mengindikasikan bahwa status quo posisi Indonesia selama ini akan tetap dipertahankan. Ya, “agresi” Israel terhadap Palestina dinilai menjadi batu sandungan besar bagi jalinan diplomatik dan solidaritas dengan kedua negara tersebut.
Sebuah tulisan di The Diplomat berjudul What Does the Israel-UAE Agreement Mean for Indonesia? pun turut mengatakan bahwa relasi Indonesia dan Israel tidak akan banyak berubah dari hari ini, meski terdapat “hubungan senyap” dengan Israel – baik di bidang perdagangan, pertahanan dan keamanan, militer, hingga pariwisata – yang nyatanya juga bukan rahasia lagi bagi sejumlah kalangan di dalam negeri.
Berdasarkan sejarahnya dan hingga detik ini, Indonesia dan Israel pun memang memiliki kerja sama “diplomatik tak resmi” pada berbagai aspek yang diduga kuat dilakukan semata-mata excuse terhadap sensitivitas isu Palestina pada level domestik.
Berbagai kerja sama di bidang intelijen dan militer era Soeharto sampai progresivitas moderasi paradigma ala Gus Dur terkait hubungan dengan Israel menasbihkan bahwa terdapat sisi positif yang sesungguhnya dapat dimaksimalkan bagi kepentingan Indonesia, termasuk yang dapat berkorelasi konstruktif bagi Palestina.
Lantas, mengapa Indonesia tidak jua terbuka dan merealisasikan hubungan diplomatik konkret dengan Israel, tanpa meninggalkan kepentingan atas isu Palestina, seperti yang UEA baru saja lakukan?
Terjebak “Backstreet” Zone?
Pernyataan terakhir dari Menlu Retno terkait posisi Indonesia terhadap normalisasi Israel-UEA agaknya memperpanjang atmosfer hubungan antar negara yang telah ada sebelumnya.
Istilah “backstreet” atau hubungan antara sepasang kekasih yang menjalin hubungan cinta namun terpaksa agar jalinan hubungan tersebut tidak ada yang mengetahui karena beragam ganjalan di permukaan tampaknya tepat untuk menggambarkan hubungan Indonesia dengan Israel.
Jika beberapa kalangan menyebutnya dengan quite ally atau sekutu senyap, tak keliru juga jika istilah “backstreet” di atas menjadi status hubungan antara Indonesia dan Israel selama ini.
Dalam sebuah review essay berjudul Realism and Domestic Politics, Fareed Zakaria berusaha menjawab celah tulisan Jack Synder berjudul Myths of Empire: Domestic Politics and International Ambition dan menggunakan pendekatan realis dalam melihat pengaruh dua arah antara innenpolitik atau kebijakan dalam negeri dan aussenpolitik atau kebijakan luar negeri secara lebih mendalam.
Zakaria menyebut bahwa penting untuk melihat kebijakan luar negeri sebuah negara melalui faktor sistemik, domestik, dan pengaruh lainnya, di mana hal itu akan menjelaskan aspek kebijakan apa yang dapat dijelaskan oleh faktor tertentu.
Sari tulisan Zakaria tersebut dapat menjadi panduan dalam menjawab bahwa terdapat faktor sistemik dalam negeri yang esensial di balik hubungan backstreet Indonesia dan Israel selama ini.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, secara sistemik Indonesia tidak ingin memprovokasi mayoritas rakyatnya ketika Israel jamak dianggap sebagai agresor dan zalim terhadap Palestina yang acapkali dinarasikan sebagai saudara seagama.
Terlebih Indonesia dinilai semaksimal mungkin menghindari provokasi kalangan beraliran radikal, yang kemudian membawa kita sampai pada postulat bahwa satu-satunya alasan di balik hubungan Indonesia dan Israel adalah eksistensi Palestina.
Akan tetapi, masih dalam publikasi yang sama, Fareed Zakaria mengutip konsep historical dan ahistorical realism yang dikemukakan oleh Bary Posen, di mana menyebutkan bahwa kombinasi aspek historis plus dinamika kontemporer dapat pula berpengaruh signifikan pada kebijakan luar negeri sebuah negara.
Dan realitanya, berdasarkan aspek historis dan ahistoris, Indonesia dan Israel sendiri memiliki hubungan dua arah yang cukup konstruktif. Selain di bidang kunjungan turis dan wisata religi, terdapat beberapa faktor yang semestinya dapat membuat Indonesia meninjau ulang hubungan “backstreet” dan mempertimbangkan hubungan “go public” dengan Israel.
Pertama, pada era Orde Baru kerja sama militer dan intelijen terjalin dengan pesat. Puncaknya, skenario “menyelundupkan” pesawat Douglas A-4 Skyhawk dari Israel pada 1979 terekam dan menjadi romansa hubungan kedua negara pada masa kepemimpinan Soeharto.
Kedua, mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang berasal dari kalangan religius muslim pun dinilai mewariskan semangat yang sama dengan Pak Harto. Bahkan pada tahun 2001, Gus Dur secara terang-terangan mewujudkan hubungan dagang Indonesia-Israel, meskipun tanpa adanya hubungan diplomatik.
Ketiga, hubungan bisnis – ekspor dan impor – kedua negara terus terjalin. Dan pada tahun 2018, angka ekspor komoditi Indonesia ke Israel mencapai sekitar US$13 juta atau sekitar Rp285 miliar. Sementara impor Indonesia sendiri mencapai US$103,1 juta atau berkisar Rp1,6 triliun.
Terlebih pada aspek ahistoris kekinian, yang berupa tantangan pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya, dapat menjadi salah satu faktor pendukung kala setiap negara sedang berusaha memaksimalkan setiap jengkal peluang kerja sama produktif di bidang ekonomi hingga kerja sama riset terkait Covid-19, persis seperti yang UEA lakukan.
Plus, di setiap era kepemimpinan telah lama pula Israel mendambakan hubungan serius ke jenjang yang lebih konkret dengan Indonesia, termasuk pada masa Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.
Dengan rangkaian tendensi tersebut, bagaimana kiranya bentuk realisasi hubungan diplomatik Indonesia dan Israel yang dapat memuaskan semua pihak?
Persoalan “Nyali”?
Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad menjelaskan bahwasanya negara mampu untuk mengontrol persepsi dan perilaku publik dengan mendorong narasi dan maupun rasionalisasi kebijakan yang positif bagi kepentingan tertentu dalam sebuah konsep yang disebut modernization paradigm.
Dengan rasionalisasi aspek historis dan ahistoris yang telah dijelaskan di atas, Indonesia semestinya mampu untuk melakukan modernization paradigm dalam kebijakan luar negeri serta yang terkait dengan hubungan diplomatik dengan Israel.
Presiden Gus Dur yang didukung Menlu Alwi Shihab, dinilai menjadi sosok yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif Indonesia secara jelas dan tidak ambigu. Keduanya berangkat dari gagasan sederhana yakni Indonesia mustahil bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan kedua negara.
Artinya jika hubungan diplomatik Indonesia dan Israel terwujud, terdapat kepentingan taktis yang dimiliki Indonesia yaitu dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah dan menciptakan modernization paradigm berupa perspektif baru yang membedakan antara Arab, Yahudi, Israel, dan Islam.
Namun apa mau dikata, Gus Dur keburu dilengserkan lawan politiknya di dalam negeri sebelum hubungan diplomatik secara konkret dengan Israel benar-benar terlaksana.
Mempertahankan status quo Indonesia terhadap Israel plus Palestina seperti yang disampaikan oleh Menlu Retno sebelumnya justru selama ini tidak terbukti positif mengurangi penderitaan rakyat Palestina, ketika Israel tampak unstoppable atau tak terhentikan.
Modernization paradigm seperti yang dilakukan di era Gus Dur itulah yang semestinya dibisikkan oleh Menlu Retno kepada Presiden Jokowi. Sebagai referensi utama di bidang luar negeri, kalkulasi dari seorang Retno tentu dapat berpengaruh pada kebijakan luar negeri Indonesia secara umum.
Kekhawatiran akan terprovokasinya kelompok radikal tentu dapat dinegasikan dengan pendelegasian problem solving dari aparat penegak hukum di tanah air untuk menghadapinya. Persoalan sesungguhnya justru dinilai ada di “nyali” pemerintah.
Ya, sebuah nyali untuk berani membuka peluang progresivitas baru serta membuat perubahan terhadap status quo yang selama ini tampak tak berpengaruh pada Palestina. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.