Terdapat satu kabar menarik saat kudeta Ketua Umum (Ketum) PPP dari Suharso Monoarfa kepada Muhamad Mardiono tampak direstui oleh Istana dan pihak intelijen. Benarkah demikian?
Peran Istana dan intelijen disebut eksis dalam proses pergantian Ketua Umum (Ketum) PPP Suharso Monoarfa kepada Muhamad Mardiono. Restu itulah yang kemungkinan membuat Suharso belakangan menerima dengan lapang dada posisinya dikudeta.
Eks Ketua Umum (Ketum) PPP Suharso Monoarfa dikabarkan telah menerima dengan lapang dada posisinya digantikan oleh Muhamad Mardiono.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arwani Thomafi pada Selasa pekan ini dan menyebut Suharso juga telah menemui Mardiono sehari sebelumnya.
Meski telah legowo, tensi di internal PPP agaknya masih cukup terasa pasca pendongkelan Suharso.
Syaifullah Tamliha, loyalis Suharso, dicopot PPP dari jabatan strategis, yakni Wakil Ketua Komisi V DPR pada Selasa, 13 September.
Dia diketahui menyatakan ketidaksepahamannya atas Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Serang, Banten, pada 4 September. Mukernas itu sendiri menjadi legitimasi pencopotan Suharso.
Menariknya, hasil Mukernas Serang yang dianggap berpolemik tak membuat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mempertanyakannya.
Itu terbukti dari respons kilat dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang mengesahkan Muhamad Mardiono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum DPP PPP Periode 2020-2025.
Pengesahan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menkumham bernomor M.HH-26.AH.11.02 Tahun 2022 tertanggal 9 September 2022 yang ditandatangani langsung oleh Laoly.
Setelah SK tersebut terbit, Mardiono yang juga menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kemudian bergerak cepat dengan melaporkan kepengurusan baru PPP dengan dasar SK Menkumham itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin, 12 September.
Lantas, mengapa nama Mardiono mencuat sebagai pengganti Suharso? Benarkah kabar keterlibatan Istana serta restu intelijen seperti yang telah beredar?
Mardiono Bukan Kaleng-Kaleng?
Mencuatnya nama Muhamad Mardiono sebagai suksesor Suharso Monoarfa tentu bukan tanpa sebab. Setidaknya, itu dapat dilihat dari dua aspek krusial yakni momentum politik dan modal politik Mardiono sendiri
Timing atau momentum dalam politik dapat dipastikan memiliki signifikansi strategis. Dalam perpolitikan, timing atau momentum menjadi hal yang cukup penting untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dikemukakan, sebagaimana yang dijabarkan Luis Rubio dalam publikasinya Time in Politics.
Menurut Rubio, timing yang tepat sangat esensial dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.
Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.
Pada case kudeta PPP, pendongkelan Suharso kiranya juga dapat terjadi akibat momentum yang telah menemui titik idealnya. Variabel pendukung untuk menjadi alasan untuk mendepak Suharso agaknya menemui kulimnasinya saat bunder amplop kiai.
“Titik didih” itu kemungkinan dianggap menjadi momentum tepat bagi internal PPP setelah serangkaian tekanan, mulai dari kritik gaya kepemimpinan Suharso, dugaan gratifikasi sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas hingga demonstrasi menuntut Suharso dicopot dari dua jabatan politiknya.
Selain itu, faktor kedua yang tidak kalah penting adalah sosok pengganti Suharso, yakni Mardiono, sosok yang ternyata bukan orang sembarangan. Terlebih dari kombinasi modal yang dimilikinya.
Kimberly L. Casey dalam Defining Political Capital mengatakan modal politik merupakan metafora yang digunakan untuk menggambarkan gabungan berbagai modal yang membuat politisi memiliki daya tawar.
Mengutip teori interconvertibility dari Pierre Bourdieu, Casey memetakan berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM/human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.
Meskipun dapat dipetakan menjadi tujuh jenis, Casey menegaskan pada dasarnya tidak ada modal politik yang murni atau baku. Artinya, besar tidaknya daya tawar suatu modal tergantung atas pasar politik atau modal apa yang tengah dibutuhkan.
Terkait konteks merebut kursi Ketum PPP, setidaknya ada tiga modal yang paling penting, yakni kekayaan personal, dukungan elite politik, dan dukungan akar rumput partai.
Dan Mardiono kiranya mengakuisisi modal-modal esensial itu. Pertama, Mardiono merupakan elite PPP yang terus konsisten berada dalam jajaran petinggi partai yang telah makan asam garam.
Pada tahun 2014, saat menjabat sebagai Ketua PPP Banten, Mardiono sempat diminta internal partai untuk menggantikan Suryadharma Ali yang tersangkut kasus korupsi dana haji.
Mardiono diketahui memiliki relasi positif dengan Suharso, Emron Pangkapi, dan Muhammad Romahurmuziy atau Romy. Dinamika PPP terus bergulir hingga Romy akhirnya menggantikan Suryadharma serta kemudian digantikan Suharso.
Namun, posisi politik Mardiono tak lekang dan terus berada di ranah strategis. Dia juga dikenal menjadi orang kepercayaan Ketua Majelis Syariah PPP yang juga ulama terkemuka tanah air Maimoen Zubair.
Saat Suharso dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke kabinet, Mardiono pun mendapat efek politik dengan dipercaya menjadi anggota Wantimpres.
Di samping modal posisi politik itu, Mardiono nyatanya juga memiliki kekayaan yang fantastis. Dia berkecimpung di dunia bisnis berbagai sektor seperti perhotelan, logistik, dan perbankan. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 30 Maret 2022, total kekayaan Mardiono mencapai Rp1,2 triliun.
Sebagai perbandingan dengan calon presiden (capres) di 2024, harta Mardiono hanya kalah dari Sandiaga Uno (Rp10,6 triliun), Erick Thohir (Rp2,31 triliun), Prabowo Subianto (Rp2,03 triliun). Bahkan, itu lebih tinggi dari Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Andika Perkasa, dan Muhaimin Iskandar.
Dua faktor atau modal itu seolah membuat Mardiono memang menjadi orang yang tepat untuk menggantikan PPP di tengah berbagai permasalahan internal. Ditambah, restu Presiden Jokowi dan intelijen disebut turut menjadi faktor pemulus langkah Mardiono. Benarkah demikian?
Operasi Bangkitkan PPP?
Berdirinya PPP sendiri tak dapat dilepaskan dari peran intelijen di era Orde Baru. Inisiasi penyederhanaan parpol oleh Ali Moertopo kala itu membuat PPP menjadi wadah bagi entitas politik berhaluan Islam.
Menurut anggota Tim Penelitian dan Pengembangan PinterPolitik Khairul Fahmi, sebuah operasi intelijen dalam ranah turbulensi parpol memang mungkin saja terjadi.
Menurutnya, kubu yang ingin mengkudeta boleh jadi melakukan operasi penggalangan intelijen, yang meliputi tiga tahapan utama, yakni tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi.
Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen lebih merinci operasi penggalangan tersebut dengan membaginya ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.
Dalam pendongkelan Suharso, mengacu pada investigasi Tempo, disebutkan bahwa Mardiono disokong oleh sebuah “konsolidasi bawah tanah” hingga puncaknya mendapat “restu” Presiden Jokowi.
Meskipun telah dibantah Mardiono, informasi yang telanjur beredar membuat interpretasi peran “tangan tak terlihat” kiranya menemui relevansi tertentu.
Dikabarkan, Romy mengaku bertemu Suharso setelah Mukernas Serang dan mengklaim mendapat restu sejumlah elite negeri seperti Presiden Jokowi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, dan sosok menarik dalam pusaran ini, yakni Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Nama terakhir kiranya menjadi sorotan menarik karena selama ini terlibat dalam konsolidasi parpol demi stabilitas politik negara. Salah satunya adalah peran dalam merangkul Prabowo Subianto ke barisan pemerintah pasca Pilpres 2019 yang diiringi polarisasi cukup tajam.
Dengan komposisi berbagai modal yang dimiliki Mardiono, plus, jika benar operasi intelijen atau bawah tanah ini terjadi, agaknya dapat dipetakan tujuan akhir dari pendongkelan Suharso dan sosok penggantinya.
Meski diganti, posisi politik PPP disebut akan tetap solid menyokong kepemimpinan saat ini. Eksistensi di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga kiranya akan tetap sama mengingat koalisi politik bentukan Golkar, PAN, dan PPP memiliki visi melanjutkan program Presiden Jokowi di 2024.
Namun demikian, serangkaian jabaran di atas masih sebatan interpretasi semata. Akan tetapi, probabilitas peran intelijen dalam aspek politik tanah air kiranya masih akan cukup menarik untuk dianalisis. (J61)