HomeNalar PolitikReshuffle, PKS Merapat ke Pemerintah?

Reshuffle, PKS Merapat ke Pemerintah?

Ultimatum reshuffle yang ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut membuka ruang bagi berbagai kemungkinan mengenai nama baru yang dinilai pantas mengisi kursi panas menteri. Bahkan dalam situasi yang dinilai menjadi krisis politik tersendiri bagi pemerintah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dinilai memiliki kredibilitas dan potensi untuk menyumbang nama pada jajaran kabinet. Akankah hal tersebut terjadi?


PinterPolitik.com

Amarah Presiden Joko Widodo yang bernada “ancaman” perombakan kabinet atau reshuffle mendapat sambutan cukup positif dari berbagai pihak. Kinerja menteri-menteri dengan tugas esensial saat pandemi Covid-19 memang dinilai kurang bertaji serta tak efektif mengakomodir aspirasi dan urgensi kesulitan rakyat.

Semakin terbukanya kemungkinan reshuffle itu kemudian membuka ruang proyeksi yang lebih luas. Tak hanya terkait siapa yang kiranya harus terdepak dari Kabinet Indonesia Maju, tetapi juga pihak mana saja yang memiliki modal kuat menyumbang nama di deretan elite eksekutif. Bahkan proyeksi tersebut tak luput menyasar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meskipun jamak diketahui terus berkomitmen berada di luar pemerintahan.

Apalagi, PKS menjadi salah satu pihak yang cukup “bersemangat” dalam mendesak agar Presiden Jokowi secepatnya mengambil langkah reshuffle jika ingin dikatakan memiliki sense of crisis.

Roi Zur dalam tulisannya yang berjudul Party Suvival in Parliament: Explaining Party Durability in Lower-House Parliament menyodorkan konsep distinguished ideological position atau posisi ideologi yang berbeda yang penting bagi kesuksesan secara elektoral dan merupakan bentuk survival atau mempertahankan eksistensi dalam perpolitikan, karena secara khusus merepresentasikan segmen tertentu dengan jelas.

Posisi ideologi seperti yang dikemukakan Zur tersebut dinilai masih dianut oleh PKS sejauh ini ketika Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS yang juga anggota DPR RI, Mardani Ali Sera membantah kemungkinan partai berlambang bulan sabit dan padi itu akan merapat ke dalam partai politik (parpol) koalisi pemerintah dengan berlandaskan komitmen “istiqomah” menyelamatkan demokrasi.

Namun demikian, sifat alamiah dan histori koalisi perpolitikan Indonesia kontemporer yang sangat dinamis dinilai membuat sikap partai yang diwakili Mardani itu tak seketika menutup kemungkinan bagi PKS untuk tak mengambil keuntungan strategis atas wacana reshuffle.

Selain sifat alamiah dan aspek historis perpolitikan saat ini, satu hal esensial lain dinilai menjadi indikasi kuat bagi masih terbukanya kemungkinan PKS untuk merapat ke pemerintah melalui sumbangsih nama menteri hasil reshuffle. Apakah itu?

Inkonsistensi Status

Jika publik mencermati sepak terjang PKS di parlemen, dinamika yang terjadi akan memperlihatkan pola yang cenderung terkesan tidak konsisten dari bermacam sikap partai terhadap berbagai isu yang mengemuka.

Ya, hal ini erat mencerminkan sebuah pragmatisme politik yang harus diakui memang sudah tak jarang terjadi. Seperti yang dikemukakan oleh Dan Slater dalam Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition, bahwa karena didorong oleh kebutuhan yang terus-menerus untuk mengisi kembali sumber daya patronase yang terbatas, parpol di Indonesia terkadang menggunakan perilaku seperti kartel, yakni dengan saling berbagi kepentingan daripada bersaing untuk mendapatkan kekuasaan.

Hal yang disampaikan Slater dapat tercermin dari isu mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). PKS terkesan tak konsisten dengan idealismenya setelah Deddy Yovri Sitorus, anggota Komisi IV DPR fraksi PDIP menguak bahwa PKS memang mendukung RUU tersebut pada rapat pleno badan legislatif parlemen.

Meski kemudian diklarifikasi oleh internal partai, namun preseden telanjur mengemuka bahwa PKS yang disebut oleh Dirk Tomsa dalam Moderating Islamism in Indonesia: Tracing Patterns of Party Change in the Prosperous Justice Party, bahwa PKS konsisten dengan idealisme yang solid tanpa pragmatisme sedikitpun, semakin tak relevan.

Hal ini bukan tanpa alasan jika berkaca pada berbagai sikap inkonsisten PKS ketika pada April lalu mengambil jalan untuk tak sepakat dengan pembahasan berbagai RUU saat pandemi Covid-19, namun terkesan sebaliknya ketika misalnya sikap aktif partai justru terlihat signifikan pada RUU Minerba serta revisi UU pemilu terkait parliamentary threshold yang mengemuka setelahnya.

Indikasi pergeseran sikap ini juga mengingatkan kembali sekaligus dinilai semakin mempertegas similaritas dengan salah satu partai terbesar di Turki yaitu Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) yang memang acapkali disetarakan dengan determinasi PKS.

Dengan dipimpin oleh Recep Tayyip Erdoğan, AKP sendiri ketika berada di awal perjuangan partai dalam merengkuh kejayaan, mengedepankan pragmatisme serta konsolidasi ke berbagai arah yang ternyata efektif dalam merengkuh raihan suara partai maksimal dalam pemilu sekaligus menempatkan sosok andalannya di pucuk kekuasaan.

Oleh karenanya, serangkaian relevansi tersebut membuat cukup prematur kiranya jika mengatakan PKS sama sekali “tak tertarik” dengan reshuffle yang menjadi komoditi hangat perbincangan politik tanah air beberapa hari terakhir meskipun disangkal oleh tokoh partai itu sendiri.

Terlebih, jika reshuffle terjadi dan PKS berkenan merapat, tampaknya masih cukup banyak waktu bagi partai yang dahulu bernama Partai Keadilan ini untuk menikmati kekuasan sekaligus memiliki justifikasi tersendiri untuk menyeimbangkan serta menata idealisme dan pragmatisme partai yang telah terekspos.

Lantas, jika memang kemungkinan yang nantinya dapat dipastikan akan membentuk koalisi kekuasaan super raksasa tersebut ada, seberapa besar presentasenya akan terealisasi?

Masih Dikalkulasi?

Jika berkaca pada serangkaian pergeseran sikap idealisme ke pragmatisme di atas, memang pernyataan Mardani Ali Sera yang memastikan bahwa PKS tak akan bergabung dengan barisan pemerintahan meskipun reshuffle terjadi dan katakanlah nantinya PKS mendapatkan tawaran, dinilai tak bisa dijadikan referensi absolut.

Akan tetapi, meskipun tendensi pragmatisme dalam interaksi politik itu ada dalam sikap partai, tren eksistensi dan dukungan terhadap PKS selama ini justru berlandaskan ideologi yang berseberangan dengan arus utama kekuasaan.

Pada titik ini, PKS dinilai memahami berbagai tendensi tersebut dan masih melakukan kalkulasi terhadap benefit dan mudarat yang mereka terima jika reshuffle terjadi dan tawaran posisi di kabinet datang.

Terlebih kinerja aspek sosial menjadi salah satu yang disoroti di Kabinet Indonesia Maju dan pada saat yang sama, PKS adalah partai terdepan yang kental dengan aksi serta manuver sosial pada berbagai kesempatan merespon bencana alam dan non-alam.

Namun demikian, tren dukungan segmental terhadap PKS yang selama ini justru berlandaskan ideologi yang berseberangan dengan arus utama kekuasaan disinyalir masih akan lebih besar menjadi pertimbangan partai dibandingkan keuntungan strategis jika merapat ke kekuasaan hasil reshuffle “jalur Corona”.

Janet Steffensmeier dan Bradford Jones dalam publikasinya yang berjudul Event History Modelling: A Guide for Social Scientists menyebut bahwa dalam siklus alamiah sebuah pemilu, partai politik yang berhasil eksis dalam politik kekuasaan, apapun faksinya, didefinisikan akan terus mengupayakan survival atau kelangsungan eksistensinya tersebut dengan caranya masing-masing.

Seperti yang Steffensmeier dan Jones nyatakan, setiap parpol memiliki pendekatan khas masing-masing terhadap eksistensinya, dan dalam hal ini PKS dinilai masih akan mempertimbangkan eksistensi jangka panjang partai dengan tetap berada di luar pemerintahan dan tetap mengelola sikap idealisme dan pragmatisme semaksimal mungkin di parlemen.

Terlebih lagi, basis masa PKS yang diketahui berseberangan dengan pemerintahan, jamak dinilai sebagai ganjalan besar untuk merapat ke Istana. Dengan Pilkada yang terselenggara tahun ini, pertimbangan semacam ini tentu saja begitu vital.

Mungkin dapat disimpulkan berbagai analisis akan mengarah pada bertahannya PKS sebagai oposisi pemerintah. Akan tetapi sifat natural ketidakpastian dinamika politik membuat kelanjutan ultimatum reshuffle Presiden Jokowi serta probabilitas merapatnya PKS dalam kekuasaan akan menjadi sangat menarik untuk dinantikan. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?