Site icon PinterPolitik.com

Reshuffle Menteri, Jokowi Genggam Bara?

Foto: Asia Nikkei

Jokowi dihadapkan pada kondisi dilematis karena di satu sisi ia diminta untuk merombak kabinetnya, namun di sisi lain tetap ingin mempertahankannya sekalipun kondisi ekonomi saat ini tidak begitu baik.


Pinterpolitik.com 

“There are powerful incentives for political leaders to choose the path of disagreement and non-cooperation, embracing “second-best” outcomes.”

:: Jonathan Sallet ::

[dropcap]P[/dropcap]emerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) semakin terdesak menghadapi situasi ekonomi yang semakin sulit. Jokowi dianggap perlu merombak atau reshuffle kabinet, khususnya tim ekonominya. Langkah tersebut dinilai penting untuk menyelamatkan ekonomi nasional.

Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah kurs rupiah terhadap dolar AS. Saat ini rupiah terus menunjukkan kelemahannya di hadapan dolar. Rupiah saat ini melemah dan menyentuh angka Rp 15.000 per dolar AS. Bahkan performa ekonomi Indonesia disebut kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina.

Selain itu, target pertumbuhan ekonomi juga masih ada di kisaran lima persen, masih jauh dari target yang dipatok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar tujuh persen pada 2019.

Indikator ekonomi lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rasio gini juga belum menunjukkan tanda-tanda mendekati target tersebut.

Di tengah cibiran suara perihal kinerja ekonominya, Jokowi dihadapkan pada pilihan untuk mengubah atau tetap mempertahankan kabinet kerjanya. Terdapat pandangan yang menyebut bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi Jokowi untuk mengocok ulang pembantunya tersebut, terutama di bidang ekonomi.

Kendati demikian, sejauh ini Jokowi nampaknya memilih untuk tak mengutak-atik tim ekonominya, meski kabar perombakkan itu sudah beredar sejak awal tahun ini.

Lantas, apa signifikansi perombakan kabinet ini bagi Jokowi? Apakah ada situasi dilematis sehingga Jokowi tidak kunjung melakukannya?

Ekonomi Kian Terpuruk

Seperti yang diketahui, hingga hari ini, nilai tukar rupiah masih terdepresiasi hingga melewati angka Rp 15.000 per dolar AS. Tergerusnya rupiah ini terjadi akibat faktor eksternal dan faktor internal.

Secara eksternal, kondisi rupiah dipengaruhi oleh kebijakan penaikan suku bunga The Fed atau Bank Sentral AS, sehingga menimbulkan gejolak pada pasar modal.

Sementara faktor internalnya adalah karena sikap pemerintah yang tidak fokus pada sektor industri. Padahal industri bisa menjadi salah satu pemeran utama dalam mendorong perekonomian. Selain itu, nilai ekspor yang sering di bawah angka impor menjadi alasan internal rupiah terus melemah terhadap dolar AS.

Kemudian, fundamental ekonomi Indonesia lainnya dianggap masih rapuh, misalnya postur neraca perdagangan yang terus mengalami defisit. Sementara pada faktor lain, kondisinya juga tidak menunjukkan perbaikan.

Sejauh ini, krisis ekonomi di Indonesia menyasar pada dua dimensi, yakni moneter dan perdagangan. Kedua dimensi tersebut tidak mampu dijawab oleh pemerintah. Jokowi masih bergantung pada kebijakan impor, termasuk di bidang pangan dan energi.

Selain itu, kondisi ini diperburuk dengan sikap para menteri yang terkesan tidak mau mengevaluasi diri. Hal ini salah satunya disampaikan oleh pengajar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emerus Sihombing yang menyebut kalau para menteri ini perlu sadar diri. Jika tidak mampu mendongkrak kondisi ekonomi, lebih baik mundur.

Keterpurukan ekonomi ini terus mengudara dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan intensitas itu tidak berhenti meskipun ada pemberitaan soal bencana alam maupun kasus hoaks Ratna Sarumpaet.

Bagaimanapun kondisi ekonomi ini akan memainkan peran penting dalam situasi politik nasional. Apalagi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, isu ekonomi akan dijadikan sebagai motor kampanye bagi kubu oposisi.

Jokowi disebut seharusnya merombak tim ekonominya yang kurang moncer kerjanya. Apalagi, sejumlah persoalan ekonomi saat ini tengah menghantui pemerintah. Salah satunya, terkait pelemahan rupiah yang terus menukik yang berdampak pada pembayaran utang luar negeri, terutama yang harus dibayar menggunakan dolar AS.

Seharusnya, Jokowi bisa mengambil momen seperti ini untuk mengubah tim ekonominya di pemerintahan. Perubahan tersebut tentu dapat memberikan optimisme baru di tengah kinerja ekonomi pemerintah yang belum dapat dikatakan kinclong.

Yang diperlukan dari memperbaiki kondisi ekonomi ini salah satunya adalah mencari sosok yang memiliki strong leadership, baik itu ada pada sosok Menteri Koordinator Perekonomian atau menteri-menteri bidang ekonomi lainnya. Diperlukan seseorang yang bisa memberikan arahan yang jelas agar mengindari dampak kinerja tidak berubah banyak sekalipun kabinet dikocok ulang.

Prisoner Dilemma Jokowi

Tekanan terhadap Jokowi memang terus berdatangan. Bagaimana tidak, rupiah terus melorot, tapi tidak ada tindakan signifikan yang bisa mendorong perbaikan ekonomi.

Pertanyaan terkait mengapa Jokowi tidak segera melakukan perombakan tim ekonominya mencuat ke permukaan. Keteguhan Jokowi untuk mempertahankan menterinya tersebut patut dipertanyakan. Jokowi seperti sedang menggenggam bara, meski tangan terasa sakit akibat panas, namun tetap dipertahankan karena alasan tertentu.

Dalam sebuah tulisan, Professor Christopher Kam dari University of South California menjelaskan persoalan waktu seperti apa saat seorang kepala negara bisa mengambil keputusan untuk melakukan perombakan kabinet kerjanya, serta faktor apa yang mendorong pengambilan keputusan tersebut.

Kam menyebut bahwa kecenderung itu dilakukan bisa berkaitan dengan pengorganisasian kekuasaan di mana posisi koalisi juga turut dipertimbangkan.

Sementara Thiago Silva dalam penelitiannya terhadap kondisi perombakan kabinet di negara-negara Amerika Latin menyebut bahwa reshuffle dilakukan biasanya terkait dengan kondisi kontekstual yang terjadi di negara tersebut, misalnya terkait faktor inflasi, tingkat pengangguran, dan fragmentasi dengan partai koalisi.

Silva menyimpulkan dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, biasanya akan mendorong seorang kepala negara untuk melakukan perombakan kabinet kerjanya.

Namun, dalam konteks Indonesia, meskipun kondisi ekonomi saat ini sedang terpuruk dan sering diwanti-wanti oleh para ahli ekonomi, Jokowi cenderung cuek dan terlihat mengabaikan wacana perombakan tim ekonomi.

Ada kemungkinan Jokowi tidak kunjung mengubah format tim ekonominya karena berpikir tak banyak waktu yang dapat dilakukan untuk mengubah perekonomian di sisa waktu pemerintahannya yang tinggal setahun.

Selain itu, Jokowi mungkin khawatir, efek yang ditimbulkan dari sisi politik bakal lebih besar karena mau tidak mau, dalam model kabinet pemerintahan seperti sekarang ini, posisi menteri memiliki relasi yang kuat terhadap partai-partai koalisi Jokowi.

Sementara dalam konteks Pilpres 2019, isu ekonomi sangat besar kemungkinan akan menjadi indikator utama yang digunakan pemilih untuk menentukan calonnya. Sehingga dengan membiarkan persoalan ekonomi semakin memburuk tentu saja akan berdampak buruk bagi kepentingan elektoral Jokowi.

Kondisi kabinet kerja Jokowi sebenarnya lebih mencerminkan konsolidasi kekuatan politik. Padahal, Jokowi pernah menyebut bahwa dirinya tidak puas dengan kinerja ekonomi, namun tidak juga mengganti menteri ekonominya. Saat ini, sebagian menteri kabinet Jokowi di bidang perekonomian tidak dipilih karena profesionalitas. Sebagian dipilih karena partai, dan yang lainnya karena pernah ikut membantu kemenangan Jokowi.

Jokowi sepertinya tengah mengalami apa yang disebut dengan prisoner’s dilemma atau dilema tahanan. Ia dihadapkan pada dua kondisi yang sama sulitnya dan memiliki dampak yang tidak kecil. Jika ia melakukan reshuffle, maka ia akan mendapatkan konsekuensi politik karena akan berpengaruh dengan konsolidasi politik di tubuh pemerintahannya.

Sementara jika tidak melakukan perombakan, Jokowi dikhawatirkan akan membawa kondisi ekonomi ke arah yang semakin buruk apalagi jika melihat performa tim ekonomi di kabinet Jokowi masih menunjukkan kinerja yang buruk.

Berdampak Buruk

Ada yang menyebut jika Jokowi tidak mampu mengatasi masalah ekonomi, maka besar kemungkinan dirinya akan kalah pada Pilpres 2019. Hal ini bisa terjadi karena isu ekonomi akan dijadikan motor serangan kubu oposisi.

Tapi, jika Jokowi abai dengan persoalan tersebut, ia boleh jadi akan menerima dampak buruk dan menyulitkan dirinya dalam pertarungan Pilpres 2019 nanti. Hal ini dikarenakan para pemilih umumnya sudah rasional dalam menentukan pilihan. Jokowi akan dianggap tidak serius dalam menangani persoalan tersebut.

Jokowi seperti menggenggam bara, jika dipertahankan ia akan merasakan panas dari dalam, sementara jika dilepas, bara itu akan membakar situasi sekitar. Share on X

Meskipun demikian, nampaknya Jokowi tetap akan pada posisinya dan tidak melakukan perombakan kabinet. Pertimbangan konsolidasi politik adalah yang memungkinkan tidak terjadinya reshuffle tersebut. Jokowi akan bermain aman dengan tetap mengandalkan orang-orang yang sudah ada saat ini.

Selain itu, isu reshuffle di tengah “kekacauan” politik dan negeri yang tengah dilanda bencana alam seperti saat ini justru bisa berdampak negatif bagi perimbangan kekuasaan dan posisi politik Jokowi. Besar kemungkinan isu ini justru dihembuskan oleh oposisi yang ingin mencari “celah” mengkritik sang petahana. Jika Jokowi salah langkah, justru serangan yang terjadi akan semakin masif dan pemerintahannya boleh jadi dicap gagal. (A37)

Exit mobile version