Pergantian (reshuffle) kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa nama seperti Budi Arie Setiadi, Nezar Patria, hingga Djan Faridz resmi menduduki posisi kabinet. Namun, terpilihnya Budi Arie kiranya menjadi sorotan menarik pada reshuffle kali ini karena tampak berkaitan dengan pencapresan Prabowo Subianto. Mengapa demikian?
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pergantian kabinet. Pergantian kabinet atau jamak dikenal sebagai reshuffle resmi diumumkan beriringan dengan penetapan tersangka mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate atas korupsi BTS 4G.
Sebelum reshuffle berlangsung, media nasional sempat membocorkan bahwa Ketua Umum Relawan Projo Budi Arie Setiadi nantinya akan terpilih sebagai pengganti Plate.
Pada reshuffle kabinet Jokowi edisi kali ini, Presiden Jokowi menunjuk beberapa nama untuk menduduki beberapa posisi. Selain Menkominfo, posisi yang dirombak terdiri atas lima wakil menteri dan dua anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Beberapa dari mereka yang telah dilantik Presiden Jokowi di antaranya Budi Arie Setiadi sebagai Budi Arie sebagai Menkominfo, Nezar Patria sebagai Wamenkominfo, Paiman Rahardjo sebagai akil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) hingga Djan Faridz sebagai anggota Wantimpres.
Ditinjau dari komposisinya, mereka yang terpilih tampak merupakan “pendukung” Jokowi. Kendati masih terdapat orang-orang partai seperti Djan Faridz yang berasal dari PPP, namun sebagian besar dari mereka justru memiliki latar belakang sebagai relawan Jokowi di kontestasi elektoral yang pernah diikutinya.
Budi Arie maupun Paiman Rahardjo bukanlah sebuah pengecualian. Baik Budi maupun Paiman sama-sama merupakan ketua organisasi relawan pendukung Jokowi, yaitu Projo (Pro Jokowi) dan Sedulur Jokowi.
Meski demikian, yang menjadi sorotan menarik dari episode reshuffle kali ini justru ialah majunya Budi Arie sebagai Menkominfo. Terpilihnya Budi Arie secara kasat mata didasarkan pada pengalamannya sebagai jurnalis.
Sebelum menjadi ketua Projo, Budi pernah menjadi jurnalis di beberapa media arus utama. Oleh karena itu, kapasitasnya di dunia jurnalistik diklaim dapat memberikan kontribusi lebih di bidang komunikasi dan informatika.
Namun demikian, terpilihnya Budi Arie tidak lepas dari kritik yang dilontarkan. Ketua SETARA Institute Hendardi menyebut terpilihnya Budi sebagai instrumentasi kepentingan Jokowi untuk mengamankan dukungan kepadanya sebelum habis masa jabatan.
Selain instrumentasi, terpilihnya Budi juga dinilai tidak lepas dari potensi keuntungan yang lebih besar untuk pemilu mendatang. Terlebih, kendati terpilih sebagai menteri, Presiden Jokowi tidak secara langsung meminta Budi untuk mengundurkan diri sebagai ketua Projo.
Tidak tergantikannya posisi ini agaknya justru membuka celah bagi utilisasi kepentingan elektoral.
Sebagaimana posisi Projo yang tampak mendukung bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto alih-alih Ganjar Pranowo, masuknya Budi tampak dapat digunakan untuk memberikan dukungan lebih besar kepada sang mantan Panglima Kostrad itu.
Lalu, benarkah reshuffle kali ini merupakan bagian dari intrik dan konsolidasi politik tertentu bagi kepentingan Presiden Jokowi?
“Konsolidasi” Logis Jokowi?
Perguliran posisi menteri dalam kabinet sejatinya merupakan hal yang lumrah bagi negara demokrasi, tidak terkecuali Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terpilih kepada rakyat, menteri selayaknya diisi oleh mereka yang berkompeten dalam bidangnya untuk menjalankan program kerja seorang presiden selama masa jabatannya.
Menteri sebagai “perpanjangan tangan” pemimpin harus mampu mengartikulasikan visi misi yang dibayangkan oleh kepala pemerintahannya ke dalam bentuk kebijakan. Tidak hanya artikulasi, seorang menteri juga dituntut untuk memiliki pengetahuan lebih dalam mengenai bidangnya supaya output yang dihasilkan sesuai dengan kehendak masyarakat.
Atas dasar itulah, terdapat pakem umum bahwa menteri seharusnya diisi oleh para teknokrat. Teknokrat dipandang sebagai pihak yang mengedepankan rasionalitas dalam menjalankan setiap program kerja.
Miloš Brunclík dalam publikasinya yaitu The Rise of Technocratic Cabinet mencontohkan bagaimana kabinet teknokrat diklaim memberikan hasil yang lebih konkret dalam mencapai tujuan yang telah digariskan oleh pemerintah.
Mayoritas negara Eropa menggunakan pakem tersebut untuk mencegah kebuntuan politik yang sering terjadi manakala kabinet diisi oleh politisi.
Hingga kini, kendati promosi atas pakem tersebut dirasa berlebihan, namun pakem tersebut setidaknya dapat mengurangi konflik dalam kabinet.
Namun demikian, hal itu tidak otomatis menghilangkan dilema antara politisi dengan teknokrat dalam susunan kabinet.
Kabinet sebagai pengejawantahan kekuasaan akan selalu dibayangi oleh kontrak politik antara presiden dengan koalisi partainya. Acapkali, sebagai upaya untuk merekatkan dukungan koalisi, kuota politisi dalam kabinet justru diperbesar.
Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan kerap kali kental akan muatan politis. Khoo Boo Teik dalam Technocracy and Politics in a Trajectory of Conflict menggambarkan bagaimana kabinet selalu menjadi medan pertarungan antara rasionalisasi pemerintahan dengan kohesivitas kekuasaan.
Dalam beberapa kasus, kebutuhan publik terpaksa kalah demi mempertahankan status quo, yang mana hal ini membuat beberapa kementerian justru mengeluarkan kebijakan yang tidak dibutuhkan masyarakat demi memuaskan elite politik dibelakangnya.
Kendati tren ini tampak masih terjadi hingga era Presiden Jokowi, namun ada tren benar-benar baru dalam pemosisian kabinet, yaitu spoils system. Seperti halnya patron-klien, praktik ini dilakukan dengan memberikan pos-pos pemerintahan kepada pendukung seorang presiden ketika berhasil memenangkan pemilu, termasuk kepada relawan.
Carl Frederich dalam The Rise and Decline of the Spoils Tradition menyebutkan praktik spoil system sebenarnya sudah mengakar dialam negara demokrasi.
Disebutkan bahwa untuk menjamin loyalitas pendukung presiden, mereka diberikan jabatan sebagai bentuk balas budi atas jasa-jasanya.
Penunjukkan Budi Arie kiranya menjadi bukti dari tradisi ini. Sebagai relawan yang mengawal keterpilihan Jokowi sejak 2014, tentu wajar jika sang mantan Wali Kota Solo itu ingin menghargai kerja keras Budi dengan memberikan posisi tertentu dalam pemerintahan kepadanya.
Menariknya, selain bentuk balas budi, pemberian posisi Menkominfo ditengarai merupakan bentuk kompromi untuk mengakomodasi sosok pendukung Prabowo.
Dengan tidak menginstruksikan Budi untuk mundur sebagai pucuk pimpinan Projo, maka Presiden Jokowi seolah memberikan lampu hijau bagi pendukung Prabowo untuk mempersiapkan pemilu mendatang.
Sebagai catata, Projo telah menyiratkan dukungan tertentu pasca melakukan pertemuan dengan koordinator relawan Prabowo di Pilpres 2024 mendatang.
Posisi Budi kini tampak diuntungkan. Tidak hanya mendapat kepercayaan dari Presiden Jokowi untuk memimpin Kominfo yang baru bermasalah, Budi pun juga dapat mengerahkan sumber daya yang dimilikinya untuk mendukung Prabowo tanpa terganggu dengan posisinya sebagai Menkominfo.
Dari gambaran di atas, pertanyaannya selanjutnya adalah, keuntungan apa yang akan didapat oleh Prabowo kedepannya?
“Palang Pintu” Kemenangan Prabowo?
Masuknya Budi sebagai anggota kabinet bisa jadi merupakan “langkah kuda” dalam beberapa waktu mendatang. Sebagai tokoh relawan yang militan, Budi kiranya berpeluang besar untuk memenangkan kandidat pilihannya tanpa ada halangan yang berarti.
Interpretasi ini tentu bukan tanpa alasan. Pada konteks politik elektoral, keberadaan Budi menjadi contoh nyata dari pengaruh relawan dalam pemilu.
Marcus Mietzner dalam Reinventing Asian Populism menyebutkan bahwa kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 tidak dilepaskan dari kontribusi relawan dalam menggalang suara.
Dibandingkan dengan partai, mobilisasi relawan lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan relawan jamak mendukung satu kandidat secara apa adanya tanpa intrik politik tertentu, paling tidak jika dibandingkan dengan partai politik.
Dengan demikian, seorang kandidat tidak perlu terkekang oleh kontrak yang merepotkan dari partai.
Kehadiran relawan dalam politik justru semakin besar di masa kepemimpinan Jokowi. Sebagai presiden yang tidak menonjolkan “kemapanan”, Presiden Jokowi begitu mengandalkan mereka dari berbagai aspek. Tidak hanya memuluskan jalan untuk menjadi RI- 1, para relawan juga dilibatkan untuk mendukung programnya.
Selain itu, masuknya Budi sebagai Menkominfo kiranya juga akan menguntungkan Prabowo. Lembaga ini (baca: relawan), kendati banyak diremehkan karena masalahnya, namun memegang kunci dalam politik.
Menkominfo yang diposisikan sebagai perantara komunikasi publik tentu tidak akan lepas dari kepentingan pemangkunya. Secara normatif, informasi yang disampaikan Kemenkominfo kerap kali menyanjung kinerja pemerintah kendati faktanya justru sebaliknya.
Berkaca pada kasus di atas, bukan tidak mungkin Kominfo nantinya menjadi corong untuk mempromosikan keunggulan Prabowo di depan publik.
Fatima Issawi dalam State Media: A Public Service menyebutkan meski media menjadi pilar keempat demokrasi, namun media tetap tidak lepas dari kuasa pemerintah dalam menyampaikan pemberitaan.
Sebagai regulator media, adalah hal yang wajar apabila Kominfo dapat digunakan oleh Budi untuk menyoroti kedekatan Jokowi dengan Prabowo. Kedekatan yang dibalut dengan pemberitaan positif dari mereka dapat meyakinkan publik untuk mendukung Prabowo.
Hal ini tidak lepas dari kesamaan sikap antara Presiden Jokowi dengan Projo. Akhir-akhir ini, bisa dilihat sikap Presiden Jokowi yang “membuka jalan” bagi Prabowo untuk menjadi presiden.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga kerap membagikan kebersamaannya dengan Prabowo dalam meninjau program pemerintah di daerah-daerah.
Kombinasi dari kedua hal ini akan menjadi “kartu truf” Prabowo. Selain karena Budi sebagai “pendukung” Prabowo lebih leluasa memanfaatkan medium informasi, terpilihnya Budi juga semakin meningkatkan gairah relawan dibelakangnya untuk semakin bersimpati dengan pilihan politik Presiden Jokowi.
Akibatnya, daya tawar Prabowo kiranya akan semakin besar dalam Pilpres 2024 mendatang. Tidak hanya melimpahnya sumber daya yang didapat dari Budi semata, namun dukungan halus dari Presiden Jokowi tampaknya juga akan “menyemangati” Prabowo untuk tampil sebagai suksesornya. (D90)