HomeNalar PolitikResesi Ekonomi, Jokowi Terjebak Paradox of Thrift?

Resesi Ekonomi, Jokowi Terjebak Paradox of Thrift?

Pandemi Covid-19 tidak hanya menjadi bencana kesehatan, melainkan juga menjadi bencana ekonomi. Untuk keluar dari jurang resesi ekonomi, Stafsus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyarankan masyarakat untuk berperilaku konsumtif agar perputaran uang tetap terjadi. Akan tetapi, di tengah pandemi, paradox of thrift justru menjadi ganjalan.


PinterPolitik.com

Rajin menabung pangkal kaya. Sejak kecil, kita kerap mendengar nasehat tersebut, baik dari orang tua ataupun guru di sekolah. Tidak hanya untuk melakukan akumulasi kekayaan, menabung juga dilakukan sebagai langkah untuk mewaspadai kebutuhan mendadak di masa depan.

Akan tetapi, nasehat tersebut tampaknya tidak begitu disarankan saat ini. Pasalnya, Staf Khusus (Stafsus) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga, justru menyarankan masyarakat berperilaku konsumtif agar Indonesia dapat keluar dari resesi ekonomi.

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia telah resmi masuk ke dalam jurang resesi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen (year on year/yoy). 

Terkait sarannya, Arya misalnya mencontohkan libur panjang 28 Oktober – 1 November 2020 yang disebutnya sangat membantu UMKM di daerah karena masyarakat ramai berwisata.

Di tengah hantaman badai ekonomi saat ini, pernyataan Arya memang sekiranya tepat. Meningkatkan demand atau permintaan memang merupakan cara untuk meningkatkan produksi, yang mana nantinya  akan membuka lapangan pekerjaan. Itu tentu merupakan berita bagus atas masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di tengah pandemi. Tidak tanggung-tanggung, jumlah PHK dan dirumahkan akibat pandemi disebut bahkan mencapai 29 juta jiwa.

Lantas pertanyaannya, mungkinkah saran Arya Sinulingga tersebut menjadi jawaban atas resesi ekonomi yang kini dihadapi oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi)?

Paradox of Thrift

Melihat kondisi saat ini, saran Arya tersebut tampaknya sulit untuk diwujudkan. Pasalnya, di tengah situasi ekonomi tidak pasti akibat pandemi, masyarakat lebih memilih untuk menyimpan uang (saving money). Dalam ilmu ekonomi, hal tersebut dikenal sebagai paradox of thrift atau paradoks penghematan – dipopulerkan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes.  

James Chen dalam tulisannya Paradox of Thrift, dengan mengacu pada teori ekonomi Keynesian, menyebut peningkatan konsumsi dipercaya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, bagaimana mungkin masyarakat meningkatkan konsumsinya dalam situasi saat ini.

Victor Degorce dan Eric Monnet dalam tulisannya The Great Depression, Banking Crises, and Keynes Paradox of Thrift menyebutkan bahwa di tengah situasi krisis memang terdapat tren terjadinya peningkatan saving money. Pada krisis ekonomi 2008, misalnya, saving money di Uni Negara meningkatan dari 12,5 persen menjadi 14 persen. Kini, di tengah pandemi Covid-19, saving money rumah tangga di Uni Eropa disebut meningkat dari 12,5 persen menjadi 17 persen.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

E. Katarina Vermann dalam tulisannya Wait, Is Saving Good or Bad? The Paradox of Thrift juga menjelaskan hal serupa. Tulisnya, resesi ekonomi telah mendorong peningkatan saving money karena masyarakat didorong oleh rasa ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan, upaya untuk mengurangi utang, dan fluktuasi yang luas pada harga saham dan perumahan.

Di sini jelas terjadi paradoks. Secara ekonomi mikro, di tengah situasi krisis, saving money memang harus dilakukan individu. Namun, di level ekonomi makro, perilaku tersebut justru menurunkan perputaran uang, permintaan, dan produksi. Alhasil, PHK menjadi tidak terhindarkan.

Kendati terbaca begitu masuk akal, paradoks penghematan ala Keynesian pada dasarnya memiliki kekurangan. Chen menyebutkan bahwa Keynes melupakan aspek penting dari saving money, yakni uang yang tersimpan di bank justru baik bagi ekonomi karena digunakan sebagai dana pinjaman.

James C.W. Ahiakpor dalam tulisannya A Paradox of Thrift or Keynes’s Misinterpretation of Saving in the Classical Theory of Growth? lebih merinci kekurangan yang disebutkan oleh Chen. Menurut Ahiakpor, Keynes telah melakukan kekeliruan karena mereduksi saving money sebagai menimbun uang. Padahal, saving money juga penting untuk menjamin persediaan modal negara.

Ahiakpor misalnya mencontohkan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan pada awal tahun 1980-an yang justru memotong pajak dengan tujuan untuk mempromosikan penyimpanan uang karena menilai itu demi memperbaiki pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Konteks yang disebutkan oleh Chen dan Ahiakpor dapat kita temui di Indonesia pada krisis ekonomi 1998. Saat itu, faktor yang semakin menenggelamkan ekonomi adalah terjadinya rush money atau penarikan uang besaran-besaran oleh masyarakat, sehingga bank tidak memiliki dana untuk diputar.

Middle Income Trap

Sampai di sini, dalam merespons saran Arya Sinulingga kita sepertinya dapat menjawab “iya”, sekaligus “tidak”. Iya, dalam artian peningkatan konsumsi memang dibutuhkan saat ini. Tidak, dalam artian, negara juga harus menjamin tersedianya uang yang cukup di bank. 

Artinya, saran Arya pada dasarnya tidak merujuk pada semua elemen masyarakat, melainkan khusus kepada golongan menengah ke bawah. Mengapa demikian? Karena setiap golongan masyarakat memiliki preferensi penggunaan uang dan tugas yang berbeda.

Pertama, terkait preferensi penggunaan uang. Berbeda dengan kelompok menengah ke atas yang cenderung berinvestasi, kelompok menengah ke bawah memiliki kecenderungan untuk langsung menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Temuan tersebut kemudian melahirkan asumsi dan kebijakan ekonomi bahwa subsidi seharusnya diberikan ke kelompok menengah ke bawah karena preferensi penggunaan uang mereka yang secara langsung meningkatan pertumbuhan ekonomi. 

Berbeda jauh dari kelompok atas yang jumlahnya hanya 0,5 persen, kelompok menengah (20 persen) dan menuju menengah (44,5 persen) yang jumlahnya mencapai 64,5 persen dari total penduduk Indonesia, jelas merupakan penggerak ekonomi yang luar biasa.

Kedua, terkait tugas. Mengacu pada yang pertama, kita dapat memahami bahwa kelompok atas yang cenderung berinvestasi dan memiliki tabungan di bank adalah penjamin tersedianya aliran dana. Per Agustus 2019, sebanyak 274.153 rekening memiliki tabungan di atas Rp 2 miliar – dengan total Rp 3.312,87 triliun. Dana tiga ribu triliun tersebut tentu harus dijaga untuk menjamin ketersediaan modal.

Oleh karenanya, fokus pemerintah seharusnya untuk menjamin bagaimana kelompok menengah yang menjadi motor penggerak ekonomi tersebut memiliki disposable income atau pendapatan yang siap untuk dibelanjakan.

Indonesia, telah lama masuk ke dalam Middle Income Country (MIC) – sejak tahun 1996. Namun, sampai saat ini belum mampu menggapai Upper Middle Income Country sehingga disebut berada di kondisi Middle Income Trap. Itu adalah kondisi ketika suatu negara telah berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, namun stuck dan tertahan untuk berkembang menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Nah, di sini masalahnya. Situasi pandemi saat ini tidak hanya membuat kondisi ekonomi Indonesia semakin stuck, melainkan juga membuat kelompok menengah tersebut turun ke kelompok menuju menengah, rentan, bahkan ke miskin.

Tentu pertanyaannya, dari mana pemerintah mendapatkan uang untuk menjamin disposable income masyarakat sebanyak itu?

Chairman Financial Intelligence, Elvin G. Masassya memiliki saran yang layak dipertimbangkan atas masalah tersebut. Menurutnya, pemerintah bisa memanfaatkan kelompok masyarakat yang memiliki rekening di atas Rp 2 miliar untuk membeli surat utang pemerintah. Dana tersebut kemudian dapat digunakan untuk memberi bantuan terhadap mereka yang tidak mampu agar konsumsi dapat naik.

Praktiknya bukan dengan menggunakan tabungan mereka, melainkan mengalokasikan 10 persen pendapatan  mereka untuk membeli surat utang secara progresif. Tabungan di atas Rp 2 miliar jelas memberi jaminan bahwa mereka dapat bertahan di tengah pandemi.

Sekarang kita hanya dapat menanti langkah konkret apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi untuk keluar dari jurang resesi ekonomi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...