Site icon PinterPolitik.com

Resep untuk Polri Membangun Citra Positif

Resep untuk Polri Membangun Citra Positif

Kapolri Listyo Sigit Prabowo (Foto: JawaPos.com)

Surat Telegram (ST) yang mengatur mengenai larangan menunjukkan arogansi aparat segera dicabut oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo karena mengandung makna yang multitafsir. ST dan kerja humas Polri sebenarnya tidak dianggap efektif dalam membangun citra Polri dan menuai kritik dari masyarakat. Kira-kira strategi apa yang cocok bagi Polri untuk membangun citra positif?  


PinterPolitik.com

Surat Telegram (ST) Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 pada dasarnya hanya berlaku selama sehari. ST tersebut dibuat pada 5 April 2021 dan dicabut keesokan harinya oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Hal ini dikarenakan poin pertama yang tercantum pada ST memuat larangan yang cukup kontroversial.

Disebutkan pada poin pertama bahwa adanya larangan bagi media untuk menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, serta media diimbau untuk menanyangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis. Poin tersebut dikritik karena tidak disebutkan media yang dimaksud, apakah media pers atau media internal.

Listyo menjelaskan bahwa ST ini hanya berlaku untuk internal, khususnya divisi humas Polri. Ia mengatakan bahwa semangat awal pembentukan ST ini agar jajarannya tidak bertindak arogan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan SOP yang berlaku. ST ini juga menjadi upaya untuk membawa citra positif Polri ke masyarakat.

Polri merupakan institusi pemerintah yang cukup gencar melakukan branding dan membangun citra ke masyarakat. Hal ini terlihat bahwa divisi humas Polri yang aktif menggunakan berbagai media sosial untuk menginformasikan keberhasilan kinerja Polri. Selain itu, acara televisi, seperti 86 digunakan untuk menunjukkan sepak terjang polisi dalam menjalankan tugasnya menghadapi kriminalitas.

Baca Juga: Listyo Sigit, Pembuktian Tangan Kanan

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW),Polri mengeluarkan dana paling banyak untuk promo media sosial dibandingkan institusi pemerintah lainnya. Disebutkan Polri menggelontorkan anggaran hingga Rp 937 miliar pada tahun 2020.

Strategi pencitraan positif yang dilakukan oleh Polri menekankan pada pendekatan humas. Ini menjelaskan tindakan Polri yang rela mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membangun pencitraan positif melalui aktivitas digital.

Namun, upaya membawa pencitraan positif yang dilakukan oleh Polri tidak menjamin terjadinya peningkatan kepercayaan publik. Maka dari itu, muncul pertanyaan, apakah strategi membangun citra positif melalui aktivitas humas yang dilakukan oleh Polri tidak efektif?

Permasalahan Manajemen Internal Polri

Doughlas Gourley melalui tulisannya Police Public Relations mengatakan penting bagi polisi mendapatkan citra positif agar kepercayaan publik terhadap polisi meningkat. Publik memiliki kepercayaan untuk menaruh keselamatan dan keamanannya pada tanggung jawab polisi dan polisi juga menunjukkan kinerja yang baik dalam menegakkan hukum.

Hubungan yang baik antar keduanya akan otomatis membawa citra positif bagi Polri. Citra positif ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat atas kinerja polisi, pemberitaan media, tulisan terkait polisi dan sebagainya. Maka dari itu, pengaruh polisi di masyarakat menjadi kuat.

Berangkat dari pendapat Gourley, rumus untuk membangun citra positif Polri adalah kinerja polisi itu sendiri. Polri tidak perlu mengeluarkan dana hingga Rp 937 miliar untuk membangun citra karena kuncinya bukan berada pada pihak eksternal tetapi pada internal polisi melalui hasil kerjanya.

Seperti pada satu cuitan Divisi Humas Polri di Twitter. Pada cuitan tersebut, Polri mengajak masyarakat untuk tidak enggan melapor kejahatan kepada polisi. Pada sesi komentar, banyak masyarakat yang mengeluh kinerja polisi dalam memproses pelaporan kejahatan. Beberapa di antaranya juga menceritakan pengalaman pribadinya yang tidak memperoleh hasil dari pelaporan kejahatan pada Polri.

Kerja humas yang fokus menyuarakan keberhasilan Polri hanya akan menyembunyikan masalah kinerja Polri yang masih kurang optimal. Maka dari itu, usaha membangun citra positif Polri tidak akan menyelesaikan permasalahan utama untuk mendapatkan kepercayaan publik. Kinerja Polri yang tidak maksimal sebenarnya dipengaruhi oleh buruknya manajemen sumber daya manusia di tubuh Polri.

Baca Juga: Listyo Sigit Perlu Adopsi Richard Posner?

Salah satu permasalahannya adalah ketimpangan gaji aparat.Alokasi APBN untuk Polri selalu meningkat pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yakni Rp 62 triliun pada 2015 dan Rp 104,7 triliun pada 2020. Sejak zaman pemerintahan Megawati, anggaran yang dialokasikan untuk Polri meningkat hingga 2.000 persen.

Walaupun Polri memiliki anggaran yang gemuk, namun ada permasalahan pada pemerataan pendapatan aparat polisi.

Gaji pokok anggota kepolisian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2019. Disebutkan untuk anggota yang berada pada golongan 1, gaji pokok berada di antara Rp 1.643.000  sampai Rp 2.960.700 . Untuk golongan IV, gaji pokoknya di kisaran Rp 3.000.100 – 5.930.800 juta. Besaran gaji juga ditentukan dengan jumlah bintang dan masa kerja.

Kondisi itu yang mungkin menjelaskan oknum polisi yang memperoleh keuntungan di berbagai kesempatan, misalnya pemungutan liar (pungli) dan tilang. Selain itu, ada permasalahan dalam kenaikan jabatan. Banyak anggota polisi yang masa jabatannya stagnan dan tidak menerima kepastian jenjang karier.

Kenaikan jabatan di Polri tidak semata-mata hanya dengan modal prestasi dan masa jabatan. Dalam acara wisudawan purnabakti perwira tinggi tahun 2019, Tito Karnavian mengakui bahwa sudah menjadi rahasia umum untuk anggota polri mencari dukungan dan mengeluarkan uang untuk naik jabatan.

Kriteria kenaikan pangkat perwira tinggi juga dinilai kurang transparan. Idealnya, kriteria tersebut dibuka ke publik, seperti informasi latar belakang pendidikan, nilai akademik, tugas di lapangan, prestasi, termasuk tindakan penyimpangan.

Persoalan lain yang perlu mendapat sorotan khusus adalah praktik suap yang dilakukan bagi mereka yang ingin menjadi polisi. Jika untuk masuk menjadi polisi saja sudah membutuhkan biaya yang besar, tidak mengherankan apabila nantinya praktik mencari keuntungan tambahan menjadi tidak terhindarkan.

Mencontoh Negara Lain

Indonesia sudah sepatutnya mencontoh negara lain dalam manejemen internal Polri agar kinerja Polri dapat maksimal. Indonesia misalnya dapat mencontoh negara tetangganya, Singapura.

Korupsi juga merupakan salah satu masalah di Singapura pada masa penjajahan Inggris. Namun, kini Singapura menjadi salah satu negara dengan angka korupsi terendah dan berhasil menyelesaikan permasalahan korupsi di institusi kepolisian.

Singapura memiliki beberapa strategi untuk menyelesaikan korupsi di kepolisian. Strategi tersebut adalah meningkatkan gaji petugas polisi, memperbaiki kondisi kerja, bekerja sama dengan badan investigas korupsi, dan meningkatkan prosedur perekrutan.

Selain itu, pemerintah Singapura juga memberikan pelatihan dan nilai-nilai pendidikan bagi anggota kepolisian untuk mengadopsi langkah-langkah administratif guna mengurangi potensi korupsi.

Josh S.T. Quah dalam tulisanya Curbing police corruption in Singapore: lessons for other Asian Countries, mengatakan bahwa Singapura memiliki dua akar pemasalahan yang mengakibatkan terjadinya korupsi di kepolisian. Masalah itu adalah gaji aparat yang rendah dan intensi politik yang rendah dalam memberantas korupsi.

Untuk menjawab permasalah itu, Singapura menyediakan kehidupan yang layak untuk aparat kepolisian melalui peningkatan gaji, sebab gaji yang rendah membuka potensi korupsi melalui tindakan pungli.  

Selain itu, pemerintah juga memperkuat politiknya untuk memberantas korupsi dengan membentuk gugus tugas anti korupsi yang bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah. Singapura juga memperketat proses seleksi dan rekrutmen agar tidak ada potensi korupsi.

Baca Juga: Jokowi Patut Diapresiasi Angkat Listyo Sigit?

Sekiranya, Indonesia sudah sepatutnya mencontoh Singapura karena memiliki permasalahan yang sama, yakni ketimpangan gaji aparat yang rendah dan korupsi. Kembali ke pendapat Gourley, kinerja polisi yang baik akan membangun citra positif di masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, kinerja Polri belum maksimal yang diakibatkan oleh kurang baiknya manajemen SDM pada tubuh internal Polri, seperti ketimpangan gaji, ketidakpastian jenjang karier, serta budaya lobi dan korupsi pada proses rekrutmen dan pengembangan karier. (R66)


Exit mobile version