Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto melakukan ziarah ke makam Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setelah kunjungannya, diungkapkan bahwa ternyata Gus Dur pernah mengatakan Prabowo akan jadi presiden ketika berusia tua. Inikah salah satu taktik politik baru Prabowo? Apakah akan efektif?
Momen Hari Raya Idulfitri menjadi saat yang tepat untuk menjalin silaturahmi dengan siapapun, dari rekan dan keluarga yang kita kenal, sampai kunjungan ke makam kakek dan nenek kita.
Tradisi tersebut tidak luput juga dilakukan oleh Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sejak awal Lebaran, Prabowo sangat rajin bertemu dengan beberapa tokoh politik besar, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan petinggi-petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yakni Megawati Sukarnoputri dan Puan Maharani.
Tidak hanya tokoh politik, Prabowo juga bertemu dengan beberapa tokoh agama – di antaranya yakni Kiai Kholil As’ad dan Kiai Muzakki Syah.
Meski pihaknya menolak bahwa dalam kunjungan-kunjungan ini Prabowo hanya berbincang ringan dan tidak membicarakan politik, banyak pihak yang menilai apa yang dilakukan mantan Pangkostrad tersebut adalah upaya dalam mendapatkan “restu” untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti.
Dan, mungkin, yang paling disorot adalah ketika H+2 Lebaran. Prabowo berkunjung ke makam Presiden ke-4 Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid – atau yang lebih akrab dikenal sebagai Gus Dur – di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Menariknya, disebutkan Gus Dur ternyata pernah berucap Prabowo akan menjadi presiden di usia tua. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh KH Irfan Yusuf Hasyim, salah satu cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari.
Jika kita ingin membaca fenomena ini, bisa kita interpretasi bahwa itu adalah kode keras politik Prabowo untuk masyarakat khalayak Indonesia, khususnya para pendukung Gus Dur. Ini juga sepertinya adalah kode bagi para Nahdliyyin, atau warga NU, karena tidak dipungkiri Gus Dur adalah “wajah” NU itu sendiri.
Dengan mengklaim mendapat wejangan gaib dari leluhur besar NU dan Indonesia, Prabowo tampak ingin menunjukkan bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya untuk memimpin Indonesia. Lantas, mungkinkah ada alasan lain mengapa Prabowo merasa perlu melakukan hal ini?
Prabowo Mencoba “Men-Jawa”?
Di Indonesia, ziarah ke makam leluhur, terlebih lagi bila leluhur tersebut adalah orang besar, cukup sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan, ada yang menyamakan ziarah ke makam tokoh adalah ibarat “ibadah Haji-nya” Indonesia.
Ziarah politik pun sering dilakukan oleh para politisi. Makam Presiden ke-1 Indonesia, Sukarno, barangkali jadi tujuan yang paling sering dikunjungi oleh mereka yang sedang berjuang mendapatkan posisi tinggi di negara ini.
Bagaimana kemudian konteksnya dengan pandangan masyarakat?
Tentang hal itu, Henrik Syse dalam tulisannya What Does Mysticism Have to do with Politics memiliki pandangan yang menarik. Menurutnya, mistisisme yang populer di masyarakat sangat erat hubungannya dengan politik.
Hal tersebut karena suatu keputusan politik yang diambil oleh mayoritas masyarakat perlu dijustifikasi melalui konsep dan penggunaan kata yang mudah dipahami oleh pandangan umum yang berlaku.
Terkait itu, tentu pandangan umum yang berlaku dalam masyarakat dari macam-macam negara berbeda-beda. Kalau di Indonesia, sepertinya bisa kita sepakati bersama bahwa tidak ada yang lebih dapat mudah dimengerti oleh masyarakat selain hal-hal yang kental kaitannya dengan nilai mistis, contohnya seperti wejangan leluhur.
Di dalam politik, hal yang sifatnya mistis adalah sesuatu yang sangat diincar oleh para politisi. Selain karena sering kali dianggap sakral dan “pamali” oleh masyarakat untuk membantahnya, pendapat-pendapat leluhur juga sulit dibuktikan benar maupun salahnya karena yang mengatakannya pun sudah tidak ada lagi di dunia.
Faktor wejangan leluhur ini semakin diperkuat dengan budaya politik di Indonesia yang bisa dikatakan sangat dipengaruhi oleh budaya politik Jawa. Johannes Nugroho dalam tulisannya Jokowi and the Mysticism of Indonesian Politics mengatakan bahwa budaya Jawa telah membuat jabatan Presiden sering dipandang sebagai gelar “sacred king” atau raja yang suci.
Posisi raja dianggap sebagai posisi yang sangat mulia. Dan, layaknya raja yang mulia, masyarakat Indonesia akan berharap pemimpin yang baru juga harus mendapatkan mandat atau kepercayaan suci dari leluhur yang pernah memimpin kerajaan.
Wejangan seperti ini merupakan hal yang umum. Contohlah seperti cerita almarhum Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) yang menyebut mendapatkan wejangan gaib dari arwah ayahnya, Sultan HB VIII, untuk mengusir penjajah Belanda dari Indonesia. Selain menjadi motivasi pribadi, wejangan seperti ini juga menjadi kepercayaan diri masyarakat Jawa pada pemimpinnya.
Membawa pandangan ini ke apa yang dilakukan Prabowo ke makam Gus Dur dan klaimnya tentang harapan agar Prabowo menjadi presiden, bisa kita artikan bahwa selain ingin menyampaikan pada masyarakat ia adalah orang yang dipercaya, ada satu pesan penting yang tampaknya ingin disampaikan Prabowo.
Pesan tersirat tersebut yakni Prabowo juga sepertinya ingin menunjukkan bahwa ia telah mencoba untuk mengikuti dan berbaur dengan budaya politik Jawa.
Jika benar demikian, maka Prabowo sedang berusaha menjawab salah satu permasalahan besar politiknya, yaitu kurang mampu menerapkan budaya Jawa.
Seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Prabowo Kalah Karena Kurang “Jawa”? faktor ini menjadi salah satu alasan kenapa Prabowo selalu kalah dalam Pilpres. Padahal, ia memiliki modal politik yang besar, yakni ketua partai, memiliki koneksi domestik maupun internasional, dan sosok yang cerdas dan berwibawa.
Namun, cukupkah Prabowo hanya bermodalkan wejangan politik saja?
Jangan Andalkan Wejangan Saja
Dalam budaya politik Jawa, setidaknya ada dua peribahasa yang umumnya diterapkan Jokowi, yakni wong Jawa nggone semu, yang artinya “orang Jawa cenderung semu”, dan “sesadone ingadu manis” yang artinya sesulit apapun masalahnya, harus dihadapi dengan muka senyum atau muka manis.
Jika kita perhatikan, salah satu alasan kenapa Jokowi begitu disenangi masyarakat adalah karena dalam berbicara, ia selalu terlihat apa adanya, berkata lembut, dan tidak kentara menunjukkan motif. Sementara itu, Prabowo selalu menunjukkan dirinya sebagai orang yang tegas, frontal, dan sangat ambisius.
Walau dari beberapa sisi sifat seperti itu bagus, Prabowo harus tetap menyadari bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih berpegangan pada budaya politik ala Jawa dalam melihat calon pemimpinnya. Tutur bicara yang lembut berperan sebagai impresi pertama yang bagus dalam mengenal seorang politisi.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah Prabowo dalam menerapkan budaya politik Ke-Jawa-an masih ada yang perlu dikejar lagi, yakni kelihaiannya dalam public speaking.
Selain perlu bercermin dari bagaimana Jokowi berkata-kata di depan publik, Prabowo juga bisa belajar dari bagaimana mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama berpidato. Presiden Amerika ke-44 itu dikenal sebagai salah satu Presiden yang paling lihai dalam berpidato dan berdebat.
Carmine Gallo, dalam tulisannya Barack Obama: A Master Class in Public Speaking, menganalisis bagaimana Obama berpidato. Gallo menemukan ada tiga teknik krusial yang membuat pidato Obama selalu berkesan.
Pertama, transendensi, yakni menggunakan tuturan kata yang mudah dimengerti dan nyata. Obama selalu mampu membawa para audiensnya ke imajinasi yang bisa dibayangkan, bukan abstrak. Contohnya, seperti penggunaan kata “dengarlah para teman kita di sana” untuk membawa perhatian publik ke suatu tempat yang jadi fokus pembicaraan.
Kedua, repetisi atau pengulangan. Ilmiahnya, teknik ini disebut “anaphora”, yaitu mengulang kata atau frasa di awal setiap kalimat secara berurutan. Pengulangan yang digunakan secara indah dan lembut dapat membantu menekankan satu ide dengan jelas dan membuatnya mudah diingat. Contohnya adalah penggunaan kalimat “I have a dream” dalam pidato Martin Luther King Jr.
Ketiga, gestur dan tempo suara. Gestur yang percaya diri meskipun berkata secara sederhana dan lembut dapat menyampaikan pesan dengan efektif. Ditambah dengan penggunaan jeda di setiap beberapa kalimat, yang rata-rata berlangsung selama dua detik, para pendengar bisa memiliki waktu untuk menyerap ide-ide yang dikatakan sang pembicara.
Dan yang terakhir, yang paling penting, bisa kita pelajari dari video Los Angeles Times di YouTube, dengan judul How President Obama Handles Hecklers. Yang membuat Obama benar-benar unik adalah kemampuannya dalam berkelit dan selalu bisa melakukan comeback bila diserang oleh pencemooh dari penonton maupun lawan debatnya.
Jika Prabowo ingin benar-benar naik pamor, ia bisa tampil sebagai pendebat unggul yang berani berkelit dan melawan kritik yang dilontarkan padanya. Bahkan, untuk isu-isu yang sangat sensitif – seperti isu hak asasi manusia (HAM), keterlibatan dalam polemik 1998, dan cap antek Orde Baru.
Kalau Prabowo bisa merumuskan argumen dan teori yang membuat masyarakat sadar bahwa dia bukanlah orang yang bersalah dalam tuduhan-tuduhan itu, maka bisa dipastikan posisinya sebagai calon presiden yang baru akan jauh lebih kuat dari dua Pemilu sebelumnya. (D74)