Site icon PinterPolitik.com

Rencana Wiranto Berbau Orba?

Wiranto Orba

Wiranto setelah rapat koordinasi terbatas sampaikan rencana tim pengawas tokoh. (Foto: Kemenkopolhukan)

Menkopolhukam Wiranto memiliki cara tersendiri untuk mengatasi delegitimasi pada Pemilu 2019. Sayangnya, rencana Wiranto ini mengingatkan banyak orang pada rezim Orde Baru.


Pinterpolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]su-isu liar terkait Pemilu 2019 seolah tidak ada habisnya. Berbagai kabar dihembuskan terkait pelaksanaan gelaran ini, mulai dari tudingan kecurangan hingga klaim kemenangan kandidat tertentu. Dalam kadar tertentu, berbagai isu dan kabar ini kerap dianggap sebagai sebuah upaya untuk mendelegitmasi proses dan terutama hasil dari kontestasi elektoral tersebut.

Urusan delegitmasi Pemilu ini tampak membuat Menkopolhukam Wiranto cukup gerah. Untuk mengatasi perkara tersebut, mantan Ketua Umum Partai Hanura ini menggelar rapat koordinasi terbatas bersama sejumlah pihak. Hasilnya, Wiranto menyebut bahwa pemerintah berencana membuat tim khusus untuk mengurusi persoalan tersebut.

Sekilas, tak ada yang aneh dari rencana tersebut. Akan tetapi, coba tengok apa yang direncanakan melalui tim tersebut. Pemerintah berencana untuk melakukan pemantauan kepada ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh yang ada di Indonesia.

Tak hanya itu, Wiranto juga menyebut pemerintah tidak akan ragu untuk menutup media yang membantu terjadinya pelanggaran hukum. Keamanan nasional menjadi dalih dari rencana yang dipaparkan sang jenderal itu.

Rencana itu tergolong membingungkan. Bagi sejumlah pegiat demokrasi, kebebasan, dan juga pers, rencana pemerintah ini tergolong berlebihan. Dalam negara yang menganut demokrasi, langkah itu tidak lazim dan cenderung bertentangan dengan prinsip yang ada di dalamnya.

Pengawasan dan Penyensoran

Wacana yang dilontarkan oleh Wiranto memang tergolong mengagetkan. Pasalnya, ada banyak hal yang akan dilakukan pemerintah untuk memburu pendelegitimasi Pemilu sebagai hasil dari rapat koordinasi terbatas yang dihelat.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah berencana membentuk tim khusus yang mengawasi ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh tertentu. Menurut Wiranto, pemerintah akan membentuk tim khusus yang diisi oleh pakar-pakar hukum untuk melakukan pemantauan tersebut.

Pengawasan juga tidak hanya berlaku kepada tokoh, tetapi juga dalam dunia media sosial. Tak hanya sekadar mengawasi, Wiranto bahkan meminta Kementerian Komunikasi dan informatika untuk melakukan langkah yang lebih tegas dalam menangani pelanggaran di media sosial.

Selain itu, ada pula rencana untuk menutup media dengan dalih demi keamanan nasional. Wiranto menyebutkan bahwa media manapun yang secara nyata membantu pelanggaran hukum akan dihentikan, atau dalam bahasa yang ia gunakan akan di-shut down.

Dalam kadar tertentu, langkah pemerintah untuk mengawasi perilaku tokoh ini dapat dikategorikan sebagai government surveillance atau pengawasan oleh pemerintah. Memang, belum ada rincian spesifik tentang bagaimana pemerintah akan memantau para tokoh. Akan tetapi, melalui rencana ini terlihat bahwa ada upaya untuk memantau gerak-gerik tokoh yang berpotensi melanggar privasi.

Selain itu, indikasi government surveillance ini juga terlihat dari permintaan Wiranto kepada Kemenkominfo untuk melakukan pengawasan bahkan penindakan di dunia media sosial.

Secara spesifik, ada pula indikasi penyensoran sosial media dalam rencana yang dilontarkan oleh Wiranto tersebut. Rencana itu boleh jadi tidak hanya sekadar menyensor dalam bentuk pengawasan konten, tetapi juga sampai penutupan media yang dianggap melakukan pelanggaran.

Praktik ini kerap digolongkan ke dalam internet censorship atau penyensoran internet. Praktik penyensoran bahkan pemblokiran media sosial ini merupakan hal yang banyak dilakukan di negara lain. Umumnya, praktik ini dilakukan untuk membatasi penyebaran informasi atau pengetahuan yang dianggap tak sesuai dengan keinginan pemerintah.

Tak Lazim Dalam Demokrasi

Wacana yang dilontarkan oleh Wiranto ini tidak lazim dilakukan di negara yang menjalankan demokrasi. Secara spesifik, bagi negara yang pernah melewati masa tak demokratis seperti Indonesia, rencana pemerintah ini seperti sebuah langkah mundur.

Saat ini, praktik pengawasan atau penyensoran ketat ini dapat ditemui misalnya di negara seperti Tiongkok. Ada beragam regulasi yang diterapkan oleh negeri tirai bambu ini untuk memantau dan dalam kadar tertentu membatasi gerak-gerik warganya.

Pengawasan oleh pemerintah Tiongkok kerap kali disebut sudah mulai muncul di masa Mao Zedong berkuasa. Kala itu, pengawasan masih belum menggunakan teknologi yang canggih seperti di masa sekarang. Pemerintahan Mao menggunakan mata-mata untuk mengawasi warganya dari perilaku yang dianggap mencurigakan.

Pengawasan tersebut kemudian ternyata berlanjut ke era yang lebih modern. Melalui teknologi, beragam pengawasan dapat dilakukan, mulai dari pengawasan internet hingga pengawasan melalui kamera yang dipasang oleh pemerintah di berbagai tempat.

Rencana Wiranto untuk melakukan pengawasan kepada tokoh mengingatkan masyarakat pada praktik rezim Orde Baru. Share on X

Sasaran dari pengawasan ini beragam, mulai dari anak-anak sekolah hingga orang-orang yang dianggap membangkang secara politik. Secara spesifik, pengawasan ketat ini memang cenderung banyak dilakukan di wilayah yang berpotensi beroposisi dengan pemerintah, seperti di Xinjiang atau Tibet.

Tiongkok juga melakukan pemblokiran kepada situs-situs media sosial global. Situs seperti Twitter dan Facebook tak dapat diakses oleh warga dari negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut.

David Barmann dan kawan-kawan dalam Censorship and Deletion Practices in Chinese Social Media menggambarkan bahwa pemerintah Tiongkok melakukan hal itu untuk membatasi persebaran informasi. Secara spesifik, di negara tersebut terjadi sensor kepada konten-konten berbau politik dan juga penghapusan pesan yang dikirim oleh individu.

Sebuah Ironi

Merujuk pada kondisi tersebut, rencana Wiranto untuk mengawasi tokoh dan menutup media merupakan hal yang tak sejalan dengan demokrasi. Praktik seperti itu lebih lazim dilakukan di negara yang tak sepenuhnya demokratis seperti Tiongkok.

Memang, sejauh ini rencana milik Wiranto ini belum spesifik apakah benar-benar serupa dengan Tiongkok atau tidak. Akan tetapi, wacana tentang pengawasan atau pemantauan ini dapat menjadi preseden bahwa hal serupa bisa saja muncul.

Hal ini merupakan sebuah ironi bagi negara yang pernah melalui masa kelam seperti Indonesia di era Orde Baru. Memang, banyak yang menganggap bahwa rencana Wiranto ini mengingatkan pada praktik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Yang juga ironis adalah, rencana ini terjadi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), mengingat mantan Wali Kota Solo ini adalah produk demokrasi langsung yang dilakukan oleh rakyat.

Tak hanya itu, di awal kemunculannya di Pilpres 2014, ia juga dianggap sebagai harapan bagi demokrasi di negeri ini. Kala itu, Jokowi dianggap lebih punya keberpihakan kepada demokrasi ketimbang lawannya, Prabowo Subianto yang dianggap produk dari rezim Orde Baru yang jauh dari kata demokratis.

Kini, gambaran pemerintahan Jokowi yang demokratis dan anti Orde Baru tengah dalam tanda tanya besar melalui rencana Wiranto melawan pendelegitmasian Pemilu 2019. Rencana Wiranto ini sama sekali tidak menggambarkan sosok Jokowi yang hadir di Pilpres 2014 dengan segala harapannya.

Secara spesifik, studi yang dilakukan oleh Gary King, Jennifer Pan dan Margaret Roberts dalam kasus Tiongkok menggambarkan bahwa ada rasa takut dalam negara saat melakukan penyensoran. Seperti yang disebutkan di atas, ketakutan dari negeri ini adalah subversi kepada negara.

Pada titik ini, boleh jadi ada ketakutan dari pemerintah, terutama Wiranto dalam konteks rencana kebijakan yang akan diambil. Ketakutan seperti apa yang dimaksud, saat ini boleh jadi tak mudah dibuktikan.

Yang jelas, Wiranto sendiri telah mengungkap bahwa berbagai rencana ini merupakan langkah untuk mencegah pendelegitimasian Pemilu 2019. Apakah hal ini terkait dengan wacana people power, klaim hasil Pemilu, atau kritik terhadap pelaksanaan masih menjadi sesuatu yang harus diungkap.

Pada akhirnya, upaya pengawasan tokoh dan ancaman penutupan sosial media ini merupakan hal yang dapat mengancam demokrasi di negeri ini. Jika pemerintahan Jokowi memiliki komitmen pada demokrasi, idealnya rencana ini hanya berhenti jadi wacana dan tak dieksekusi menjadi sesuatu yang lebih besar. (H33)

Exit mobile version