Penampilan Ma’ruf Amin menjadi topik bahasan di banyak media jelang debat ketiga Pilpres. Dengan usia yang telah menginjak 76 tahun, komunikasi publik Ma’ruf akan mendapatkan tantangan besar dari Sandiaga Uno yang terpaut 27 tahun lebih muda dibandingkan dirinya. Tak heran banyak pihak yang menganggap remeh sang kiai saat debat nanti. Namun, jika berkaca pada sejarah, tuah politisi tua justru telah mendapatkan pembuktiannya, bahkan sejak era Yunani Kuno.
PinterPolitik.com
“It is for the elder man to rule and for the younger to submit”.
:: Plato (428-348 SM) ::
[dropcap]G[/dropcap]elombang kebangkitan pemimpin berusia senja memang menjadi sorotan pasca Tun Mahathir Mohamad memenangkan Pemilu Malaysia beberapa waktu lalu. Pasalnya, Mahathir kini tercatat sebagai pemimpin aktif tertua yang mengepalai sebuah negara di usianya yang menyentuh angka 93 tahun.
Geliat keberadaan para pemimpin tua ini bukan tanpa alasan, bahkan telah terjadi sejak era Yunani Kuno dan dipandang sebagai hal yang baik untuk masyarakat. Adapun pemimpin paling tua yang pernah tercatat dalam sejarah adalah Sultan Abdul Momin yang memimpin Brunei Darussalam dan Enrico Dandolo yang menjadi Doge of Venice – semacam pemimpin tertinggi Republik Venesia. Keduanya aktif memimpin wilayah kekuasaannya hingga usia 97 tahun.
Meremehkan kemampuan debat Ma'ruf Amin akan menjadi blunder untuk Sandiaga Uno. Share on XKini, gerontokrasi – model pemerintahan yang dipimpin oleh orang tua yang usianya melampaui rata-rata usia orang dewasa di sebuah negara – seolah menjadi trend ketika Bernie Sanders yang telah berusia 77 tahun juga menyatakan diri maju pada Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2020 mendatang.
Baik Mahathir maupun Sanders menunjukkan bahwa keberadaan pemimpin-pemimpin berusia senja ini tidak bisa diremehkan kiprahnya. Don’t underestimate old politician. Umumnya, gerontokrasi dapat terjadi karena orang-orang tua dianggap jauh lebih bijaksana dibandingkan yang muda.
Sementara di Indonesia, saat ini ada nama Ma’ruf Amin yang maju menjadi cawapres berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi). Dari sisi usia, memang Ma’ruf yang pada 11 Maret lalu merayakan ulang tahun ke-76, termasuk sangat senior untuk ukuran politikus di Indonesia. Namun, jika diperhatikan secara keseluruhan, justru usia-usia kepala tujuh inilah yang paling mendominasi politik domestik, terutama di tingkatan elite.
Pada 17 Maret mendatang, sang kiai akan berhadapan dengan Sandiaga Uno yang menjadi cawapres dari Prabowo Subianto, dalam debat ketiga Pilpres. Dengan konteks usia yang terpaut hingga 27 tahun, tentu debat ini menarik untuk dinantikan. Apalagi, selama ini Ma’ruf kerap dianggap sebagai titik lemah Jokowi dalam konteks debat politik – hal yang tergambar dalam debat perdana beberapa waktu lalu.
Jika demikian, apakah Sandi akan dengan mudah mengungguli Ketua non-aktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu? Atau konteks gerontokrasi di Indonesia akan terlihat dalam diri Ma’ruf dan mampu membendung gerakan politik muda seperti Sandi?
Tuah Debat Orang Tua
Bicara tentang orang-orang tua memang tidak bisa lepas dari kondisi politik Indonesia saat ini yang memang masih diisi oleh banyak politisi berusia senja, khususnya di tingkatan elite teratas. Hal ini salah satunya dibuktikan dalam survei Founding Fathers House (FFH) pada 2015 lalu yang melihat konteks gerontokrasi tersebut. Adapun saat itu, usia rata-rata ketua parpol menyentuh angka 61,2 tahun berdasarkan temuan survei tersebut.
Konteks ini juga sempat disinggung oleh cendikiawan sekaligus mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra dalam salah satu tulisannya. Pria yang pernah mendapatkan gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris pada tahun 2010 lalu itu menyebutkan bahwa gerontokrasi berdampak pada berkuranganya mobilitas politik para politisi muda.
Walaupun demikian, konteks ini juga sekaligus menunjukkan bahwa para politisi tua tidak bisa dianggap remeh dan punya peran penting dalam masyarakat.
Pasalnya, sejak era Plato, orang-orang tua telah dianggap sebagai figur pemimpin yang jauh lebih baik dibandingkan yang berusia muda. Dari sisi usia yang lebih matang, pengalaman yang lebih banyak dan tentu saja kebijaksanaannya, membuat guru dari Aristoteles itu memandang figur orang tua cenderung lebih layak menjadi penguasa.
Hal ini juga terlihat pada tahun 1980-1990-an, ketika di Tiongkok dikenal istilah Eight Immortals yang menjadi sebutan untuk 8 orang tua yang menjadi the elders atau pemimpin tertinggi di Partai Komunis Tiongkok. Sebutan Eight Imortals itu diadopsi dari mitologi Tiongkok tentang 8 sosok sakti yang tak bisa mati.
Kala itu 8 petinggi Partai Komunis Tiongkok dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara tersebut, sekalipun telah berusia lanjut. Bahkan Deng Xiaoping sebagai salah satu di antaranya masih aktif di dunia politik hingga berusia 90 tahun. Posisi sentral 8 orang tua itu tergambar dalam ungkapan: “The 80-year-olds are calling meetings of 70-year-olds to decide which 60-year-olds should retire”.
Konteks tersebut memang menunjukkan bahwa kapasitas politik orang-orang tua tidak bisa diremehkan begitu saja. Umumnya, pandangan yang cenderung “remeh” terhadap para politisi tua itu didasarkan pada kondisi fisik, kesehatan, kemampuan bicara, maupun daya ingat.
Remehkan Ma’ruf, Blunder Untuk Sandi
Dalam konteks Ma’ruf Amin, pandangan-pandangan itulah yang umumnya muncul di masyarakat, juga dari lawan-lawan politiknya. Pada debat perdana misalnya, Ma’ruf yang lebih banyak diam dianggap sebagai salah satu kelemahan Jokowi sebagai petahana. Hal ini berbeda dengan Sandi yang dianggap lebih bisa mengimbangi Prabowo kala itu.
Sang kiai untuk beberapa lama memang selalu dianggap sebagai titik lemah Jokowi dalam hal narasi kampanye di muka publik. Pada saat Jokowi menentukan pilihan cawapres pada Agustus 2018 lalu pun banyak pihak yang langsung skeptis dan meragukan Ma’ruf terkait performa komunikasi publik, termasuk dalam debat.
Akan tetapi, konteks debat perdana belum bisa dipakai sebagai ukuran penilaian kualitas personal sang kiai. Pasalnya, bukan tidak mungkin Ma’ruf justru membalikkan semua prediksi orang-orang yang meragukannya saat debat nanti.
Adalah salah besar jika kubu Prabowo-Sandi lantas menganggap remeh sang kiai, terutama karena ia harus melawan Sandiaga yang jauh lebih muda dan secara penampilan di hadapan publik dianggap lebih dominan. Apalagi, Ma’ruf Amin bukan sosok tanpa rekam jejak.
Greg Fealy dari Australian National University (ANU) menyebut sang kiai sebagai political ulama – ulama politis yang punya sejarah panjang dalam komunikasi politik. Hal ini beralasan, mengingat sejak muda Ma’ruf sudah dikenal sebagai pendakwah ortodoks yang ulung. Artinya sang kiai memang tak perlu diragukan lagi terkait kemampuannya berbicara di hadapan publik.
Fealy juga menyebut kemampuan komunikasi Ma’ruf Amin di atas rata-rata. Hal ini menjadi pengimbang perjalanan kariernya sebab menurut Fealy, saat masih menempuh pendidikan di Pesantren Tebuireng, sang kiai bukanlah sosok yang cemerlang secara akademis.
Kemampuan komunikasinya itu juga membuat kariernya terus menanjak di Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1960-1970-an, yakni era ketika ormas tersebut bertransformasi menjadi partai politik. Ma’ruf pun sempat menjadi anggota DPRD Jakarta pada tahun 1971 dan anggota DPR RI pasca reformasi.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin akan ada kejutan dari sang kiai pada saat debat nanti. Apalagi, beberapa waktu terakhir, mantan Rais Aam NU itu memang tengah mempersiapkan diri secara serius untuk berhadapan dengan Sandi saat debat nanti.
Selain itu, ada kemungkinan Sandi akan cenderung canggung berdebat dengan sang kiai – hal yang sudah diakuinya langsung. Pasalnya mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu sangat menaruh hormat pada Ma’ruf, sama seperti ia menghormati banyak ulama. Jika tidak berhati-hati memisahkan perasaan personalnya dengan konteks debat sebagai upaya menarik hati pemilih, sangat mungkin justru beban tersebut akan jatuh pada Sandi.
Apalagi, debat Pilpres memang menjadi ajang showcase kandidat yang bersaing dan menjadi salah satu bentuk kampanye politik paling penting. Debat menjadi alat publik untuk menilai calon pemimpin yang akan dipilih.
Terkait hal tersebut, Thomas Holbrook – profesor Ilmu Politik dari University of Wisconsin-Milwaukee, AS – dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa debat Pilpres adalah “ujian paling ketat” untuk melihat efektivitas kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat. Artinya, penampilan Ma’ruf dan Sandi akan menjadi tolok ukur pemilih menentukan pilihannya, terutama bagi undecided voters yang masih meragu.
Pada akhirnya, publik tentu menanti bagaimana Ma’ruf Amin akan berdebat. Jutaan pasang mata akan menyaksikan apakah sang kiai masih jadi penggambaran kehadiran gerontokrasi di Indonesia, atau justru pembalikan atasnya dan menjadi jalan kebangkitan politisi muda. Sangat mungkin hasil akhir debat kali ini akan menentukan hasil akhir Pilpres nanti. Jadi, watch out, Sandi! (S13)