Site icon PinterPolitik.com

Relevansi Pemberdayaan Preman Disiplinkan PSBB

Relevansi Pemberdayaan Preman Disiplinkan PSBB

Aparat gabungan di Kabupaten Bogor saat melakukan kegiatan simulasi Check Point Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret lalu. (Foto: Cyber88)

Terdengarnya rencana “memberdayakan” jeger atau preman dalam penegakan protokol kesehatan seketika menuai reaksi kurang positif dari publik. Namun di sisi lain, gagasan out of the box ini dinilai memiliki signifikansi tersendiri pada konteks persoalan dan kultur masyarakat Indonesia selama ini. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Sebuah serial di salah satu televisi swasta berjudul Preman Pensiun bisa dikatakan menjadi salah satu acara favorit keluarga seantero negeri dalam lima tahun terakhir. Diangkatnya serial itu ke layar lebar pada tahun 2019 silam menjadi pengejawantahannya.

Lakon yang menyoroti kehidupan preman dari sisi berbeda memang menjadi daya tarik tersendiri. Mayoritas preman yang dicitrakan dapat berlaku humanis, penuh humor dan harus terlibat friksi sosial dengan preman “konservatif” menjadikannya begitu memikat.

Serial yang memang mengambil latar di Kota Bandung ini sampai-sampai membuat Ridwan Kamil yang saat itu masih menjabat Wali Kota tak ketinggalan beradu akting dalam salah satu episodenya.

Sisi berbeda dari para preman itulah yang mungkin saja menginspirasi Wakapolri sekaligus Wakil Ketua Pelaksana II Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono, saat mewacanakan pengerahan jeger atau preman dalam penertiban protokol kesehatan.

Wacana pendekatan out of the box ini dikatakan Eddy akan diiringi pengawasan TNI-Polri agar para preman tak menyalahgunakan kewenangan yang diamanahkan itu.

Sayangnya, reaksi warganet cenderung tak senada terhadap rencana tersebut. Kebanyakan dari mereka menyoroti bahwa rencana tersebut kontradiktif dengan agenda pemberantasan premanisme di tanah air.

Selain itu, kenangan di masa lalu dan realita bahwa premanisme masih meresahkan dan menghantui masyarakat membuat gagasan yang disampaikan oleh mantan Kapolda Metro Jaya itu dianggap kurang tepat.

Namun, respon kurang suportif dari publik tentu telah diprediksi akan muncul sebelum gagasan “memberdayakan” preman itu dikemukakan.

Ihwal itulah yang kemudian memunculkan pertanyaan tersendiri mengapa pengerahan kekuatan seperti preman masih menjadi salah satu opsi perpanjangan tangan negara dalam konteks pemecahan masalah tertentu, dalam hal ini penertiban protokol kesehatan Covid-19?

Alat Proxy Legendaris

Konteks premanisme dan subjeknya, preman, nyatanya telah menghiasi sendi kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia sejak lama. Ialah Okamoto Masaaki, seorang profesor bidang antropologi Universitas Kyoto yang terpikat untuk meneliti bagaimana pengaruh preman dalam konteks sosial dan politik di Indonesia.

Dalam tulisannya yang berjudul Jawara in Power, Masaaki awalnya menyoroti eksistensi preman dalam terminasi “Jawara” pada kedigdayaan kekuasaan politik di Banten pada era Orde Baru tahun 1996.

Dari situlah ia mengkaji fenomena serupa di berbagai wilayah di tanah air dan sampai pada sebuah postulat bahwa di Indonesia, negara bukan satu-satunya otoritas kekuatan koersif tunggal.

Karenanya, Masaaki menyebut pemerintah mengubah paradigma terhadap “kekuatan swasta” seperti preman dan telah mendelegasikan otoritas yang lebih luas kepada pihak tersebut.

Bukan hanya karena kemampuan negara untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat yang masih kurang efektif, tetapi juga karena perubahan paradigma vis-a-vis pemerintah dalam konteks keamanan dan ketertiban itu sendiri.

Verenna Bettinger-Lee dalam (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia memantik pendekatan budaya dalam melihat keberadaan preman beserta perannya di Indonesia.

Sebelum kemerdekaan, terdapat beberapa segmen dalam masyarakat yang dinilai merupakan cikal bakal preman. Selain “jago” seperti yang disebutkan Beittenger-Lee, terdapat pula “centeng” di Batavia hingga “jawara” di Banten yang merupakan sosok dengan kekuatan dan “kesaktian” fisik yang dimanfaatkan sebagai bodyguard bagi para juragan, tuan, hingga pemerintah kolonial, tentu dengan motif ekonomi.

Dengan keunggulan fisik itu, dalam perjalanannya motif ekonomi juga membuat para jago atau jawara ini tak sedikit yang bertransformasi menjadi pelaku kriminal yang turut meresahkan. Di titik inilah kalangan yang kelak disebut dengan preman itu bagaikan dua mata pisau yang meresahkan dan merugikan, namun di sisi lain dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Paska kemerdekaan, Ian Wilson dalam tulisannya yang berjudul Governing the Ungovernable’: Dealing with the Rise of Informal Security in Indonesia menyebut bahwa preman memerankan state proxy role dalam mendukung legitimasi politik pemerintah.

Para preman yang beberapa di antaranya telah berfusi membentuk kelompok-kelompok yang dikatakan Beittenger-Lee turut membantu kaum nasionalis selama Revolusi Kemerdekaan, membantu Soeharto dalam misi pemberangusan komunis, membantu dalam menghasilkan suara pada pemilu, dan lain sebagainya.

Meski gebrakan penembakan misterius (petrus) di awal 1980-an sempat mendistorsi hubungan antara negara dengan segmen dalam masyarakat yang dikategorikan sebagai preman, eksistensinya dalam dinamika sosial terlampau mengakar.

Regulasi mengenai organisasi kemasyarakatan (ormas) pada tahun 1985 seolah menjadi justifikasi bagi kembali maraknya para preman pada dekade setelahnya, termasuk jadi bagian dalam “adegan-adegan berdarah” saat reformasi.

Sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer secara gamblang mengelaborasi bagaimana hubungan antara negara, preman yang bertransformasi ke dalam organisasi kemasyarakatan (ormas), realita tatanan sosial politik yang ada dan masih eksis relevansinya hingga kini.

Seperti yang Masaaki sebutkan, dengan pengaruh kuatnya di akar rumput, preman dalam “kemasan” apapun, realitanya acapkali digunakan oleh negara sebagai alat kontrol dalam berbagai konteks, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Efektivitas pada konteks yang spesifik menjadikan hubungan antara negara dan para preman seolah cukup sulit dilepaskan, meski keterkaitan keduanya cenderung samar.

Tingkat efektivitas inilah yang mungkin ingin dimaksimalkan negara pada konteks rencana pemberdayaan jeger atau preman dalam pendisiplinan protokol kesehatan di sejumlah tempat sebagai sebuah pendekatan extra ordinary dalam penanganan Covid-19.

Akan tetapi, pemanfaatan preman dalam kebijakan negara secara langsung di era kontemporer, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 tampaknya adalah sebuah hal yang destruktif bagi pemerintah. Mengapa demikian?

Nihil Akuntabilitas

Selain di Indonesia, Masaaki juga meneliti fenomena praktik premanisme kelompok di sejumlah negara di Asia Tenggara. Dirinya menyebut di Malaysia kegiatan premanisme dibina dan dirangkul dengan baik oleh pemerintah dengan motif bisnis dan ekonomi. Terdapat 40.313 anggota dari 49 kelompok yang berdiri berdasarkan etnis. Etnis asal India menjadi kelompok yang paling kuat.

Bahkan Masaaki menyebut Wakil Menteri Luar Negeri Malaysia pernah mengatakan bahwa antara polisi dan geng saling melakukan kerja sama karena memiliki tujuan yang sama.

Dan di Thailand, kelompok preman yang dikenal dengan Chao Pao awalnya menjadi tangan kanan militer dalam menjaga keamanan dalam negeri. Namun anehnya, setelah Thailand dikuasai oleh pemerintah junta militer, kehadiran Chao Pao menjadi ilegal dan diburu.

Sementara di Indonesia, tiap wilayah memiliki keragaman aktor preman kedaerahan yang berbeda-beda, mulai dari Sumatera, Jawa, hingga timur Indonesia. Namun, pengaruh dan hubungan mereka dengan politik daerah cenderung serupa.

Akan tetapi, Wilson menyebut jika dampak minor atas keberadaan para preman dan berbagai perannya di Indonesia jauh lebih besar dari pada benefit yang mungkin didapatkan.

Kendati dapat memerankan pihak ketiga atau state proxy role dan memiliki fleksibilitas karena dapat berkamuflase sebagai individu atau ormas, relasi antara negara dan preman cenderung rendah dari sisi transparansi, akuntabilitas, serta dengan tingkat informalitas yang tinggi, sehingga batasan-batasan tertentu tidak bisa didefinisikan dengan baik.

Artinya, pemberdayaan para preman dalam pengertian apapun sangat rawan berbalik menjadi kemudaratan bagi pemerintah mengingat tidak ada indikator pasti atas porsi “kekuatan” yang mereka pergunakan di lapangan dan potensi penyalahgunaannya.

Terlebih di era keterbukaan saat ini membuat publik dapat dengan mudah membedakan batasan antara upaya-upaya penegakan aturan, kontrol represif, dan akuntabilitas penegakan hukum.

Dengan kata lain, jika benar-benar pemberdayaan preman akan dilaksanakan demi pendisiplinan protokol kesehatan, hal tersebut dinilai hanya akan menambah persepsi minor atas dipertanyakannya efektivitas alat kontrol negara yang telah ada seperti TNI, Polri, maupun Satpol PP.

Bagaimanapun, pendekatan tegas yang konsisten tampaknya lebih dibutuhkan saat ini dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 secara umum, termasuk pendisiplinan implementasi protokol kesehatan.

Opsi pengerahan pihak ketiga seperti para preman yang kualifikasinya dipertanyakan diharapkan segera dikesampingkan agar tak membawa dampak destruktif lebih bagi citra pemerintah yang agaknya belum juga membaik sejauh ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version